Insiden jatuhnya pendaki Brasil di Gunung Rinjani menyoroti standar keamanan pariwisata di Indonesia. Meski proses evakuasi dilakukan secara maksimal, pakar menilai mitigasi risiko di destinasi alam perlu dibenahi.
Pendaki asal Brasil, Juliana De Souza Pereira Marins (27), yang jatuh di Gunung Rinjani, Lombok dievakuasi pada Rabu (25/06) pukul 06.00 WITA. Evakuasi dilakukan menggunakan metode lifting atau pengangkatan vertikal. Setelah itu, korban ditandu menyusuri jalur pendakian menuju Posko Sembalun sebelum dievakuasi dengan helikopter ke RS Bhayangkara Polda Nusa Tenggara Barat.
Sebelumnya, tim SAR gabungan telah melakukan pencarian selama kurang lebih tiga hari, hingga akhirnya berhasil menjangkau posisi Juliana pada Selasa (24/06) pukul 18.00 WITA. Kala itu, Juliana ditemukan sudah dalam keadaan meninggal dunia pada kedalaman sekitar 600 meter.
Jenazah kemudian langsung dibungkus untuk persiapan evakuasi. Tujuh personel melakukan flying camp atau menginap di sekitar lokasi pada Selasa (24/06) malam, dengan tiga orang di anchor point kedua (kedalaman 400 meter) dan empat orang lainnya berada di samping korban (kedalaman 600 meter), seperti yang dikutip dari media nasional Indonesia, Detik.
“Seluruh tim berkoordinasi erat untuk memastikan korban dapat dievakuasi dengan aman,” ungkap Kepala Kantor SAR Mataram, Muhamad Hariyadi dalam rilis pers yang diterbitkan pada Selasa (24/06).
Sebelumnya, pencarian sempat terkendala medan terjal, cuaca ekstrem serta kabut tebal yang menghalangi pandangan. Operasi SAR berskala besar ini melibatkan berbagai unsur, seperti Basarnas, BSG, kru Helikopter HR-3606, Kantor SAR Mataram, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), TNI, Polri, BPBD Lombok Timur, Unit SAR Lombok Timur, PT AMMAN, EMHC, Lorac, Rinjani Squard, Damkar, Relawan Rinjani, porter, dan unsur terkait lainnya.
Kronologi proses evakuasi
Pada Sabtu (21/06) dini hari, Juliana melakukan pendakian Rinjani Bersama enam orang lainnya, ditemani seorang pemandu lokal melewati jalur Sembalun.
Saat perjalanan, Juliana dilaporkan merasa kelelahan, sehingga pemandu meminta Juliana beristirahat sendirian sembari ia melanjutkan perjalanan ke puncak bersama rombongan lainnya.
Setelah menunggu beberapa saat, Juliana tidak juga datang menyusul rombongan. Ketika pemandu memutuskan kembali menjemput Juliana, keberadaan Juliana tidak lagi diketahui. Saat itu, pemandu melihat cahaya senter di dasar jurang yang mengarah ke Danau Segara Anak dan menduga cahaya itu berasal dari Juliana.
Setelah melapor ke pihak berwenang, 48 personel dari tim evakuasi berusaha mendekati lokasi dugaan jatuhnya korban. Meski begitu, evakuasi tidak dapat segera dilakukan karena medan yang ekstrem dan cuaca buruk. Sebelumnya, korban sempat terdengar berteriak minta tolong dan dinyatakan dalam kondisi selamat.
Pada Minggu (22/06), Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani menyatakan posisi korban dilaporkan semakin terperosok lebih dari 300 meter. Kabut tebal dan cuaca buruk mengakibatkan drone thermal belum dapat digunakan secara maksimal, sehingga proses pencarian belum membuahkan hasil.
Pada pencarian hari ketiga, Senin (23/06) pagi, posisi Juliana terpantau tersangkut di tebing batu pada kedalaman sekitar 500 meter dalam keadaan tidak bergerak. Sayangnya, tim evakuasi masih kesulitan menjangkau posisi korban karena tantangan medan serta kabut yang mempersempit jarak pandang.
Helikopter dikerahkan pada Selasa (24/06) untuk melanjutkan proses evakuasi. Hingga akhirnya pada pukul 18.00 WITA, Basarnas berhasil menjangkau tubuh korban pada kedalaman 600 meter dalam keadaan tidak bernyawa. Evakuasi pun diputuskan dilakukan pada Rabu (25/06) pagi karena cuaca yang buruk.
Standar keamanan pariwisata di Indonesia
Insiden yang dialami Juliana bukanlah yang pertama kali terjadi di Rinjani. Dikutip dari media nasional Indonesia, Kompas.com, tiga insiden lain juga terjadi pada periode April-Juni 2025. Dari ketiga insiden tersebut, satu WNA dari Malaysia ditemukan meninggal.
Rentetan insiden ini tentunya menimbulkan pertanyaan akan standar keamanan dan keselamatan wisatawan di industri pariwisata Indonesia.
Pakar pariwisata dari Universitas Andalas, Assoc. Prof. Dr. Sari Lenggogeni menyebut bahwa pemerintah perlu memprioritaskan mitigasi kebencanaan destinasi alam dengan menerapkan berbagai regulasi. Pasalnya, kebanyakan pengelolaan destinasi alam di Indonesia masih berbasis komunitas.
“Perlu peranan regulator untuk memperkuat mitigasi blueprint kebencanaan di daerah high risk yang mencakup semuanya, mulai dari peningkatan standarisasi dan sertifikasi, pelatihan, posko keselamatan, hingga infrastruktur dan suplai yang memadai,” jelasnya kepada DW Indonesia.
Meski begitu, Prof. Dr. Janianton Damanik M.Si, selaku peneliti senior Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada juga menjelaskan bahwa aturan pendakian harusnya sudah tertera di pintu masuk.
“Ketaatan dan kepatuhan pada aturan perjalanan juga sangat bergantung pada masing-masing turis, karena risiko akan selalu ada, kapan saja. Di pendakian profesional pun ada terms and condition, bahwa pemandu tidak bisa sepenuhnya bertanggung jawab terhadap nyawa pendaki,” ungkapnya.
Walau begitu, pakar juga mengamini adanya keterbatasan peralatan dasar serta bantuan darurat di tiap posko pemberhentian yang belum memadai. Tak hanya itu, pakar juga menekankan pentingnya pengecekan kesehatan pendaki sebelum mulai melakukan perjalanan untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan.
Pakar juga menggarisbawahi kurangnya Standard of Procedure yang masih belum banyak disosialisasikan pemerintah kepada tingkat provinsi, kabupaten serta kota.
“Sejujurnya, konsep keamanan di destinasi alam Indonesia memang belum mumpuni. Cetak biru terhadap keamanan masih rendah. Sebagai contoh, jarang sekali ada rambu-rambu keamanan evakuasi bencana di pantai,“ jelas Lenggogeni.
Tantangan yang dihadapi
Meski pakar menekankan pentingnya ada standarisasi internasional,Indonesia menghadapi berbagai tantangan untuk memenuhi standar tersebut. Salah satunya, destinasi alam di Indonesia memiliki medan yang cukup unik sehingga sulit untuk disamaratakan dengan standar internasional.
Tak hanya itu, sumber daya manusia pun menjadi faktor lain yang harus dipertimbangkan.
“Jaminan akan keselamatan turis memang harus dilakukan dengan sertifikasi para pemandu. Masalahnya, banyak pemandu di Rinjani yang sudah turun temurun menggunakan local knowledge, sehingga terkadang mereka tidak memenuhi syarat internasional, seperti pendidikan formal, kemampuan bahasa, hingga pengalaman internasional,“ kata Damanik.
Lebih dari itu, pemandu lokal yang tak bisa memenuhi syarat tersebut pun dapat tersingkir, dan justru dapat tergantikan oleh pemandu atau turis internasional yang bisa mendapatkan sertifikat tersebut.
Pada akhirnya, peluang kerja dan ekonomi pun bergeser dan tak bisa menyejahterakan masyarakat lokal.
Apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Damanik menjelaskan, perlu ada evaluasi dari tata cara pendakian, jumlah pengunjung, hingga kapasitas di tiap titik destinasi.
Menurut pakar, saat ini pemerintah masih terlalu berfokus pada peningkatan jumlah turis yang dapat menambah devisa negara. Padhaal, kualitas dan praktiknya pun tetap harus dievaluasi. Nyatanya, masih banyak gunung yang dikunjungi lebih dari kapasitasnya.
“Baik saat musim hujan, ataupun ketika ada over carrying capacity, potensi risiko sangat tinggi. Di situlah tim pengaman sudah seharusnya ada di lapangan, sehingga mitigasi risiko lebih mudah dilakukan,” jelas Damanik kepada DW Indonesia.
Selain membenahi manajemen risiko, pakar juga menekankan pentingnya peran Basarnas yang masih bisa ditingkatkan.
“Saya mengapresiasi kerja tim SAR dan Basarnas, tapi mereka hanyalah support system yang hanya membantu ketika terjadi sebuah insiden. Pemeran intinya tetap ada di regulator bidang pariwisata, yaitu pemerintah. Kenapa ada kekurangan kapasitas dari Basarnas, karena itu semua berasal dari sistem, yaitu yang membuat regulasinya. Perlu ada penyempurnaan sehingga mereka bisa bekerja lebih mudah dalam melakukan evakuasi,” sebut Lenggogeni.
ind:content_author: Adelia Dinda Sani