Saham Bank Kompak Anjlok: Analis Ungkap Penyebab & Prospeknya

Avatar photo

- Penulis Berita

Selasa, 1 Juli 2025 - 19:39 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mayoritas Saham Bank Big Caps Anjlok, BBCA Sendiri Melonjak: Ini Pemicu dan Prospeknya!

Sektor perbankan Tanah Air menunjukkan performa yang fluktuatif pada perdagangan Selasa (1/7), di mana mayoritas saham emiten “big caps” dan lapis kedua mengalami pelemahan signifikan. Tekanan ekonomi global dan domestik menjadi biang keladi utama di balik koreksi ini, memicu kekhawatiran di kalangan investor.

Di antara jajaran bank berkapitalisasi pasar besar, saham Bank Mandiri (BMRI) mencatat penurunan paling dalam. Dibuka di harga Rp 4.880, BMRI merosot 2,66% menjadi Rp 4.750 di penutupan perdagangan. Dalam sepekan terakhir, saham BMRI bahkan sudah ambles 5,47%. Diikuti oleh Bank BNI (BBNI) yang turun 2,67% ke harga Rp 4.010, dari pembukaan Rp 4.120, dengan penurunan mingguan sebesar 3,14%. Saham Bank BRI (BBRI) juga tak luput dari koreksi, mencatat penurunan 1,07% menjadi Rp 3.700 dari sebelumnya Rp 3.740, dan anjlok 2,12% dalam seminggu.

Namun, di tengah gelombang merah, saham Bank Central Asia (BBCA) justru menunjukkan ketahanan luar biasa dengan kenaikan 0,29% pada perdagangan hari ini, ditutup di harga Rp 8.700 dari pembukaan Rp 8.675. Kendati demikian, dalam sepekan terakhir, saham BBCA tetap mencatat penurunan tipis 0,85%.

Tak hanya bank-bank jumbo, sebagian besar saham bank lapis kedua juga ikut terseret arus pelemahan. Hanya saham Bank CIMB Niaga (BNGA) yang melawan arus dengan kenaikan tipis 0,30% menjadi Rp 1.670, meskipun stagnan dalam sepekan. Sementara itu, saham Bank OCBC NISP (NISP) stagnan di Rp 1.345 hari ini, namun berhasil meningkat 1,51% dalam seminggu.

Sisanya, saham-saham bank lapis kedua kompak melemah. Bank BSI (BRIS) turun 2,71% ke Rp 2.510 (turun 1,57% dalam sepekan), Maybank Indonesia (BNII) turun 1,98% ke Rp 198 (namun menguat 1,54% dalam sepekan), Bank BTN (BBTN) turun 1,79% menjadi Rp 1.095 (turun 1,79% dalam sepekan), Bank Permata (BNLI) turun 1,44% menjadi Rp 2.740 (namun menguat signifikan 5,79% dalam sepekan), dan Bank Danamon (BDMN) turun 0,41% ke Rp 2.430 (stagnan dalam sepekan).

Lantas, apa yang sebenarnya membebani kinerja saham-saham perbankan ini? Menurut Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, pelemahan ini tak lepas dari aksi jual investor asing lantaran kinerja bank yang dinilai kurang memuaskan tahun ini. Ia menyoroti lambatnya penyaluran kredit dan stagnasi margin keuntungan sebagai indikator utama. Selain itu, Ekky juga melihat adanya rotasi sektor dari perbankan ke emiten lain yang dinilai lebih prospektif dalam jangka pendek, seperti sektor bahan baku, hilirisasi, energi terbarukan (EBT), dan konsumsi, seiring optimisme terhadap pemulihan ekonomi global.

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit bank terus terkikis, dari 9,6% YoY pada Januari menjadi 8,1% YoY pada Mei 2025. Ekky menambahkan, akhir dari sentimen negatif ini sangat bergantung pada perkembangan makroekonomi seperti inflasi, nilai tukar Rupiah, arah suku bunga, dan hasil laporan keuangan emiten. “Rotasi atau tekanan seperti ini biasanya bisa berlangsung 1-2 minggu, atau lebih cepat jika muncul katalis positif seperti penurunan inflasi, penguatan Rupiah, atau penurunan BI rate,” imbuhnya.

Senada dengan Ekky, Direktur PT Kanaka Hita Solvera Daniel Agustinus juga menyoroti sentimen yang sama. Meski demikian, secara valuasi, saham perbankan saat ini kompak di bawah rerata minus satu standar deviasi, membuatnya terbilang cukup murah untuk diakumulasi dalam jangka panjang. “Hanya saja memang faktor likuiditas di mana asing masih terus melakukan net sell menjadi katalis negatif untuk jangka pendek,” ujar Daniel.

Daniel memprediksi, saham perbankan berpotensi kembali menguat kala sinyal pemangkasan suku bunga The Fed mengemuka, yang diperkirakan terjadi pada September atau Oktober tahun ini. Jika ini terjadi, saham-saham *emerging market* diyakini akan kecipratan aliran dana dari luar. Potensi pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia juga akan menjadi katalis positif tambahan. Namun, pertumbuhan fundamental perusahaan perbankan menurut Daniel masih akan tertahan bila daya beli masyarakat tetap lesu, sebab tren kredit macet bisa meningkat dan bank menjadi enggan menyalurkan kredit. “Perlu ada stimulus dari pemerintah yang bisa membuat roda ekonomi kembali berputar,” sarannya.

Di sisi lain, analis Korea Investment and Sekuritas Indonesia, Muhammad Wafi, melihat indikasi pemulihan kinerja perbankan di paruh kedua tahun ini. “Secara keseluruhan masih menarik, meskipun rata-rata NPL (kredit macet) lebih tinggi di antara negara ASEAN, tapi *yield* yang ditawarkan (emiten bank) juga lebih tinggi dengan kualitas aset yang sama baiknya,” ujar Wafi. Khusus untuk BMRI, Wafi menilai sahamnya terdampak sentimen Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Agustus mendatang, yang menimbulkan spekulasi pasar dan membuat investor cenderung *wait and see*.

Berdasarkan potensi kinerja atau harga saham, Wafi menilai bank-bank besar yang paling menjanjikan dan defensif adalah BMRI, disusul BBRI, BBNI, dan BBCA. Untuk saham bank lapis kedua, ia menyarankan fokus pada bank dengan pertumbuhan tinggi atau *turn around story* seperti BBTN, BBKP, dan BBYB.

Namun, Daniel justru menganggap BBCA sebagai saham paling defensif. Ia merekomendasikan investor untuk masuk ketika saham BBCA menyentuh level Rp 7.800 hingga Rp 8.300 per saham, dengan target harga jual sebesar Rp 10.000 per saham. Sementara itu, secara teknikal, Ekky Topan menyampaikan bahwa *support* krusial BBCA berada di area Rp 7.900 hingga Rp 8.000 jika gagal bertahan di atas Rp 8.500. Untuk BBRI berpotensi menguji Rp 3.400 jika menembus *support* Rp 3.650, sedangkan BMRI bisa menuju harga Rp 4.500, dan BBNI ke harga Rp 3.600 jika gagal bertahan di atas Rp 4.000.

“Untuk saat ini, saya masih *wait and see* terhadap sektor perbankan. Namun, jika dilihat dari sisi fundamental dan valuasi, saham bank *blue chip* seperti BBCA dan BRIS tetap menarik,” kata Ekky. Ia merekomendasikan BRIS bisa mulai dipertimbangkan jika kembali ke area Rp 2.400, dengan target jangka panjang di kisaran Rp 3.000–Rp 3.200. Sementara BBCA menarik jika kembali ke area Rp 8.000, dengan target jangka panjang di Rp 10.000 hingga Rp 11.000 per saham.

Meskipun mayoritas saham perbankan menghadapi tekanan dalam jangka pendek akibat sentimen negatif dan aksi jual investor asing, para analis sepakat bahwa valuasi saham perbankan saat ini cukup menarik untuk investasi jangka panjang. Pemulihan ekonomi global dan domestik, serta kebijakan moneter yang kondusif, akan menjadi kunci kebangkitan sektor ini.

Berita Terkait

Biaya Isi Bensin Toyota Rush dan Suzuki XL7 Setelah Harga Pertamax Naik
Harga Emas Naik pada Perdagangan Rabu (2/7) Pagi
Ada BBRI dan BBCA, Simak Saham-Saham yang Banyak Dijual Asing Kemarin
IHSG Berpeluang Konsolidasi pada Rabu (2/7), Cek Rekomendasi Saham Berikut Ini
Intip Saham-Saham yang Banyak Dikoleksi Asing Saat IHSG Terkoreksi Kemarin
Daftar 52 BUMN yang Dilarang Rombak Direksi oleh Danantara
Saham Pilihan Asing: Daftar Teratas Juli 2025, Potensi Cuan!
The Fed Pangkas Suku Bunga? Dampak Tarif Trump Jadi Penentu!

Berita Terkait

Rabu, 2 Juli 2025 - 08:56 WIB

Biaya Isi Bensin Toyota Rush dan Suzuki XL7 Setelah Harga Pertamax Naik

Rabu, 2 Juli 2025 - 08:08 WIB

Harga Emas Naik pada Perdagangan Rabu (2/7) Pagi

Rabu, 2 Juli 2025 - 07:18 WIB

Ada BBRI dan BBCA, Simak Saham-Saham yang Banyak Dijual Asing Kemarin

Rabu, 2 Juli 2025 - 06:52 WIB

IHSG Berpeluang Konsolidasi pada Rabu (2/7), Cek Rekomendasi Saham Berikut Ini

Rabu, 2 Juli 2025 - 06:30 WIB

Intip Saham-Saham yang Banyak Dikoleksi Asing Saat IHSG Terkoreksi Kemarin

Berita Terbaru

Travel

Visa Schengen Mudah Didapat? 10 Negara Eropa Ini!

Rabu, 2 Jul 2025 - 09:31 WIB