Ragamharian.com – , Jakarta – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan rencana legislator Senayan akan memanggil Menteri Kebudayaan Fadli Zon seusai menimbulkan kontroversi. Fadli Zon menyangkal adanya pemerkosaan massal 1998 dengan menyebut kejadian itu sebatas rumor belaka.
Pilihan editor: Agar Ekspansi Transjakarta Tak Jadi Beban Subsidi
Penyangkalan tersebut menjadi landasan Komisi X memanggil Fadli Zon dalam waktu dekat. “Komisi terkait saya dengar akan meminta menteri yang bersangkutan memberikan keterangan di DPR,” ujar Dasco di kompleks parlemen, Jakarta, pada Selasa, 24 Juni 2025.
Politikus Partai Gerindra itu pun menyambut baik agenda tersebut. Dasco menilai pemanggilan tersebut bisa membantu meluruskan apa yang sebenarnya dimaksud oleh Fadli Zon. “Saya pikir itu bagus untuk meng-clear-kan hal-hal yang kemudian menjadi informasi bagi masyarakat.”
Pada kesempatan yang sama, ia meminta publik tak berspekulasi soal proyek penulisan ulang sejarah yang tengah digarap oleh Kementerian Kebudayaan. Ia mengatakan bahwa tidak ada siapa pun yang bisa menjamin bahwa ada maksud khusus dari penulisan ulang sejarah itu.
“Kita kan enggak tahu. Jangan kemudian menuduh sepihak ada kepentingan dari penguasa loh,” tuturnya. Dia lalu mengimbau agar masyarakat tak mengambil kesimpulan sendiri.
Alasannya karena saat ini proyek yang dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon itu masih berproses dan dalam pengawasan Komisi X DPR. “Kan itu baru nanti akan didalami oleh Komisi X. Nah setelah didalami, baru diambil kesimpulan,” ujarnya kemudian.
Sejumlah kelompok masyarakat menilai penulisan ulang sejarah sarat akan masalah dan kepentingan politik. Mantan aktivis 1998, Pande K. Trimayuni, mengatakan semestinya penulisan sejarah diinisiasi oleh para akademisi dan sejarawan, baik karena adanya penemuan baru maupun karena pertimbangan lain. Menurut dia, penulisan yang diinisiasi oleh negara semakin menunjukkan adanya kepentingan tertentu.
“Terlihat dari banyak yang tidak dimunculkan, seperti melihat persoalan yang terjadi di Orde Baru sebagai hal positif saja,” kata Pande dalam konferensi pers di Graha Pena 98, Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025.
Pande menuturkan upaya memutihkan dosa masa lalu itu terlihat dari luputnya berbagai macam peristiwa penting yang melibatkan para pemimpin kala itu, dan sebagian masih berkuasa hingga saat ini. Beberapa peristiwa yang tidak dicantumkan itu di antaranya tentang gerakan perempuan, peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) menjelang reformasi, dan terlalu banyak menggunakan kata pembangunan yang memberikan kesan menghilangkan aksi-aksi keji saat itu.
Dia menjelaskan dampak dari pengaburan fakta itu tidak hanya berhenti dari dibukukannya sejarah. Lebih jauh, dia khawatir negara akan menggunakannya sebagai alat propaganda seperti memasukkannya ke dalam kurikulum, referensi film-film, hingga menjadi argumen pembenaran untuk memberikan gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto.
Sementara itu, akademisi, ahli, aktivis, dan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak penulisan ulang sejarah secara tunggal yang sedang digarap pemerintah. Mereka menilai penulisan ulang sejarah itu bisa membungkam kebenaran.
Menurut AKSI, negara tidak berhak memberi tafsir tunggal atas sejarah. AKSI juga menilai sejarah seharusnya memberi ruang setara bagi mereka yang dimarjinalkan di masyarakat. Penolakan AKSI ini juga telah disampaikan saat melakukan audiensi dengan Komisi X DPR pada 19 Mei 2025.
“Pelanggaran berat HAM masa lalu harus terus diungkap kebenarannya, disuarakan, diingat; dan ‘sejarah resmi’ dapat digunakan menutupi dosa masa lalu, peristiwa yang kelam berisiko terulang kembali,” kata AKSI dalam keterangan yang diterima Tempo pada Senin, 2 Juni 2025.
Sapto Yunus berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Kemenag: Masjid Belum Ramah terhadap Penyandang Disabilitas