Ancaman Tarif Bea Masuk AS: Apindo Desak Pemerintah Perkuat Diplomasi dan Reformasi Struktural
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan keprihatinan atas rencana Amerika Serikat (AS) untuk mengenakan tarif bea masuk 32 persen terhadap produk Indonesia. Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, menekankan perlunya pemerintah mencermati dampak serius kebijakan ini terhadap sektor industri dalam negeri, terutama di tengah kondisi manufaktur yang tengah terpuruk. Indikator Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Juni 2025 yang tercatat pada 46,7, jauh di bawah ambang batas ekspansi, menjadi bukti nyata tantangan yang dihadapi, dipicu oleh peningkatan biaya produksi dan perlambatan permintaan global.
Dampaknya akan sangat terasa pada industri padat karya dengan pangsa ekspor besar ke AS, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, furnitur, dan mainan. Meskipun ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10 persen dari total ekspor, dan kontribusi ekspor terhadap PDB relatif moderat (sekitar 21 persen), potensi penurunan permintaan akibat tarif tinggi ini tetap menjadi ancaman nyata. Ancaman ini diperparah potensi membanjirnya barang murah atau ilegal ke pasar domestik, serta peningkatan biaya berusaha. Ketiga faktor ini, menurut Shinta, memerlukan antisipasi bersama.
Sejak awal negosiasi, Apindo telah aktif memberikan masukan kepada pemerintah. Apindo mengusulkan beberapa strategi untuk menghadapi situasi ini. Pertama, mendorong kerja sama yang saling menguntungkan (mutually beneficial) melalui peningkatan impor komoditas strategis dari AS, seperti kapas, jagung, produk susu, kedelai, dan minyak mentah (crude oil). Strategi ini diharapkan dapat mengurangi kekhawatiran AS terkait defisit perdagangan.
Kedua, Apindo mendorong pemerintah untuk memperkuat diversifikasi pasar ekspor dengan mengeksplorasi pasar non-tradisional. Hal ini perlu dibarengi dengan upaya optimasi efisiensi dan daya saing di sepanjang rantai pasokan (supply chain). Ketiga, Apindo mendesak percepatan penyederhanaan regulasi (regulatory streamlining) untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif di dalam negeri, serta penguatan mekanisme trade remedies untuk melindungi industri nasional.
Meski menunggu pernyataan resmi pemerintah, Apindo mengimbau semua pihak untuk memberi ruang bagi proses diplomasi yang masih berlangsung hingga tenggat waktu penerapan tarif pada 1 Agustus 2025. Shinta melihat pengenaan tarif 32 persen sebagai bagian dari dinamika negosiasi, dan menekankan pentingnya diplomasi ekonomi yang solid, terukur, dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang industri nasional.
Lebih jauh, Apindo mendorong percepatan reformasi struktural melalui deregulasi konsisten lintas sektor. Kerja sama pemerintah, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya sangat krusial. Apindo juga berkomitmen terlibat dalam satuan tugas pemerintah untuk mengatasi hambatan usaha. Dengan diplomasi yang kuat dan perbaikan iklim usaha dalam negeri, Apindo optimis Indonesia dapat menghadapi tantangan ini.