Sentimen Ganda Hantui IHSG Sepekan, Pelemahan Pasar Saham Dipicu Tekanan Jual dan Momentum IPO
JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menunjukkan tren pelemahan, menutup perdagangan Jumat, 4 Juli, dengan koreksi 0,19% ke level 6.865,19. Penurunan ini memperpanjang tren negatif, di mana dalam sepekan terakhir, IHSG telah terkoreksi signifikan sebesar 0,47%. Pelemahan pasar saham ini dipandang sebagai refleksi dari beragam sentimen, baik domestik maupun global, yang membebani kinerja bursa.
Head of Research Retail MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, menjelaskan bahwa tekanan jual yang dilakukan oleh para investor masih mendominasi pergerakan IHSG sepanjang pekan ini. Ia mencermati beberapa faktor kunci yang mempengaruhi sentimen pasar. Dari dalam negeri, rilis data PMI Manufaktur Indonesia yang terkontraksi selama tiga bulan berturut-turut menjadi sinyal perlambatan ekonomi. Meskipun neraca dagang Indonesia masih mencatat surplus, kenaikan data inflasi domestik menjadi 1,8% secara tahunan (YoY) pada Juni 2025 turut menambah kekhawatiran.
Di sisi global, data ketenagakerjaan Amerika Serikat yang cenderung menguat juga memberikan dampak pada pergerakan IHSG. Selain itu, investor juga tampak mencermati dengan saksama masa jeda tarif impor yang sebelumnya diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump, yang dijadwalkan akan berakhir pada 9 Juli mendatang. Ketidakpastian terkait kebijakan ini menciptakan sikap *wait and see* di kalangan pelaku pasar.
Lebih lanjut, Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, menambahkan bahwa aliran dana di pasar saham Indonesia juga tertahan oleh ramainya aksi penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO). Momentum IPO yang padat di pekan ini telah menyedot likuiditas pasar, mengalihkan fokus dan dana investor dari saham-saham yang sudah tercatat.
Pekan ini saja, tercatat ada delapan perusahaan yang sedang melakukan penawaran umum perdana saham. Mereka adalah PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), PT Diastika Biotekindo Tbk (CHEK), PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN), PT Trimitra Trans Persada Tbk (BLOG), PT Asia Pramulia Tbk (ASPR), PT Pancaran Samudera Transport Tbk (PSAT), PT Merry Riana Edukasi Tbk (MERI), dan PT Prima Multi Usaha Indonesia Tbk (PMUI). “Dari sisi domestik, investor masih bersikap *wait and see* atau memang dana investor sedang tertahan karena saat ini sedang momentum IPO,” ucap Ekky.
Kondisi ini diperparah dengan rendahnya nilai transaksi perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat, 4 Juli, yang hanya mencapai Rp 8,29 triliun. Ekky juga mencermati adanya tekanan jual dari investor asing yang terus keluar dari pasar saham Indonesia. Menurutnya, investor asing masih mengkhawatirkan kinerja emiten berkapitalisasi besar (*big caps*) yang menunjukkan pelemahan.
Sebagai contoh nyata, kinerja perbankan *big caps* per Mei 2025 menunjukkan variasi yang signifikan. Laba bersih PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tercatat tumbuh paling kencang sebesar 16,31% secara tahunan menjadi Rp 25,16 triliun. Namun, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) hanya mencatat pertumbuhan laba bersih 0,13% secara tahunan menjadi Rp 19,65 triliun. Sementara itu, laba bersih PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) justru mengalami penurunan 1,34% secara tahunan menjadi Rp 8,4 triliun. Yang paling terdampak adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), yang laba bersihnya anjlok 14,87% secara tahunan menjadi Rp 18,64 triliun. Berbagai sentimen ini secara kolektif membayangi pasar saham dan menahan laju IHSG.