Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah telah menimbulkan tantangan baru. Keputusan ini, yang diputuskan pada Kamis, 26 Juni 2025 dalam perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan Perludem, mengakibatkan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kekosongan jabatan kepala daerah. Hal ini pun mendorong berbagai pihak untuk segera merevisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.
Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto, mendesak Komisi Pemerintahan DPR untuk segera membahas revisi UU Pemilu. Menurutnya, putusan MK yang tidak lagi menyelenggarakan pemilu serentak berpotensi menimbulkan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Ia menekankan pentingnya revisi UU Pemilu dan UU Pilkada untuk mengantisipasi dampak putusan MK ini secara ideal. Dengan pemilu daerah yang kemungkinan baru terlaksana pada tahun 2031, kekosongan jabatan di daerah akan terjadi pada tahun 2029.
Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karyasuda, mengungkapkan bahwa komisi tersebut masih menunggu arahan pimpinan DPR terkait tindak lanjut putusan MK. Ia menjelaskan bahwa opsi penjabat sementara (Pjs) dapat digunakan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah pada 2029. Namun, solusi ini tidak berlaku untuk DPRD. Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan DPRD hingga Pemilu Daerah 2031 menjadi satu-satunya opsi, menegaskan urgensi revisi UU Pemilu. “Hal ini menjadi perhatian utama kami dalam pembahasan revisi UU Pemilu,” ujar politikus Partai NasDem tersebut.
Putusan MK sendiri didasarkan pada pertimbangan bahwa pemilu serentak mengakibatkan minimnya waktu bagi masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan. Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa pemilu nasional yang berdekatan waktunya dengan pilkada menyebabkan isu pembangunan daerah tertekan oleh isu nasional. Lebih lanjut, ia juga menekankan dampak negatif terhadap stabilitas partai politik akibat waktu persiapan yang terbatas. Hal senada juga disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, yang menambahkan bahwa pemilu serentak mendorong pragmatisme partai politik dan mempersulit perekrutan calon anggota legislatif yang kompeten untuk tiga level sekaligus. Hal ini, menurutnya, membuka peluang praktik transaksional dalam pencalonan. Dengan demikian, revisi UU Pemilu dan UU Pilkada menjadi sangat krusial untuk mengatasi implikasi dari putusan MK ini.