Rio de Janeiro, Brasil, menjadi saksi pertemuan penting para pemimpin dan delegasi negara-negara anggota BRICS dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 yang berlangsung pada Minggu dan Senin, 6–7 Juli 2025. Pertemuan tahunan ini menjadi sorotan utama di tengah dinamika geopolitik global yang kian kompleks.
KTT BRICS 2025 ini diselenggarakan di tengah situasi geopolitik global yang bergejolak. Eskalasi konflik, seperti serangan Israel dan Amerika Serikat terhadap Iran – negara yang baru bergabung dengan BRICS sejak 2024 – serta krisis kemanusiaan di Gaza dan konflik bersenjata di Ukraina, semakin menyoroti urgensi kerja sama dan dialog antarnegara.
Dipimpin oleh Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, KTT BRICS selama dua hari ini memusatkan perhatian pada berbagai isu krusial. Pembahasan meliputi perdagangan dan investasi, penguatan kerja sama di sektor keuangan, inovasi teknologi termasuk kecerdasan buatan (AI), kesehatan global, hingga upaya mendesak penanggulangan perubahan iklim. Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam KTT BRICS 2025 ini sangat signifikan. Ia aktif berpartisipasi dalam sesi pleno di Museum Seni Modern (MAM) Aterro do Flamengo, Rio de Janeiro, membahas isu-isu vital seperti perdamaian, keamanan global, dan peran AI dalam lanskap dunia.
Dengan mengusung tema “Strengthening Global South Cooperation to a More Inclusive and Sustainable Governance”, KTT ini menekankan pentingnya kolaborasi untuk tata kelola global yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Partisipasi aktif Indonesia, yang diwakili oleh Presiden Prabowo Subianto, menandai momen bersejarah menyusul keanggotaan penuh Indonesia dalam BRICS yang efektif sejak awal tahun ini. Presiden Prabowo didampingi oleh delegasi terkemuka, termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, dan Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir. Misi utama delegasi Indonesia adalah memperkuat posisi negara sebagai jembatan dialog, berkontribusi dalam mencari solusi atas beragam tantangan global di tengah kompleksitas geopolitik saat ini.
Salah satu fokus utama yang mendominasi diskusi dalam KTT BRICS 2025 adalah urgensi reformasi tata kelola global. Sekretaris Hubungan Ekonomi di Kementerian Luar Negeri India, Dammu Ravi, mengungkapkan bahwa banyak negara anggota sedang mengeksplorasi alternatif sistem perdagangan dan pembiayaan proyek yang menggunakan mata uang nasional mereka. “Proses ini melibatkan koordinasi antara bank sentral dan sektor bisnis,” terang Ravi, sebagaimana dikutip dari *Strat News Global* pada 7 Juli 2025. Agenda hari pertama juga mencakup jamuan makan siang dan sesi diskusi mendalam mengenai perdamaian, keamanan, serta penguatan reformasi sistem tata kelola global, diikuti dengan kedatangan delegasi dari berbagai organisasi internasional dan negara mitra.
Memasuki hari kedua, Senin, 7 Juli 2025, KTT BRICS mengalihkan fokus pada isu lingkungan, termasuk persiapan jelang Konferensi COP30 yang akan digelar di Brasil akhir tahun ini, serta berbagai isu kesehatan global. Upaya kolektif BRICS untuk mendorong pemanfaatan mata uang lokal dalam perdagangan lintas negara, sebagai strategi untuk mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika Serikat, menjadi sorotan penting. Dari serangkaian pertemuan ini, KTT BRICS 2025 diproyeksikan akan menghasilkan setidaknya empat dokumen kunci: deklarasi pemimpin BRICS, pernyataan bersama tentang tata kelola global dan kecerdasan buatan, kerangka kerja pendanaan iklim, serta inisiatif BRICS untuk mengatasi penyakit yang terkait dengan determinan sosial.
Dalam analisisnya, Rajan Kumar, seorang dosen Hubungan Internasional dari Universitas Jawaharlal Nehru, optimis bahwa KTT BRICS akan berlangsung lebih efektif dibandingkan Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) sebelumnya yang sempat menemui kebuntuan. Kumar menjelaskan, “Berbeda dengan SCO, BRICS merupakan organisasi global dengan orientasi yang jelas dan berbeda. Dalam banyak aspek, ia bertindak sebagai penyeimbang G7 dan dianggap sebagai platform yang kredibel bagi negara-negara di luar blok Barat.”