Serangan Drone Ukraina Hancurkan 41 Pesawat Rusia: Kegagalan Intelijen atau Kelemahan S-400?
Serangan drone skala besar yang dilancarkan Ukraina pada Minggu, 1 Juni 2025, telah menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas sistem pertahanan udara Rusia, khususnya S-300 dan S-400. Serangan yang dijuluki “Operasi Jaring Laba-laba” ini menghancurkan 41 pesawat pengebom strategis Rusia, termasuk Tu-95, Tu-22M, dan A-50, mengakibatkan kerugian mencapai 7 miliar dollar AS (sekitar Rp 114 triliun) atau 34 persen dari armada pengebom Rusia. Kejadian ini menjadi sorotan global dan memicu perdebatan tentang kemampuan sistem pertahanan canggih Rusia dalam menghadapi ancaman modern.
Sasaran serangan meliputi lima pangkalan udara Rusia: Belaya, Dyagilevo, Ivanovo Severny, Olenya, dan Ukrainka. Sebanyak 117 drone digunakan dalam operasi ini, yang diluncurkan secara serentak dan berhasil menerobos pertahanan Rusia. Keberhasilan Ukraina ini menandai serangan terdalam mereka ke wilayah Rusia, dengan beberapa target berada lebih dari 4.300 kilometer dari garis depan. Drone-drone tersebut, disembunyikan di dalam struktur kayu yang dipasang di truk, berhasil mendekati pangkalan udara tanpa terdeteksi, kemudian diluncurkan secara tiba-tiba.
Kegagalan sistem pertahanan canggih Rusia dalam mencegat drone-drone ini telah menjadi pusat perhatian. Meskipun S-300 dan S-400 dirancang untuk mencegat rudal jarak jauh, mereka terbukti tidak efektif melawan drone-drone kecil yang terbang rendah dan diluncurkan dari jarak dekat. Namun, pensiunan Letnan Jenderal India, Vishnu Chaturvedi, menawarkan perspektif yang berbeda. Ia berpendapat bahwa kegagalan tersebut bukanlah karena kelemahan teknis S-400, melainkan karena kegagalan intelijen Rusia.
Chaturvedi menjelaskan bahwa drone-drone tersebut tidak diluncurkan dari jarak jauh, melainkan dari dalam wilayah Rusia sendiri. Jarak tempuh yang pendek dan ketinggian terbang yang sangat rendah membuat drone-drone tersebut mampu mencapai target dalam hitungan detik atau menit, sebelum sistem pertahanan Rusia sempat bereaksi. S-400, dirancang untuk menghadapi ancaman di ketinggian dan jarak jauh, terbukti kurang efektif dalam menghadapi serangan jarak dekat dan rendah. Jumlah drone yang besar, 117 unit, juga turut berperan dalam membanjiri pertahanan lokal, memungkinkan beberapa serangan berhasil menembus pertahanan.
Lebih lanjut, Chaturvedi menekankan bahwa perencanaan serangan yang matang oleh Ukraina, diperkirakan selama lebih dari setahun, termasuk pengangkutan drone ke Rusia, kemungkinan melalui Kazakhstan, menunjukkan kegagalan intelijen Rusia dalam mendeteksi ancaman tersebut. Ia menegaskan kemampuan S-400 dalam mencegat target hingga sejauh 400 km, namun sistem ini tidak dirancang untuk menghadapi serangan jarak dekat dan rendah dari dalam wilayahnya sendiri. Insiden ini bukan yang pertama kalinya. Antara Agustus 2023 dan 2024, Ukraina juga berhasil menghancurkan beberapa sistem S-400, termasuk radarnya. Namun, Chaturvedi menilai hal tersebut tidak menunjukkan kelemahan inheren pada sistem itu sendiri, melainkan faktor lain seperti kurangnya pengalaman operator, kesalahan penempatan, atau kurangnya pertahanan berlapis yang mendukung S-400. Kesimpulannya, serangan drone Ukraina ini mengungkap kelemahan yang lebih besar dalam sistem intelijen dan strategi pertahanan Rusia, ketimbang kelemahan teknis sistem pertahanan udara mereka.