Ragamharian.com – , Jakarta – Kejaksaan Agung menyatakan seluruh uang titipan sebesar Rp 1,3 triliun yang disita dari enam korporasi sawit telah dimasukkan dalam memori kasasi perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO). Direktur Penuntutan Kejagung Sutikno, menyebut langkah ini penting agar dana itu diperhitungkan dalam putusan Mahkamah Agung.
“Kalau enggak kami sita, nanti uang ini mau dapatkan, di putusan enggak akan bunyi,” kata Sutikno dalam konferensi pers di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Rabu, 2 Juli 2025. “Setelah kami sita, makanya kami berikan tambahan memori kasasi yang menjelaskan tentang uang yang disita ini.”
Sutikno menegaskan, dana titipan itu bukan jaminan atau dana sukarela. “Ini adalah uang titipan untuk membayar ganti rugi terhadap kerugian negara yang ditimbulkan,” ujarnya.
Menurut Kejaksaan, dari total kerugian lebih dari Rp 5 triliun, baru Rp 1,3 triliun yang berhasil dikembalikan. Kejaksaan berharap Mahkamah Agung mempertimbangkan keberadaan uang tersebut dan memasukkannya dalam amar putusan kasasi sebagai bagian dari pemulihan kerugian negara dalam kasus korupsi CPO.
Kejaksaan, lanjut dia, juga menyebut telah menyisipkan narasi dalam memori kasasi tentang adanya dugaan suap ihwal vonis lepas terdakwa korporasi. “Beberapa hari setelah keputusan pengadilan tersebut ada dilakukan penangkapan karena terbukti diindikasikan telah ada terjadi suap dalam perkara tersebut. Itu kita masukkan dalam memori kasasi,” ujar Sutikno.
Kejaksaan kini menunggu putusan Mahkamah Agung atas perkara 12 korporasi sawit yang sebelumnya divonis lepas oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Jika kasasi dikabulkan, uang yang telah disita itu akan dijadikan kompensasi resmi atas kerugian negara.
Sebelum penyitaan Rp 1,3 triliun dari Grup Musim Mas dan Permata Hijau, Kejaksaan Agung lebih dulu menyita dana sebesar Rp 11,8 triliun dalam perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) tahun 2021–2022. Direktur Penuntutan Kejagung Sutikno, menyatakan dana itu berasal dari pengembalian kerugian negara oleh korporasi Wilmar Group.
Lima anak usaha Wilmar yang menyerahkan dana tersebut adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Perkara ini bermula dari dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada 2022. Kejaksaan Agung mendakwa tiga raksasa industri sawit—Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group—telah mengatur distribusi ekspor di tengah krisis minyak goreng dalam negeri. Jaksa Penuntut Umum menilai perbuatan mereka merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Jaksa menuntut masing-masing korporasi dijatuhi denda Rp 1 miliar serta membayar uang pengganti. Wilmar dituntut membayar Rp 11,88 triliun, Musim Mas sebesar Rp 4,89 triliun, dan Permata Hijau Rp 937,5 miliar.
Namun pada 19 Maret 2024, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memutus ketiganya lepas dari segala tuntutan hukum. Hakim menyatakan bahwa meskipun perbuatan terbukti dilakukan, perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Putusan itu kemudian disorot publik setelah Kejaksaan Agung mengungkap dugaan suap dalam vonis lepas korupsi CPO tersebut.
Empat orang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta—yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Tipikor Jakarta, Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan, serta dua pengacara, Marcella Santoso dan Ariyanto Arnaldo. Penyidik menyatakan memiliki bukti cukup telah terjadi tindak pidana korupsi berupa suap dan gratifikasi.
Kejaksaan kini menempuh upaya kasasi di Mahkamah Agung dan menyertakan narasi dugaan suap dalam memori kasasi. Mereka berharap putusan kasasi akan mengoreksi vonis lepas dan memerintahkan pemulihan kerugian negara yang nilainya ditaksir lebih dari Rp 5,8 triliun.
Pilihan Editor: Kasus Ekspor CPO, Kejaksaan Sita Rp 1,3 Triliun dari Permata Hijau dan Musim Mas