Borok Pejabat RI di Luar Negeri: Staf KBRI Bongkar Minta Fasilitas!

Avatar photo

- Penulis Berita

Senin, 7 Juli 2025 - 19:09 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Berikut adalah artikel berita yang telah ditingkatkan:

Praktik ‘Pelayanan Khusus’ Pejabat di Luar Negeri Terungkap: KBRI dan KJRI Kerap Jadi Fasilitas Pribadi

Sebuah praktik yang telah mengakar selama bertahun-tahun di lingkungan diplomatik Indonesia kembali menjadi sorotan tajam. Sejumlah staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di berbagai negara secara blak-blakan mengungkapkan bahwa mereka kerap diminta untuk “melayani” keluarga pejabat, bahkan untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak terkait dengan tugas negara. Ironisnya, perilaku ini telah berlangsung bertahun-tahun dan diangap lumrah oleh sebagian staf, meskipun mereka menyadari hal tersebut bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi mereka.

Pengakuan mengejutkan ini muncul menyusul viralnya peristiwa “permintaan fasilitas” oleh seorang pejabat menteri kepada perwakilan RI di luar negeri. Seorang staf KBRI, yang meminta identitasnya dirahasiakan demi keamanan, menuturkan bahwa ada pula pejabat yang tidak menjalankan tugas dinas ke luar negeri, namun tetap meminta fasilitas penuh dari KBRI. Ini mencerminkan pola penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara dan membebani staf di lapangan.

Mencuatnya Kontroversi Surat Kementerian UMKM

Ketegangan publik memuncak pada Kamis (03/07) lalu, ketika surat berkop Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tersebar luas di media sosial. Surat bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025 tersebut secara eksplisit meminta enam kedubes dan satu konsulat jenderal untuk mendampingi istri Menteri UMKM, Agustina Hastarini, dalam sebuah “misi budaya” di sejumlah negara Eropa seperti Turki, Bulgaria, Belgia, Prancis, Swiss, dan Italia.

Meskipun pejabat yang bersangkutan membantah, terungkapnya surat ini memicu amarah publik. Pasalnya, istri menteri bukan pejabat publik dan kegiatan yang dimaksud tidak termasuk dalam tugas kedinasan atau kenegaraan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai etika penggunaan fasilitas dan kewenangan negara untuk kepentingan pribadi atau keluarga.

Staf Perwakilan RI: Antara Loyalitas dan Beban Berlebihan

BBC News Indonesia berhasil menghubungi sejumlah staf perwakilan Indonesia di negara-negara yang kerap menjadi destinasi pejabat. Mereka menceritakan pengalaman pahit ketika harus melayani pejabat atau keluarganya di luar konteks tugas resmi. Demi keselamatan, identitas mereka tidak disebutkan.

Beberapa staf mengakui bahwa praktik “melayani pejabat” ini sudah dianggap sebagai hal yang normal karena telah berlangsung bertahun-tahun. Mereka merasa hanya menjalankan perintah atasan. “Kami kan abdi negara yang diharapkan dapat memberikan pelayanan prima kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia,” ucap salah satu staf, menjelaskan mengapa mereka merasa wajib melayani, meski kegiatannya bukan urusan kenegaraan. “Jadi ya apapun permintaannya, kami jalani dengan sepenuh hati. Jangan sampai ada yang merasa tidak diperhatikan oleh Perwakilan RI di luar negeri.”

Namun, di balik narasi “pelayanan prima,” tersimpan beban nyata. Staf lain mengungkap bahwa pejabat yang bertugas negara seringkali membawa serta keluarganya. Ketika pejabat fokus pada tugas, keluarga akan “didampingi” oleh persatuan dharma wanita untuk berjalan-jalan atau berbelanja. Setelah tugas selesai, pejabat itu sendiri akan diajak jalan-jalan dan makan-makan.

Lebih parah lagi, ada pejabat yang tidak memiliki tugas dinas sama sekali, namun tetap meminta fasilitas KBRI. “Mereka itu ‘memakai’ jasa para staf bahkan di luar jam kerja, misal menemani *dinner* atau saat akhir pekan dipakai mengajak mereka jalan-jalan atau belanja. Pakai mobil KBRI karena enggak mungkin mereka sewa mobil di negara setempat,” ungkap seorang staf, menggambarkan sejauh mana penyalahgunaan ini terjadi.

Pandangan Ahli Hukum: Pelanggaran Administratif dan Feodalisme Terselubung

Ahli hukum administrasi negara dari UGM, Oce Madril, menegaskan bahwa penggunaan surat berkop kementerian atau lembaga negara untuk kepentingan di luar tugas resmi adalah tindakan keliru dan dilarang. “Secara hukum administrasi, tidak ada yang bisa membenarkan itu,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Senada, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan bahwa kop surat kementerian bukan sekadar logo, melainkan mengandung nilai instruksi resmi. Penggunaan kop surat itu secara inheren mengimplikasikan perintah, sehingga staf di perwakilan RI “mau tidak mau” harus menjalankan apapun yang tertulis, meskipun bukan tugas resmi kedinasan.

Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, sendiri telah memberikan penjelasan usai mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (04/07). Ia membantah pernah memerintahkan jajarannya membuat surat tersebut dan mengklaim perjalanan istrinya untuk menemani anak mengikuti misi budaya yang biayanya sepenuhnya ditanggung pribadi. Tiket pesawat, akomodasi, transportasi, hingga sopir, disebut sudah disiapkan melalui jasa perjalanan jauh sebelum keberangkatan, bahkan sebelum surat itu tertanggal.

Namun, Bivitri Susanti meragukan bantahan tersebut. Ia berbagi pengalamannya melihat staf KBRI sibuk menggeret koper pejabat yang berbelanja di *factory outlet*. “Mereka belanja seenak-enaknya dimasukin koper. Yang tukang geret, tukang cariin restoran pegawai kementerian yang jadi kayak pelayan,” sindirnya. Bantahan menteri justru dinilai semakin mempertebal budaya feodalisme, di mana bawahan merasa perlu “memberikan servis” kepada atasan. Praktik ini, menurut Bivitri, mirip “katebelece” yang secara tidak langsung memerintahkan pihak lain untuk memberikan fasilitas tertentu.

Sejarah Berulang: Ketika Penyalahgunaan Fasilitas Negara Menjadi Pola

Kasus Menteri UMKM ini bukanlah yang pertama. Sejarah mencatat beberapa insiden serupa yang menunjukkan pola penyalahgunaan kewenangan dan fasilitas negara oleh pejabat dan keluarganya:
* Pada tahun 2016, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, juga pernah menyalahgunakan kop surat kementerian untuk acara keluarga.
* Di tahun yang sama, Fadli Zon, yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPR, melayangkan surat berkop Sekretariat Jenderal DPR kepada dubes Indonesia untuk Amerika Serikat dan Konjen RI di New York agar menjemput dan mendampingi anaknya.
* Rachel Maryam, anggota DPR dari fraksi Gerindra, juga pernah mengirim surat serupa kepada KBRI Paris memohon jasa penjemputan dan transportasi selama ia dan keluarganya berkunjung ke Paris.

Memahami Tugas Pokok dan Fungsi Perwakilan RI: Batasan yang Sering Terabaikan

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, menjelaskan bahwa Perwakilan RI di luar negeri, baik KBRI maupun KJRI, memiliki tugas utama melaksanakan hubungan diplomatik, memperjuangkan kepentingan negara, dan melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Ini diatur jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 150 Tahun 2024 tentang Kementerian Luar Negeri dan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 6 Tahun 2022.

Fungsi utama mereka meliputi:
* Peningkatan kerja sama politik, keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya.
* Peningkatan persatuan WNI di luar negeri.
* Pelayanan, perlindungan, dan bantuan hukum/fisik bagi WNI dan Badan Hukum Indonesia.
* Pengamatan dan pelaporan kondisi negara setempat.
* Fungsi konsuler dan protokol.
* Kegiatan manajemen internal perwakilan.
* Fungsi lain sesuai hukum dan praktik internasional.

Rolliansyah menambahkan bahwa Perwakilan RI memang siap memfasilitasi dan mendukung kunjungan pejabat dalam rangka tugas resmi kedinasan atau kenegaraan, disesuaikan dengan kebutuhan dan koridor kewajaran.

Namun, Oce Madril menegaskan adanya batasan “kewajaran” dalam pelayanan. Memfasilitasi pertemuan dengan *stakeholder* luar negeri atau kerja sama pendidikan adalah wajar. “Tapi kalau kemudian menemani ke tempat wisata, itu sudah jadi *tour guide*. Menemani belanja dan mengantar ke sana kemari 24 jam, itu sudah pasti memberatkan,” jelas Oce. Hal ini tidak hanya menyita sumber daya manusia dan anggaran, tetapi juga mengganggu fungsi utama KBRI/KJRI.

Ironi Anggaran: Dana Tak Tepat Sasaran

Persoalan anggaran menjadi poin krusial dalam praktik penyalahgunaan ini. Salah satu staf bercerita, demi “mengakali” agar anggaran keluar seolah-olah bukan untuk kepentingan pribadi pejabat, kerap dibuat acara khusus seperti ‘jamuan’ atau ‘sosialisasi’. Laporan anggaran kemudian dibuat seolah-olah untuk kegiatan KBRI, padahal tujuannya hanya untuk menjamu pejabat.

Anggaran KBRI sendiri sudah diatur per fungsi (ekonomi, politik, pensosbud, konsuler). Namun, dana untuk menjamu pejabat atau keluarga pejabat yang tidak dalam tugas negara ini, kerap diambil dari pos-pos fungsi tersebut. “Ini yang harus digarisbawahi sebetulnya adalah perlakuan khusus buat mereka kadang di luar tupoksi dan sampai pakai anggaran KBRI demi membuat jamuan seolah itu kegiatan KBRI padahal cuma buat menjamu mereka. Mereka menganggap dirinya tamu KBRI, jadi ya harus dilayani sebagai tamu,” tuturnya.

Bivitri Susanti juga menyoroti masalah anggaran ini. Di tengah seruan efisiensi anggaran, sangat tidak layak meminta pelayanan pada sesama lembaga negara di luar tugas kedinasan. Setiap lembaga memiliki pos anggaran untuk optimalisasi tugas pokok dan fungsinya. “Kalau enggak salah, dana taktis namanya. Ini bisa digunakan tapi bukan untuk melayani kepentingan pribadi para pejabat negara. Kebiasaan buruk ini enggak boleh terjadi lagi,” tegasnya.

Mendorong Solusi Konkret: Mengikis Budaya Feodalisme

Oce Madril mengingatkan bahwa undang-undang administrasi pemerintahan sudah jelas mengatur larangan penyalahgunaan jabatan dan benturan konflik kepentingan. Solusinya bersifat *top-down*. “Jadi memang butuh kesadaran dari mereka yang jadi pejabat untuk tidak lagi mencari peluang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau keluarga,” jelas Oce. Ia menambahkan, jika masih mencari peluang, berarti seseorang tidak cocok dalam posisi pejabat negara.

Sulitnya hukum diterapkan pada pejabat tinggi dan kelemahan sistem pengawasan birokrasi, membuat praktik ini terus terjadi. Oleh karena itu, Presiden dianggap perlu turun tangan. Oce mengusulkan adanya prosedur standar operasi (SOP) yang jelas disertai panduan, serta teguran langsung dari Presiden, mengingat permintaan resmi melalui surat merupakan bentuk penyalahgunaan jabatan yang dilarang.

Bivitri Susanti pesimis jika hanya berharap pada moralitas pejabat. Pemerintah harus menunjukkan ketegasan untuk mengikis praktik ini agar tidak terulang. Selain teguran atau peringatan, ia mengusulkan agar Presiden mengeluarkan instruksi dalam rapat kabinet yang melarang pejabat meminta fasilitas pribadi. Lebih jauh, ia menyarankan instruksi presiden atau surat edaran yang memberikan kewenangan pada Menteri Luar Negeri dan jajarannya untuk secara resmi menolak permintaan fasilitas dari pejabat negara dan keluarga di luar tugas negara atau kedinasan. “Tidak hanya verbal di rapat, perlu bikin aturan bisa inpres untuk seluruh jajaran kementerian agar tidak meminta fasilitas dan memerintahkan Kementerian Luar Negeri dan jajarannya untuk menolak permintaan fasilitas di luar tugas negara. Nanti dasar hukumnya jelas,” pungkas Bivitri, menegaskan pentingnya landasan hukum yang kuat untuk menghentikan praktik feodal ini.


Berita Terkait

BRICS: Prabowo Ingin Jadi Penggerak Ekonomi Negara Berkembang?
Trump Ancam Tarif BRICS 10%: Dampaknya ke Ekonomi Indonesia?
Vietnam PHK 80.000 PNS Demi Efisiensi, Begini Keluhan Mereka yang Dipecat
Calon Dubes Lolos Uji DPR: Portofolio Mumpuni Jadi Kunci?
24 Calon Dubes Prabowo Lolos? Komisi I DPR Beri Lampu Hijau!
Komisaris Independen vs Komisaris: Perbedaan & Masa Jabatan
Serba-serbi Fit and Proper Test Calon Duta Besar
Cerita Calon Duta Besar RI untuk Uni Emirat Arab Usai Ikuti Uji Kelayakan di DPR

Berita Terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 19:09 WIB

Borok Pejabat RI di Luar Negeri: Staf KBRI Bongkar Minta Fasilitas!

Senin, 7 Juli 2025 - 17:59 WIB

BRICS: Prabowo Ingin Jadi Penggerak Ekonomi Negara Berkembang?

Senin, 7 Juli 2025 - 16:56 WIB

Trump Ancam Tarif BRICS 10%: Dampaknya ke Ekonomi Indonesia?

Senin, 7 Juli 2025 - 09:42 WIB

Vietnam PHK 80.000 PNS Demi Efisiensi, Begini Keluhan Mereka yang Dipecat

Senin, 7 Juli 2025 - 00:57 WIB

Calon Dubes Lolos Uji DPR: Portofolio Mumpuni Jadi Kunci?

Berita Terbaru

Technology

Menunggu Debut Motor MotoGP Terbaru Yamaha Bermesin V4

Selasa, 8 Jul 2025 - 04:45 WIB

Hobbies And Interests

Setelah Tampil di Bangkok, Dazzle Melepas A Void Within

Selasa, 8 Jul 2025 - 04:36 WIB

Fashion And Style

6 Cara Styling Rambut yang Masih Basah agar Tak Cepat Rusak

Selasa, 8 Jul 2025 - 04:09 WIB