Kontroversi Keputusan Mendagri: Empat Pulau Aceh Beralih ke Sumut Picu Kecurigaan Politik
Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menetapkan empat pulau di Aceh Singkil, Aceh—Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—sebagai bagian dari wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut), telah menimbulkan gelombang protes dan kecurigaan. Keputusan termaktub dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, ditetapkan pada 25 April 2025, ini dianggap tidak adil dan beraroma politik oleh akademisi dan pengamat.
Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, mengecam keras keputusan tersebut. Ia menilai prosesnya sepihak dan mengabaikan aspirasi masyarakat Aceh. “Bagi masyarakat Aceh, ini bukan sekadar pengalihan wilayah, melainkan pengabaian atas martabat dan komitmen politik pascadamai,” tegas Humam di Banda Aceh, Rabu, 11 Juni 2025. Humam menekankan bahwa bagi Aceh, pulau-pulau tersebut bukan hanya titik geografis, tetapi bagian integral dari sejarah perjuangan, memori konflik, dan perjanjian damai yang diperoleh dengan pengorbanan besar. Keputusan ini, menurutnya, sarat dengan dimensi sejarah, politik, dan identitas yang kompleks.
Lebih jauh, Humam membandingkan situasi ini dengan kasus-kasus serupa di dunia, seperti Catalonia yang menuntut pemisahan dari Spanyol, Skotlandia yang berupaya merdeka dari Inggris, dan konflik berdarah di Mindanao, Filipina Selatan. Ketiga kasus ini, menurutnya, memiliki kesamaan dengan Aceh: identitas historis yang kuat, relasi timpang dengan pemerintah pusat, dan kesadaran kolektif untuk mempertahankan harga diri wilayah. Ia memperingatkan bahwa pendekatan legalistik semata terhadap pengalihan wilayah ini hanya akan memperparah kecurigaan dan berpotensi memicu resistensi yang lebih luas. Humam menekankan pentingnya pendekatan empati dan pemahaman konteks sosial-psikologis masyarakat Aceh, bukan hanya berfokus pada aspek legal-formal. Pemerintah, menurutnya, harus hadir sebagai mitra yang menghargai memori, identitas, dan martabat lokal.
Senada dengan Humam, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, menilai keputusan Mendagri tersebut menimbulkan kecurigaan adanya agenda politik terselubung. Ia bahkan mengaitkan hal ini dengan keluarga mantan Presiden Joko Widodo dan “geng Solo”, mengingat Gubernur Sumut Bobby Nasution adalah menantu Jokowi dan Mendagri Tito Karnavian dikenal sebagai loyalisnya. Kecurigaan ini diperkuat oleh dugaan potensi sumber daya alam yang melimpah di empat pulau tersebut. Iwan memprediksi keputusan ini akan memicu polemik dan kegaduhan, mengingat sejarah konflik wilayah dan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Menanggapi kontroversi ini, Mendagri Tito Karnavian menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak memiliki kepentingan pribadi dan hanya berupaya menyelesaikan masalah batas wilayah secara objektif dan legal, berdasarkan penelitian Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, dan Topografi Angkatan Darat. Ia menyatakan bahwa batas darat sudah disepakati kedua belah pihak, sementara batas laut masih dalam proses penyelesaian. Meskipun penegasan nama wilayah sudah dilakukan, proses penyelesaian batas wilayah secara keseluruhan masih terus berjalan. Pemerintah, melalui Mendagri, juga telah mempersilakan pihak yang keberatan untuk menggugat keputusan ini ke PTUN.
Kesimpulannya, keputusan Mendagri terkait empat pulau di Aceh Singkil ini telah memicu kontroversi besar. Selain menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan transparansi, keputusan ini juga memunculkan kecurigaan adanya agenda politik dan mengusik sentimen historis masyarakat Aceh. Pendekatan yang lebih humanis dan empatik, serta memperhatikan konteks sosial-budaya Aceh, dinilai krusial untuk meredam potensi konflik yang lebih besar di masa depan.