## Sengketa Empat Pulau Aceh: Protes Keras Menggema dari Aceh hingga Jakarta
Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan empat pulau di Aceh Singkil, Aceh—Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—sebagai wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, telah memicu gelombang protes besar. Keputusan yang tertuang dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, ditetapkan 25 April 2025, ini dinilai merugikan Aceh dan menimbulkan ketidakadilan. Kemendagri sendiri berdalih penetapan ini berdasarkan penelitian Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, dan Topografi Angkatan Darat, yang menyatakan keempat pulau tersebut berada dalam wilayah Sumut. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan menyatakan keputusan ini telah ditandatangani kedua belah pihak, klaim yang langsung dibantah oleh berbagai pihak di Aceh.
Reaksi penolakan pun meluas dan tak terbendung. Masyarakat Aceh secara tegas menolak alih administrasi ini, menjadikan isu ini sebagai berita utama di berbagai media lokal. Headline seperti “Empat Pulau Aceh ‘Lepas’ ke Sumut” (Serambinews, 10 Juni 2025), “Pemerintah Aceh Perjuangkan Status Empat Pulau di Singkil yang Masuk Wilayah Sumut” (The Aceh Post, 27 Mei 2025), dan “Masyarakat Tolak Putusan Mendagri, Tegaskan Kepemilikan Empat Pulau di Singkil milik Aceh” (Aceh News, 3 Juni 2025) mencerminkan sentimen publik yang kuat.
Pemerintah Aceh sendiri tak tinggal diam. Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menyatakan komitmen penuh untuk memperjuangkan pengembalian status keempat pulau tersebut ke Aceh. Pemprov Aceh, kata Syakir, telah menyerahkan berbagai bukti otentik, termasuk infrastruktur fisik, dokumen kepemilikan, dan foto pendukung, selama proses verifikasi yang berlangsung sejak sebelum 2022. Upaya ini mencakup beberapa kali rapat koordinasi dan survei lapangan yang difasilitasi oleh Kemendagri.
Pertemuan antara Gubernur Sumut Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf, yang dikabarkan membahas kemungkinan kerja sama pengelolaan keempat pulau, juga menuai penolakan. Anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman Haji Uma, secara tegas menolak tawaran tersebut, menuntut kedaulatan penuh Aceh atas wilayah yang disengketakan. Sudirman, yang telah mengirimkan surat kepada Kemendagri sejak 2017 untuk mempertanyakan status pulau-pulau tersebut, menegaskan bahwa sejak 1965 pulau-pulau itu telah dihuni penduduk Aceh, bahkan telah dibangun infrastruktur oleh Pemprov Aceh pada 2012. Ia mendesak Kemendagri untuk meninjau ulang keputusan tersebut secara menyeluruh dan objektif.
Desakan untuk meninjau ulang keputusan Kemendagri juga datang dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Aceh dan lembaga lain. Sudirman Haji Uma bahkan menyebut ketidakpedulian Kemendagri terhadap data pendukung yang telah diajukan Aceh. Sementara itu, Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Nazaruddin Dek Gam, secara tegas meminta Mendagri Tito Karnavian mengembalikan keempat pulau tersebut ke Aceh, mengingat bukti kepemilikan Aceh yang kuat dan status kependudukan masyarakat di pulau-pulau tersebut yang telah lama ber-KTP Aceh.
Komisi II DPR RI turut angkat bicara, meminta Kemendagri menyelesaikan polemik ini secara elegan dan harmonis, melalui jalur musyawarah mufakat. Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK), Ahmad Humam Hamid, menambahkan bahwa keputusan Kemendagri yang dinilai sepihak tersebut menimbulkan ketidakadilan dan mengabaikan aspek sejarah, politik, dan identitas yang kompleks bagi masyarakat Aceh. Bagi masyarakat Aceh, pulau-pulau ini bukanlah sekadar titik geografis, melainkan bagian penting dari memori perjuangan dan perjanjian damai.
Polemik empat pulau ini bukan hanya sengketa wilayah, tetapi juga menyangkut kedaulatan, identitas, dan sejarah Aceh. Desakan untuk mengembalikan status administratif keempat pulau ke Aceh terus bergema, menuntut keadilan dan solusi yang mengakomodasi aspirasi masyarakat Aceh. Linda Lestari, Adi Warsidi, Iil Askar Mondza, Eka Yudha Saputra, dan Yudono Yanuar turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.