Apa yang ingin dicapai pemerintah dengan memajaki penjual di lapak online?

Avatar photo

- Penulis Berita

Senin, 30 Juni 2025 - 11:06 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Rencana pemerintah memajaki aktivitas jual-beli di lokapasar (marketplace) menuai pro dan kontra. Bagi pelaku usaha e-commerce, pemajakan ini bakal menambah beban ekonomi yang mesti mereka tanggung.

Pemerintah, diwakili Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, membantah akan menambah pajak baru kepada mereka yang berdagang di lapak daring.

Secara garis besar, kebijakan ini difungsikan guna mengatur pergeseran (shifting). Artinya, kata pemerintah, lokapasar atau marketplace ditunjuk untuk memungut pajak penghasilan (PPh) 22 pedagang di e-commerce.

“Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar pajak penghasilan. Namun, justru memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Rosmauli, Kamis (26/6) lalu.

“Karena proses pembayaran pajak dilakukan melalui sistem pemungutan yang lebih sederhana dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan,” imbuhnya.

Kalau dirangkum, pemerintah hendak mengubah mekanisme pembayaran PPh pedagang daring dari yang sebelumnya dilakukan secara mandiri menjadi otomatis oleh marketplace yang ditunjuk.

Pemerintah menegaskan sasaran aturan baru ini tidak menjangkau kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan pendapatan di bawah Rp500 juta per tahun, melainkan di atasnya.

Inisiatif pemerintah, imbuh Rosmauli, ditetapkan untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, serta memastikan perlakuan pajak yang berkeadilan tanpa menambah beban maupun menciptakan jenis pajak baru.

Pada waktu bersamaan, pemerintah juga berkeinginan memperkuat pengawasan sekaligus menutup celah aktivitas ekonomi tersembunyi (shadow economy), khususnya dari lingkup pedagang daring.

“Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, diharapkan pemungutan PPh Pasal 22 ini dapat mendorong kepatuhan yang proporsional, serta memastikan bahwa kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata,” lanjutnya.

Bagaimana rencana kebijakan pajak e-commerce ini pertama kali muncul?

Kabar pemajakan terhadap sektor e-commerce ini pertama kali muncul dari pemberitaan kantor berita Reuters, Selasa (24/6) kemarin.

Berdasarkan berita yang dibuat, Reuters mengatakan pemerintah Indonesia berencana menerapkan “pemotongan pajak atas pendapatan penjualan” secara daring—oleh marketplace—dalam rangka meningkatkan pemasukan ke kas negara.

Reuters memperoleh informasi tersebut dari “dua sumber di industri e-commerce” yang diwawancarai secara anonim serta “sebuah dokumen” yang sudah dilihat.

Salah satu narasumber Reuters menyatakan pemberlakuan aturan baru ini “diumumkan secepatnya bulan depan.”

Berbagai platform e-commerce seperti TikTok Shop, Tokopedia, Shopee, sampai Lazada menentang wacana kebijakan itu dengan dalih “bakal menaikkan biaya administrasi serta menjauhkan penjual dari pasar online.”

Berdasarkan keterangan dari narasumber yang dihubungi Reuters, platform e-commerce akan diwajibkan memotong dan menyetorkan pajak kepada pemerintah sebesar 0,5% dari pendapatan penjualan pelaku usaha dengan omzet tahunan antara Rp500 juta rupiah sampai Rp4,8 miliar rupiah.

Persoalannya, terang narasumber Reuters, mereka yang masuk kategori tersebut dianggap sebagai pelaku usaha skala kecil dan menengah yang memang sudah diwajibkan membayar pajak dengan ketentuan PPh 22—sebesar 0,5%.

Narasumber Reuters turut menambahkan bahwa terdapat pengusulan penerapan denda bagi platform e-commerce yang terlambat melaporkan setoran pajak yang mereka kumpulkan.

Pemerintah Indonesia, sebelumnya, memang mengatur urusan perpajakan kepada mereka yang terlibat aktivitas jual-beli secara daring. Mekanismenya didefinisikan sebagai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Pada intinya, pendekatan ini digunakan agar tidak ada perlakuan berbeda antara perdagangan secara langsung (offline) dengan online.

Aturan yang ada menetapkan empat modal transaksi yang masuk pemantauan kewajiban pajak di ranah e-commerce.

Keempatnya yakni online marketplace, classified ads, daily deals, dan online retail. Poin terakhir, online retail, merupakan hal yang akrab dengan publik: kegiatan menjual barang dan/jasa kepada pembeli di situs online.

Penetapan objek pajak lalu didasarkan kepada tiga elemen.

Pertama, keuntungan dari penjualan atas barang.

Kedua, rent fee atau registration fee terhadap jasa penyediaan tempat, waktu, serta iklan yang diterima marketplace.

Dan yang ketiga yaitu komisi atas jasa perantara pembayaran penjualan barang dan/atau jasa yang didapatkan penyedia online marketplace, di samping biaya transaksi yang diberikan pemasang iklan ke penyelenggara classified ads.

Dalam konteks online retail, pajak yang berlaku ialah PPh 22, ditujukan kepada pembayaran sehubungan dengan pembelian barang.

Strategi pemajakan di ruang e-commerce, sebetulnya, pernah terjadi pada akhir 2018 kala pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Pemerintah, waktu itu, menuturkan bahwa aturan yang dikeluarkan—PMK-210—berfokus pada tata cara dan prosedur pemajakan, alih-alih pembentukan pajak baru. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan administrasi serta mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce.

“Demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional,” tegas pemerintah.

Beberapa ketentuan ditulis dalam beleid ini, seperti, misalnya, pajak final diberlakukan dengan tarif 0,5% untuk pendapatan tidak melebihi Rp4,8 miliar per tahun.

Kemudian penyedia platform marketplace wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) serta PPh kepada pedagang dan penyedia jasa.

Meski begitu, tak sampai enam bulan sejak aturan tersebut ditandatangani Sri Mulyani, yang menjabat menteri keuangan, gelombang protes bermunculan dan berujung pembatalan oleh pemerintah, Maret 2019.

“Kami menganggap bahwa dengan adanya kesimpangsiuran tadi, perlu adanya sosialisasi, karena kami berharap masyarakat itu memahami sepenuhnya kebijakan,” tandas Sri Mulyani.

Tiga tahun berselang, pada 2022, wacana pungutan pajak oleh platform e-commerce kembali digaungkan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mengaku tengah menggodok kajiannya.

“Kami masih pertimbangkan, bagaimana cara kami nantinya memungut,” sebut Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak, Bonarsius Sipayung.

Bonarsius menambahkan terdapat berbagai pertimbangan yang menyelimuti pemerintah, di antaranya terkait situasi ekonomi pascapandemi, kesiapan infrastruktur, besaran tarif, sampai kemudahan administrasi.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menegaskan sekali lagi dalam hubungannya dengan wacana kebijakan pajak e-commerce ialah “bukan pajak baru.”

“Ini adalah pajak yang apa adanya,” terangnya, Sabtu (28/6), seperti diberitakan kantor berita Antara.

Kebijakan itu, Febrio mengeklaim, sudah banyak diterapkan bermacam platform seperti Google atau Netflix. Pemerintah, melalui kebijakan ini, ingin menjalin kemitraan dengan e-commerce sebagai pemungut pajak.

Febrio memandang langkah menggandeng e-commerce merupakan bentuk perbaikan administrasi supaya pelaku usaha lebih patuh dalam membayar pajak.

“Tentunya reform ini akan menjadi bagian dari target penerimaan setiap tahunnya,” dia menambahkan.

Sejauh ini, aturan baru mengenai pajak e-commerce masih dalam tahap finalisasi. Pejabat lain di Kementerian Keuangan mengaku proses penyusunan sudah melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) dengan pemangku kepentingan, baik pelaku di industri maupun kementerian dan lembaga terkait.

Pemerintah menyatakan langkah pembentukan aturan pemajakan ini disambut positif, seraya menggarisbawahi betapa publik mendukung terciptanya pengelolaan pajak yang adil serta efisien.

“Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aturan ini telah resmi ditetapkan, kami akan menyampaikan secara terbuka, lengkap, dan transparan kepada publik,” tutur Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Rosmauli.

Suara dari pedagang online

Munziyah sudah berjualan di lapak online selama kurang lebih dua tahun. Ia menjajakan bermacam barang kosmetik. Keputusan untuk pindah ke online didorong tuntutan masa kini.

“Sekarang sudah zamannya online. Kalau enggak online, kita bakal dibabat zaman. Karena sekarang orang belanjanya online semua. Jadi, meski kita sebetulnya juga gaptek, kita memang dituntut untuk online,” dia bercerita kepada BBC News Indonesia, Minggu (29/6).

Tapi, berjualan secara online tidak seketika berlangsung mulus.

Pendapatan yang Munziyah peroleh tidak tentu. Bisa dalam kurun waktu seminggu dia tidak berhasil menjual satupun barang. Selain itu, persaingan di marketplace dipandangnya cukup ketat.

Munziyah berencana akan meningkatkan kemampuan digitalnya, termasuk membuka kemungkinan mengurus pemasangan iklan via marketplace.

Ketika ditanya mengenai rencana pemajakan oleh marketplace, Munziyah mengaku tidak ambil pusing. Dia berkeyakinan pemerintah “pasti berpikir yang baik untuk warganya.”

“Saya sebagai warga negara yang taat, menurut saya tidak apa-apa, saya persilakan. Semoga kalau pajaknya diterapkan, rezeki kita juga sama Allah dicukupkan,” paparnya.

Dalam sudut pandang yang luas, Munziyah menganggap pintu e-commerce sudah menawarkan kemudahan baginya untuk mencari uang. Warga sepertinya tidak perlu lagi repot-repot memikirkan modal tambahan untuk membangun toko fisik.

“Karena dengan marketplace seperti ini jadi mudah buat yang tidak punya toko, terutama bisa mendapat penghasilan cuma dari rumah. Bisa live [berjualan] dari rumah, contohnya,” tandas perempuan berusia 39 tahun ini.

Berbeda dengan Munziyah, Taufik Riyadi, pedagang di marketplace berumur 50 tahun, meminta pemerintah untuk merumuskan sebuah kebijakan pajak dengan hati-hati—terutama mempertimbangkan nasib pelaku usaha di dalamnya.

Taufik berpesan apa pun kebijakan pajak yang diambil, sudah seharusnya tidak membuat penjual kesulitan, apalagi sampai membuat barang dagangan tidak laku.

“Bagaimana cara agar tetap membuat mereka [pelaku usaha] sejahtera dengan cara penjualan itu tidak ada penurunan, paling tidak tetap bertahan,” jelasnya kepada BBC News Indonesia, Minggu (29/6).

Taufik memulai usaha online-nya pada 2015. Bermacam platform telah dia masuki untuk menjual alat-alat pertanian. Pertimbangan melebarkan sayap ke ruang daring didasari faktor “mengikuti perkembangan teknologi,” ujarnya.

“Dari dulu kami memang jualan offline. Kalau jualan online lebih memperluas pasar dari Madura, ke seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Berkat online, Taufik mampu mengirim barang hingga daerah terjauh dari Jawa, seperti Aceh, Papua, bahkan Malaysia.

Kini, walaupun berjualan secara daring, Taufik dihadapkan pada situasi yang tidak kelewat menguntungkan. Penjualan di online sedang mengalami penurunan, Taufik mengaku. Dia menduga ada hubungannya dengan tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang, menurut pengamatannya, “sangat menurun sekali.”

“Di mana-mana harga kebutuhan pokok itu naik, sedangkan pendapatan masyarakat turun,” Taufik mencoba menganalisa.

“Jadi, tidak ada keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran.”

Keadaan itu, tidak dapat ditepikan, melahirkan kendala bisnis “sepi peminat,” imbuh Taufik.

Taufik menaruh harapan kepada pemerintah untuk membantu mengatasi lesunya penjualan yang dihadapi pelaku usaha di ranah online, sebelum memutuskan kebijakan soal pajak.

“Penjualannya diperhatikan juga. Jadi, kami bisa peduli terhadap pemerintah [dengan pajak], tapi pemerintah harus juga peduli kepada kami,” pungkasnya.

Apa saja yang perlu diwaspadai pemerintah sehubungan kebijakan baru ini?

Dua analis ekonomi yang dihubungi BBC News Indonesia mengatakan kebijakan ini merupakan sinyal positif untuk merealisasikan pemajakan yang adil, selain menggerakkan kepatuhan pajak kepada pelaku e-commerce.

Kepala Riset Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan rencana kebijakan pemerintah “hanya akan menjadikan platform digital—marketplace—sebagai pemungut pajak.”

“Jadi, perbedaan dengan yang sebelumnya hanya dari segi mekanisme pemungutannya saja. Pajak yang terutang, yang sebelumnya disetorkan oleh merchant, kini dipungut dan disetorkan oleh marketplace. Hal ini justru memberikan kemudahan bagi merchant UMKM,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia, Minggu (29/6).

Fajry menilai upaya terbaru pemerintah dilakukan guna merespons setidaknya dua kondisi. Pertumbuhan e-commerce yang tinggi dan partisipasi kepatuhan pajak. Keduanya, Fajry menjelaskan, saling berkelindan.

“Mekanisme ini akan mendorong kepatuhan pajak bagi UMKM, mengingat sebagian besar merchant dari e-commerce adalah pelaku UMKM. Sedangkan nilai GMV [Gross Merchandise Value] ekonomi digital di Indonesia sebagian besar adalah e-commerce,” jawabnya.

Pemungutan pajak oleh pihak ketiga, Fajry melanjutkan, dapat menjadi solusi dalam rangka memenuhi kepatuhan pajak. Rendahnya pajak yang dikumpulkan pemerintah—tax ratio—disinyalir sebab banyaknya sektor informal, tambah Fajry.

“Yang salah satu kontributor terbesarnya adalah UMKM. Jadi, kebijakan ini bisa berdampak besar menurut saya,” ucapnya.

Laporan e-commerce yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company memperlihatkan ekonomi digital Indonesia terus tumbuh setiap tahunnya dengan estimasi kenaikan Gross Merchandise Value (GMV) sebesar 13%—US$90 miliar—ketimbang 2023.

GMV merupakan nilai barang dagangan kotor yang dijual melalui pasar pelanggan ke pelanggan (customer to customer/C2C).

Sektor e-commerce, mengutip laporan tersebut, adalah kontributor penting bagi ekonomi digital, tumbuh 11% pada 2024—GMV US$65 miliar.

Salah satu pemicunya yakni “terus berinovasinya platform e-commerce besar yang menawarkan fitur-fitur baru seperti video commerce,” tulis laporan itu.

Hitung-hitungan Google, Temasek, dan Bain & Company menempatkan GMV Indonesia paling besar di kawasan Asia Tenggara.

Data Kementerian Perdagangan menyebutkan jumlah pengguna e-commerce di Indonesia diperkirakan bakal terus melonjak hingga 2029, mencapai 99,1 juta pengguna.

Dengan melihat landasan kebijakan ini yang tidak membebankan pajak baru bagi UMKM, maka implementasinya “tidak membuat kontraksi ekonomi,” Fajry memaparkan.

“Kita tahu jika tantangan ekonomi kita pada tahun ini lebih berat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di samping banyaknya ketidakpastian bagi para pelaku usaha,” Fajry menuturkan.

“Namun, kebijakan ini tidak memberikan beban pajak tambahan bagi UMKM, sebaliknya memberikan kemudahan dari segi administrasi. Jadi, dari segi waktu harusnya tidak ada masalah. Sudah tepat jika pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut pada tahun ini.”

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyatakan walaupun potensi penerimaan negara kecil sebab ditujukan ke pelaku usaha dengan pendapatan di atas Rp500 juta, tapi kebijakan ini adalah bentuk kesetaraan.

Data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan 82,97% pelaku usaha di e-commerce mempunyai pendapatan kurang dari Rp300 juta. Sebanyak 14,4% pendapatannya di rentang Rp300 juta sampai Rp2,5 miliar.

Sedangkan sisanya terbagi atas mereka yang pendapatannya menyentuh Rp2,5 miliar – Rp50 miliar (2,42%) dan di atas Rp50 miliar (0,21%).

“Kebijakan ini memang baiknya mengikat ke pengusaha, baik jualan daring ataupun luring. Jadi, saya kira ini langkah yang bagus dari pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang sama antara penjual daring dan luring,” katanya kepada BBC News Indonesia, Minggu (29/6).

“Sehingga terjadi level of playing field yang sama dan tidak ada pengkhususan bagi penjual daring. Jika penjual tersebut omzetnya Rp1 miliar, masa tidak dipajakin? Harusnya dipajakin juga.”

Penerapan kebijakan ini diperkirakan mendapati tantangan di lapangan, apabila mengutip laporan lembaga konsultan pajak, DDTC, pada 2022 kemarin.

Laporan DDTC memberi gambaran sekitar lebih dari 40% pelaku UMKM tidak setuju jika marketplace menjadi pemotong dan pemungut pajak. Mereka lebih berkenan membayar pajaknya sendiri ke otoritas terkait.

Keterlibatan platform dalam menarik pajak berpeluang menurunkan partisipasi UMKM berjualan secara daring lewat e-commerce sampai 26 persen—pindah ke media sosial maupun balik ke toko fisik.

Keadaan itu, sebut DDTC, mampu membuat UMKM kembali ke ekosistem ekonomi informal yang secara jangka panjang menurunkan basis pajak dari kelompok UMKM sendiri, sesuatu yang bakal bertentangan dengan niat pemerintah.

DDTC memandang pemerintah, atau otoritas pajak, perlu secara terbuka melakukan sosialisasi mengenai kebijakan pemajakan tersebut.

Sementara Huda menekankan pentingnya integrasi data demi menghindari “pelapak yang sudah taat pajak tapi dipotong pajak lagi,” jelasnya.

E-commerce sebagai pemungut [nantinya] juga harus punya data yang pasti untuk penjual yang mempunyai omzet di atas Rp500 juta ke atas dan apakah mereka sudah taat pajak atau belum. Itu harus jelas terlebih dahulu,” tambahnya.

Di samping itu, Huda mengatakan, “harus ada sinkronisasi data dari satu platform dengan platform lainnya.” Hal ini tidak lepas dari kemungkinan bahwa “satu penjual mempunyai dua hingga tiga toko di platform yang berbeda,” tutur Huda.

“Artinya, harus ada sinkronisasi data antarplatform yang harusnya diatur secara rinci. Misalnya dengan menggunakan NIB [Nomor Induk Berusaha] atau NIK [Nomor Induk Kependudukan] agar tidak terjadi loophole dan kesenjangan lagi bagi penjual daring maupun luring,” tegasnya.

Ahmad Mustofa di Madura, Jawa Timur, berkontribusi dalam laporan ini.

  • Nasib jadi kelas menengah di Indonesia – Banting tulang, makan tabungan, dan penuh kekhawatiran
  • Kelas menengah kian terimpit beban ekonomi
  • Garis kemiskinan versi Bank Dunia dan pemerintah, mana yang lebih realistis?
  • Deflasi lima bulan berturut-turut, tanda ‘masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja’
  • Apa untung-rugi Indonesia naik kelas jadi negara berpenghasilan menengah ke atas?
  • Anak muda Indonesia paling pesimistis terhadap kondisi politik dan ekonomi di antara enam negara ASEAN
  • Mengapa pemerintah berubah sikap soal PPN 12%?
  • PPN 12% dan sembilan pungutan baru yang akan menguras dompet kelas pekerja pada 2025 – ‘Ini namanya mencetak orang miskin baru’
  • Potongan THR membengkak dengan skema pajak baru, publik kaget dan protes – ‘Enggak ikhlas’
  • Pemerintah naikkan PPN jadi 11%, tapi ‘berisiko tinggi’ dan ‘masyarakat sudah dalam situasi teriak’

Berita Terkait

Tahukah Sobat Ada Logo Unik Dan Tersembunyi Di Honda HR-V RS Hybrid?
Pertamina NRE: Gebrakan Baterai Listrik, Dukung Ekosistem Nasional!
SCBD: Kisah Tomy Winata Membangun Kawasan Bisnis Terpadu Pertama di Indonesia
Strategi Portofolio Juli 2025: Optimalkan Investasi di Tengah Ketidakpastian
Kocok Ulang Portofolio Juli 2025: Strategi Jitu Hadapi Dinamika Global
Cashback Reksa Dana Mirae Asset: Booster Trading Saham, Untung Maksimal!
BBRI Anjlok! Analis Ungkap Penyebab & Peluang Investasi Saham BRI
Juni Kelabu: IHSG & Emas Loyo? Ini Cara Selamatkan Portofoliomu!

Berita Terkait

Senin, 30 Juni 2025 - 22:32 WIB

Pertamina NRE: Gebrakan Baterai Listrik, Dukung Ekosistem Nasional!

Senin, 30 Juni 2025 - 21:50 WIB

SCBD: Kisah Tomy Winata Membangun Kawasan Bisnis Terpadu Pertama di Indonesia

Senin, 30 Juni 2025 - 21:29 WIB

Strategi Portofolio Juli 2025: Optimalkan Investasi di Tengah Ketidakpastian

Senin, 30 Juni 2025 - 21:29 WIB

Kocok Ulang Portofolio Juli 2025: Strategi Jitu Hadapi Dinamika Global

Senin, 30 Juni 2025 - 19:30 WIB

Cashback Reksa Dana Mirae Asset: Booster Trading Saham, Untung Maksimal!

Berita Terbaru

Sports

Tammy Abraham Dilepas: AS Roma Akhiri Krisis Transfer?

Selasa, 1 Jul 2025 - 01:13 WIB

Public Safety And Emergencies

Rinjani Memakan Korban: Kemenhut Perketat SOP Pendakian!

Selasa, 1 Jul 2025 - 01:06 WIB

War And Conflicts

Iran Berduka: 935 Tewas Akibat Serangan Israel, Update Terbaru

Selasa, 1 Jul 2025 - 00:39 WIB

Home And Garden

Desain Kamar Mandi 2×3: Tips Elegan, Nyaman, dan Hemat!

Selasa, 1 Jul 2025 - 00:31 WIB