Sejumlah emiten properti baru-baru ini telah merampungkan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Buku Tahun 2024 mereka. Namun, keputusan mengenai pembagian dividen dari sejumlah perusahaan properti ini justru kurang memuaskan, bahkan cenderung melandai, mencerminkan kehati-hatian di tengah kondisi ekonomi yang dinamis.
Dua di antaranya adalah PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), yang memutuskan untuk tidak membagikan dividen dari laba bersih tahun buku 2024. Dalam RUPST BSDE, pemegang saham menyetujui penggunaan laba bersih senilai Rp 4,36 triliun sebagai laba ditahan, serta menyisihkan Rp 2 miliar sebagai dana cadangan. Direktur BSDE, Hermawan Wijaya, menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk memperkuat struktur permodalan demi mendukung pengembangan proyek-proyek BSDE di seluruh Indonesia.
Senada, ASRI juga mengambil keputusan serupa, menggunakan laba bersih tahun 2024 untuk menopang kinerja dan memperkuat likuiditas perseroan di tahun ini. Corporate Secretary ASRI, Tony Rudiyanto, menjelaskan bahwa strategi ini diambil untuk memperkokoh posisi keuangan perusahaan.
Berbeda dengan BSDE dan ASRI, PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) menunjukkan performa yang cukup signifikan dengan keputusan membagikan dividen sebesar Rp 67,5 miliar, setara dengan Rp 4 per saham, dari buku tahun 2024. Keputusan ini didukung oleh lonjakan laba bersih PANI yang mencapai Rp 623,91 miliar di tahun 2024, naik 131,04% secara tahunan (year-on-year).
Sementara itu, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) berencana mendistribusikan dividen sebesar Rp 148,57 miliar atau setara dengan Rp 9 per saham dari laba bersih tahun 2024. Meskipun laba bersih SMRA melonjak hingga Rp 1,37 triliun di tahun 2024, mengalami peningkatan 79,29% yoy dibanding laba bersih 2023 yang hanya Rp 765,96 miliar, besaran dividen tunai per sahamnya masih sama dengan tahun sebelumnya.
Di tengah tren dividen yang cenderung stagnan, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dan PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) justru menunjukkan peningkatan dalam pembagian dividen mereka. CTRA mengumumkan dividen sebesar Rp 444,85 miliar dari buku tahun 2024, atau setara dengan Rp 24 per saham, meningkat dari Rp 389 miliar (Rp 21 per saham) pada tahun buku 2023. Laba bersih perseroan tercatat mencapai Rp 2,12 triliun sepanjang tahun 2024. Demikian pula MTLA, yang menebar dividen sebesar Rp 86,12 miliar, setara dengan Rp 11,25 per saham, sedikit naik dari Rp 83,51 miliar atau Rp 10,91 per saham pada tahun buku 2023.
Keputusan dividen yang melandai dari sebagian besar emiten properti ini, menurut Andhika Cipta Labora, Analis Kanaka Hita Solvera, didorong oleh strategi menjaga struktur permodalan. Andhika menjelaskan bahwa faktor-faktor seperti perang tarif, suku bunga yang relatif tinggi, dan penurunan daya beli akibat tren PHK yang meningkat turut memengaruhi keputusan tersebut. Senada, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, mengamati bahwa tren dividen emiten properti di tahun buku 2024 cenderung defensif. Strategi ini diambil untuk memperkuat posisi kas dan struktur modal perusahaan, terutama di tengah perlambatan penjualan properti dan kekhawatiran terhadap prospek ekonomi 2025.
Secara strategis, keputusan menahan dividen ini dinilai rasional. Namun, bagi investor jangka panjang yang mengandalkan dividen sebagai sumber pendapatan pasif, kebijakan ini tentu menjadi kurang ideal.
Prospek dan Rekomendasi Saham
Meskipun tren dividen emiten properti terbilang stagnan, Andhika Cipta Labora tetap melihat daya tarik pada saham properti untuk koleksi jangka panjang. Ia optimistis bahwa penurunan suku bunga dan peningkatan daya beli masyarakat akan memacu kembali pendapatan prapenjualan atau marketing sales emiten properti. Dukungan pemerintah melalui program “3 Juta Rumah” juga menjadi katalis positif bagi sektor ini.
Andhika memperkirakan kinerja emiten properti di kuartal II masih akan melambat karena sentimen negatif dari perang tarif dan suku bunga yang tinggi. Namun, semester II diperkirakan akan membaik, terutama jika The Fed memangkas suku bunga yang kemudian diikuti oleh Bank Indonesia (BI). Tantangan di semester II, menurutnya, adalah memanasnya hubungan geopolitik di Timur Tengah yang berpotensi menaikkan harga minyak dan inflasi. Berdasarkan analisisnya, Andhika merekomendasikan buy on weakness untuk SMRA dengan target harga Rp 420 per saham, dan BSDE dengan target harga Rp 910 per saham.
Ekky Topan juga sependapat bahwa emiten sektor properti masih menarik untuk dikoleksi, terutama karena valuasi saham properti saat ini dinilai relatif murah. Potensi capital gain masih terbuka lebar, khususnya jika BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan di semester II, yang akan menjadi katalis positif bagi sektor properti. Namun, investor perlu menyesuaikan ekspektasi. Saat ini, emiten properti lebih memprioritaskan manajemen kas dan penyelesaian proyek, alih-alih agresif membagikan dividen. Oleh karena itu, saham-saham properti lebih cocok bagi investor dengan horizon jangka menengah hingga panjang yang sabar menanti pemulihan siklus industri. Ekky merekomendasikan buy on weakness untuk SMRA di area Rp 350 – Rp 360 per saham, dengan target jangka panjang di atas Rp 500 per saham, seiring pemulihan sektor properti dan sentimen positif dari kebijakan fiskal serta moneter.