Kerja Sama Penyadapan Kejaksaan Agung dan Operator Telekomunikasi Menuai Kontroversi: Mengancam Hak Privasi Warga?
Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) menjalin kerja sama dengan sejumlah penyedia layanan telekomunikasi terkait penyadapan memantik polemik. Pakar dan pegiat hak digital melabeli inisiatif ini “problematis” lantaran berpotensi memicu pengawasan massal yang menggerus hak atas privasi warga negara.
Kesepakatan yang diteken pada Selasa (24/06) dengan empat raksasa telekomunikasi—PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT XL Axiata Tbk—ini dimaksudkan untuk memperkuat pertukaran dan pemanfaatan informasi bagi kebutuhan intelijen. Namun, pengamat dan pegiat menyoroti absennya regulasi yang membatasi aktivitas penyadapan oleh Kejagung, yang dikhawatirkan dapat membuka celah pelanggaran.
Peneliti isu kebijakan digital dari Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, mengungkapkan kekhawatirannya. “Menjadi problematis ketika membaca bagaimana kesepakatan antara Kejaksaan Agung dengan operator-operator ini… mengesankan bahwa Kejaksaan Agung akan melakukan istilahnya *surveillance* [pengawasan] massal,” ujar Wahyudi.
Sejalan dengan itu, pegiat hak digital, Nenden Sekar Arum, menegaskan bahwa warga sebagai konsumen seharusnya memiliki hak untuk mengetahui dan memberikan persetujuan terkait kemungkinan terjadinya penyadapan. “Karena kalau misalnya tidak ada persetujuan dari penggunanya, dari kita, itu sebenarnya sudah melanggar hak atas privasi yang ada di PDP [Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi],” tegas Nenden.
Kendati demikian, Kejagung, melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Harli Siregar, mengklaim bahwa pihaknya tidak akan melakukan penyadapan secara sembarangan. “Ini murni karena dalam konteks penegakan hukum, perlu ada fungsi yang bisa mendukung membantu itu sehingga perlu dikerjasamakan,” kata Harli, Kamis (26/06), seperti dikutip dari *RAGAMHARIAN.COM*.
Polemik ini turut menarik perhatian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketua DPR, Puan Maharani, pada Jumat (27/06), menekankan pentingnya hak konstitusional atas data pribadi. “Penegakan hukum sangat penting, tapi Kejaksaan harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional,” tukas Puan Maharani, seperti dikutip dari *Tempo*.
Mengapa Kerja Sama Penyadapan Ini Dinilai Bermasalah?
Wahyudi Djafar menjelaskan bahwa inti masalahnya terletak pada kekosongan regulasi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada pasal 30 C, memang menyebut “penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.” Namun, “Sayangnya Undang-Undang Penyadapan itu belum ada,” terang Wahyudi kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (27/06).
Urgensi Pembatasan Penyadapan
Pentingnya pembatasan penyadapan tak dapat diabaikan, mengingat tindakan ini bersifat membatasi hak asasi seseorang. Wahyudi menjelaskan, penyadapan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, diperlukan ketentuan pembatasan yang jelas, seperti kewajiban memperoleh surat perintah pengadilan atau hanya untuk kasus-kasus dengan barang bukti yang memadai. “Tidak bisa kemudian secara umum melakukan pemantauan,” tegas Wahyudi.
Tanpa batasan yang tegas, Kejaksaan dikhawatirkan dapat “mengakses data secara terus-menerus, melakukan penyadapan secara terus-menerus terhadap komunikasi-komunikasi personal melalui provider-provider telekomunikasi yang melakukan kesepakatan dengan Kejaksaan Agung ini,” jelas Wahyudi. Kondisi ini, menurutnya, “sangat-sangat mengancam perlindungan hak atas privasi warga negara.” Sebagai perbandingan, Wahyudi mencontohkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diwajibkan meminta izin kepada Dewan Pengawas internal untuk melakukan penyadapan.
Meminimalisir Pelanggaran Hak Digital
Pegiat hak digital dari Safenet, Nenden Sekar Arum, menggarisbawahi pentingnya persetujuan eksplisit dari warga terkait segala bentuk pemrosesan data pribadi oleh penyedia layanan telekomunikasi. Mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), Nenden menegaskan, “Karena kalau tidak ada persetujuan dari penggunanya, dari kita, itu sebenarnya sudah melanggar hak atas privasi yang ada di PDP.”
Selain itu, perusahaan penyedia layanan juga perlu transparan dalam menginformasikan jenis data apa yang dibagikan kepada aparat penegak hukum. Nenden menambahkan, pembagian data ini harus dilakukan secara terukur dan proporsional. “Harusnya hanya orang-orang yang memberikan *consent*-lah [persetujuan] yang, kemudian datanya bisa dibagikan. Kalau enggak, berarti itu sudah melanggar ya hak atas privasi,” ujarnya.
Bagi warga atau konsumen yang merasa keberatan atau tidak mendapat respons yang memuaskan dari perusahaan terkait kebijakan ini, Nenden menyarankan untuk mencoba meminta penjelasan melalui layanan pelanggan. Lebih jauh, jika tak ada titik temu, konsumen dapat menginisiasi langkah hukum berupa somasi. “Kalau misalnya kita enggak dapat jawaban yang memuaskan atau bahkan misalnya bilang *customer service*-nya enggak tahu soal itu, mungkin kita bisa lanjut ke konteks somasi,” kata Nenden.
Pandangan Asosiasi Layanan Internet
Menyikapi kerja sama ini, Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif, berpandangan positif. Menurutnya, kerja sama antara Kejagung dan operator telekomunikasi adalah langkah yang baik karena penyadapan dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab. “Menurut saya itu bagus karena pihak-pihak yang bisa menyadap ini pihak-pihak yang bertanggung jawab, jadi enggak dipakai tidak pada tempat semestinya,” kata Arif, Jumat (27/06).
Arif menjelaskan, konsumen memang perlu memahami secara menyeluruh syarat dan ketentuan layanan telekomunikasi yang mereka gunakan agar memahami hak dan kewajiban terkait data pribadi mereka. Namun, ia juga menekankan pentingnya transparansi dari pihak perusahaan mengenai kebijakan terkait kemungkinan penyadapan. “Baiknya memang disosialisasikan juga ke seluruh konsumen,” pungkas Arif.