Ragamharian.com – , Jakarta – Pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, menjelaskan sejumlah kendala teknis di balik tidak digunakannya helikopter untuk menyelamatkan JDSP (27), pendaki asal Brasil yang terjatuh di Gunung Rinjani.
Penjelasan ini disampaikan melalui unggahan X sebagai respons atas sorotan warganet yang mempertanyakan mengapa korban tak langsung dievakuasi melalui udara pada hari pertama kejadian. “Tidak semua helicopter rescue itu seideal di film-film,” kata Gerry, Selasa malam, 24 Juni 2025. Gerry sudah mempersilakan Tempo mengutipnya.
Ia menyebut bahwa lokasi kejadian berada di ketinggian sekitar 10.000 kaki, sementara korban jatuh ke lereng sekitar 9.400 kaki. Kondisi tersebut, menurutnya, menjadi tantangan besar untuk operasi helikopter.
Gerry mengatakan helikopter yang dioperasikan Basarnas adalah AW139 dan AS365. Kedua helikopter tersebut tidak memenuhi batasan teknis untuk melakukan penyelamatan dengan metode hoisting (pengangkatan vertikal). Hal ini terkait kemampuan helikopter untuk melayang atau hover, baik dengan dukungan permukaan (hover in ground effect/IGE) maupun tanpa dukungan permukaan (hover out of ground effect/OGE).
“Hover IGE itu kalau helikopter dibantu oleh bantalan tekanan udara tinggi dari baling-balingnya. Ini IGE hanya sampai sekitar 10–15 meter di atas permukaan tanah datar. Nah kalau tidak hover IGE, ya harus hover OGE,” tuturnya.
Gerry menjelaskan bahwa untuk helikopter AW139, ketinggian maksimum untuk hover OGE adalah 8.130 kaki di atas permukaan laut. Untuk AS365, hover OGE maksimum hanya 3.740 kaki. Artinya, operasi penyelamatan di lokasi korban, yang berada di atas ketinggian tersebut, tidak mungkin dilakukan dengan helikopter yang ada.
“Jadi di sini bisa kelihatan, heli Basarna tidak akan bisa melakukan hoisting rescue korban, mau cuacanya bagus sekalipun,” ucap dia. Sebagai perbandingan, helikopter militer seperti Blackhawk saja hanya mampu hover OGE maksimal di 6.200 kaki.
Sementara itu, helikopter sipil Bell 206L4, yang digunakan dalam proses evakuasi dari Sembalun, memiliki kemampuan hover OGE hingga 6.500 kaki. “Cuman tetep, enggak bisa rescue di lerengnya pakai heli ini juga.”
Evakuasi udara akhirnya dilakukan dari kawasan Sembalun yang berada di ketinggian sekitar 3.000 kaki, memungkinkan helikopter untuk beroperasi dengan aman.
Adapun operasi pencarian JDSP yang sebelumnya dilaporkan terjatuh saat mendaki Gunung Rinjani, resmi berakhir dengan kabar duka. Tim SAR gabungan menemukan korban dalam kondisi meninggal dunia pada Selasa, 24 Juni 2025, di kedalaman sekitar 600 meter dari lokasi jatuh.
Kepala Kantor SAR Mataram Muhamad Hariyadi mengatakan bahwa salah satu personel berhasil mencapai lokasi korban di jurang pada pukul 18.00 WITA. “Setelah pemeriksaan awal, tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan pada korban,” kata Hariyadi.
Akhyar M. Nur ikut berkontribusi dalam tulisan ini
Pilihan Editor: Kepala Bapeten: Membangun PLTN Tak Bisa Sembarangan