Ragamharian.com – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali meningkat, memicu kekhawatiran akan potensi blokade Selat Hormuz oleh Iran sebagai respons atas konflik Israel-Iran. Skenario ini berpotensi menimbulkan dampak global yang signifikan, terutama bagi negara-negara Asia yang sangat bergantung pada jalur perdagangan minyak mentah vital ini.
Data Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) menunjukkan, sekitar 14,2 juta barel minyak mentah dan 5,9 juta barel produk minyak bumi melintasi Selat Hormuz setiap hari. Jumlah ini mewakili sekitar 20% dari pasokan minyak global pada kuartal pertama tahun 2025, dengan sekitar 84% dialirkan ke kawasan Asia. Minyak yang melewati selat sempit antara Iran dan Oman ini sebagian besar berasal dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, Qatar, dan Iran, yang semuanya menjadikan jalur ini sebagai rute ekspor utama.
Mari kita tinjau dampak potensial terhadap negara-negara Asia utama jika Selat Hormuz terganggu, berdasarkan laporan AFP pada Senin, 23 Juni 2025. China, sebagai importir minyak terbesar dari kawasan Teluk melalui Selat Hormuz, akan menjadi negara yang paling terpukul. EIA mencatat impor minyak mentah China melalui selat ini mencapai sekitar 5,4 juta barel per hari pada kuartal pertama 2025. Arab Saudi merupakan pemasok utama kedua bagi China (sekitar 15% dari total impor, atau 1,6 juta barel per hari), sementara lebih dari 90% ekspor minyak Iran juga dibeli oleh China (sekitar 1,3 juta barel per hari pada April 2025, sedikit menurun dari bulan Maret).
India, juga merupakan negara yang sangat bergantung pada Selat Hormuz, mengimpor sekitar 2,1 juta barel minyak per hari melalui jalur ini. Meskipun sekitar 53% kebutuhan minyak India masih berasal dari Timur Tengah (terutama Irak dan Arab Saudi), India telah berupaya mengurangi ketergantungannya dengan meningkatkan impor minyak dari Rusia dalam tiga tahun terakhir. Menteri Perminyakan dan Gas Alam India, Hardeep Singh Puri, menegaskan komitmen pemerintah untuk memastikan stabilitas pasokan bahan bakar bagi rakyatnya.
Korea Selatan, dengan 68% impor minyaknya (1,7 juta barel per hari) melewati Selat Hormuz, juga menghadapi risiko besar. Arab Saudi menjadi pemasok utama Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan telah mempersiapkan langkah antisipasi dengan menjaga cadangan minyak strategis yang setara dengan pasokan sekitar 200 hari.
Jepang, yang mengimpor sekitar 1,6 juta barel minyak mentah per hari melalui Selat Hormuz (95% impor minyaknya berasal dari Timur Tengah pada tahun lalu), juga mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko, termasuk mempersingkat waktu pelayaran kapal di wilayah Teluk. Perusahaan pelayaran besar seperti Mitsui OSK telah menerapkan strategi ini.
Selain negara-negara besar tersebut, negara-negara Asia lainnya seperti Thailand dan Filipina juga akan terdampak, dengan sekitar 2 juta barel minyak mentah per hari yang ditujukan ke negara-negara ini melalui Selat Hormuz. Eropa menerima sekitar 0,5 juta barel, dan Amerika Serikat sekitar 0,4 juta barel per hari.
Meskipun diversifikasi sumber pasokan minyak menjadi solusi yang mungkin, menggantikan volume besar impor dari Timur Tengah bukanlah hal mudah dalam waktu singkat. MUFG Bank menganalisis bahwa dalam jangka pendek, persediaan minyak global, kapasitas cadangan OPEC+, dan produksi minyak serpih AS dapat membantu meredam dampak. Namun, penutupan penuh Selat Hormuz akan tetap membatasi aksesibilitas sebagian besar kapasitas produksi cadangan ini yang terkonsentrasi di Teluk Persia. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki jalur pipa alternatif, namun kapasitasnya terbatas (sekitar 2,6 juta barel per hari). Jalur pipa Goreh-Jask Iran juga memiliki kapasitas terbatas dan saat ini tidak aktif.
Indonesia, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam laporan EIA, juga berpotensi terdampak secara tidak langsung, terutama melalui lonjakan harga minyak dunia jika krisis di Selat Hormuz terjadi.