Tragedi di Danau Toba dan Gunung Rinjani: Ujian Berat bagi Status Geopark Indonesia
Tahun 2025 menyajikan ujian berat bagi pengelolaan dua destinasi wisata unggulan Indonesia: Danau Toba dan Gunung Rinjani. Kedua lokasi, yang menyandang prestise sebagai UNESCO Global Geoparks (UGGp), menghadapi tantangan serius yang mengusik citra pariwisata Indonesia dan mempertanyakan efektivitas pengelolaan kawasan geopark. Status geopark, yang hanya disandang 229 lokasi di dunia, bukan sekadar predikat bergengsi, melainkan amanah besar untuk pelestarian, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal secara berkelanjutan, seperti yang didefinisikan oleh UNESCO.
Ancaman “kartu kuning” dari UNESCO terhadap Danau Toba menjadi alarm nyata atas kurang optimalnya pengelolaan. Peringatan ini menyoroti pentingnya pemahaman mendalam tentang tanggung jawab yang melekat pada status geopark, yang jauh melampaui sekadar menarik wisatawan. Lebih jauh lagi, tragedi jatuhnya Julianna Marins, seorang wisatawan asal Brazil, di Gunung Rinjani, menambah keprihatinan. Kejadian ini mengungkap kelemahan dalam pengawasan dan tata kelola keselamatan di kawasan wisata alam yang seharusnya memprioritaskan keamanan pengunjung.
Kedua insiden ini memperlihatkan urgensi kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan seluruh pemangku kepentingan. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: seberapa efektifkah kolaborasi tersebut dalam menjaga kelestarian dan keamanan Danau Toba dan Gunung Rinjani? Pemasangan rambu peringatan di Gunung Rinjani, meskipun langkah positif, seharusnya sudah diimplementasikan sejak awal penetapan status geopark. Keberadaan status geopark semestinya menjadi pendorong peningkatan kualitas pengelolaan, bukan hanya sebagai alat promosi semata.
Memang, kecelakaan tak bisa diprediksi sepenuhnya, namun risiko dapat diminimalisir. Prioritas seharusnya lebih kepada upaya pencegahan (antisipasi) ketimbang penanganan pasca-kejadian (response). Meskipun “zero accident” sulit dicapai, “zero tolerance” terhadap kelalaian mutlak diterapkan. Standar operasional prosedur (SOP) yang tegas dan berbeda antara kawasan wisata biasa dan geopark perlu diterapkan tanpa pengecualian.
Pendakian Gunung Rinjani berbeda dengan wisata pantai; memerlukan persiapan fisik dan mental yang matang dari pendaki, serta pengawasan ketat di seluruh jalur pendakian, bukan hanya di pos keberangkatan dan kedatangan. Hal ini semakin krusial mengingat Rinjani tak hanya dikunjungi pendaki berpengalaman, tetapi juga wisatawan umum yang membutuhkan perlindungan dan layanan maksimal, termasuk jaminan keselamatan. Respon cepat terhadap kecelakaan sangat penting, karena waktu sangat krusial dalam penyelamatan jiwa.
Meningkatkan citra positif pariwisata melalui keamanan dan keselamatan bukan sekadar pengeluaran, melainkan investasi jangka panjang. Semakin rendah angka kecelakaan, semakin kuat citra positif destinasi wisata kita. Citra tersebut bukan hanya tentang keindahan alam dan pelayanan, tetapi juga, dan terutama, tentang keselamatan pengunjung. Mungkin perlu dipertimbangkan penempatan personel terlatih dan peralatan medis di titik-titik strategis sepanjang jalur pendakian untuk mempercepat respon darurat.
Pada intinya, geopark adalah warisan bumi yang harus dijaga kelestariannya untuk generasi mendatang. Kawasan geopark, selain sebagai destinasi wisata yang nyaman, juga harus menjamin keselamatan pengunjung. Semoga peristiwa ini menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua untuk lebih memahami dan menjalankan amanah status geopark dengan penuh tanggung jawab. Turut berduka cita atas meninggalnya Julianna Marins. Salam Pariwisata.
Referensi:
* unesco.org/en/iggp/geoparks/about
* travel.kompas.com/read/2025/05/16/140923227/kaldera-toba-kena-kartu-kuning-unesco-kemenpar-panggil-pengelola-geopark
* kompas.com/sumatera-barat/read/2025/06/26/083100788/tragedi-wisatawan-brasil-di-gunung-rinjani–kendala-evakuasi-dan
* regional.kompas.com/read/2025/07/01/054408878/pasca-jatuhnya-juliana-marins-di-rinjani-tngr-akan-pasang-papan-peringatan