Sorotan Tajam di DPR: Patrialis Akbar Kritik Putusan MK Pemisah Pemilu, Pemerintah Masih Kaji Dampaknya
Komisi III DPR pada Jumat lalu, menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang krusial untuk mengkaji implikasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu nasional dan lokal. Pertemuan ini menarik perhatian khusus karena menghadirkan figur kontroversial, yaitu eks Hakim MK Patrialis Akbar, serta eks Anggota DPR dari Fraksi NasDem, Taufik Basari.
Dalam forum tersebut, Patrialis Akbar memberikan pandangan tajamnya, menyatakan bahwa putusan MK yang mengamanatkan pemisahan Pemilu telah melampaui batas kewenangannya dan bahkan dianggap melanggar konstitusi. Menurutnya, persoalan teknis penyelenggaraan Pemilu sejatinya merupakan domain pembentuk dan pelaksana Undang-Undang, yaitu pemerintah bersama DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan ranah MK. “MK itu tugasnya bukan bicara konstitusionalitas tapi menguji apakah UU bertentangan apa enggak dengan UUD, masalah teknis ini nanti akan diatur sedemikian rupa dengan DPR, pemerintah dan KPU,” tegas Patrialis, menekankan batasan peran lembaga yudikatif tersebut.
Kehadiran Patrialis Akbar sendiri tidak lepas dari latar belakangnya yang pernah menjadi sorotan publik. Ia diketahui merupakan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi yang terjerat kasus suap. Kasusnya terungkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 26 Januari 2017, dan Patrialis ditahan sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka. Ia divonis bersalah karena terbukti menerima suap untuk memengaruhi putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015, yang berkaitan dengan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Rapat penting ini dipimpin langsung oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, politikus dari Partai Gerindra, dan masih berlangsung hingga berita ini dimuat.
Inti pembahasan dalam rapat tersebut adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan ini secara fundamental memisahkan jadwal Pemilu nasional, yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Pemilihan Presiden (Pilpres), dari Pemilu lokal. Pemilu lokal sendiri akan meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun, putusan ini menetapkan ketentuan baru bahwa Pemilu lokal baru dapat diselenggarakan paling cepat 2 tahun atau paling lambat 2 tahun 6 bulan setelah anggota DPR, DPD, atau presiden dan wakil presiden dilantik.
Menanggapi putusan tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan bahwa pemerintah, serupa dengan DPR, belum mengambil sikap resmi. Pihaknya masih dalam tahap pengkajian mendalam dan akan berkoordinasi untuk meminta masukan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait. “Kita masih mengkaji. Nanti akan kami rapatkan antar-pemerintah dulu. Dengan Kementerian Setneg, kemudian Kementerian Kum, mungkin dengan Menko Kumham dan Menko Polkam. Ini menyangkut masalah politik dan aturan kepemiluan, aturan kepilkadaan,” jelas Tito. Ia juga mengakui bahwa putusan MK ini akan membawa serangkaian dampak, baik positif maupun negatif, namun detail serta implikasinya masih dalam tahap analisis komprehensif oleh pemerintah.