Pefindo Soroti Potensi Obligasi Korporasi yang Belum Optimal Digarap Investor Ritel di Indonesia
JAKARTA – Pasar surat utang korporasi di Indonesia, meskipun menunjukkan geliat yang signifikan, dinilai belum digarap secara optimal oleh investor ritel. PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menekankan bahwa instrumen investasi ini memiliki tingkat risiko yang relatif lebih rendah dibandingkan saham, menjadikannya pilihan menarik yang perlu lebih disosialisasikan kepada masyarakat luas.
Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, Suhindarto, dalam Media Forum Pefindo pada Jumat (11/7/2025), menegaskan pentingnya peran pemerintah dan regulator. “Perlu lebih banyak upaya bagi pemerintah dan regulator untuk lebih menyosialisasikan bahwa surat utang korporasi relatif lebih aman ketimbang pasar saham,” ujarnya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan minat dan pemahaman masyarakat tentang keuntungan berinvestasi pada obligasi korporasi.
Lonjakan tajam terlihat pada nilai penerbitan obligasi korporasi sepanjang semester I 2025, mencapai Rp90,90 triliun. Angka ini menandai kenaikan impresif sebesar 48,31 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp61,29 triliun. Peningkatan signifikan ini didorong oleh dua faktor utama: pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 50 basis poin sejak awal tahun, yang menjadikan pendanaan melalui pasar obligasi lebih atraktif ketimbang pinjaman bank, serta jatuh tempo sejumlah besar surat utang pada bulan Juli.
Suhindarto menambahkan bahwa kondisi pasar saat ini cenderung lebih berpihak pada penerbit. Kupon obligasi untuk perusahaan dengan peringkat AAA hingga A, misalnya, cenderung lebih rendah dibanding suku bunga dasar kredit bank. “Ini menunjukkan, secara biaya, obligasi kini lebih kompetitif dibandingkan pinjaman bank,” jelasnya, mengindikasikan efisiensi biaya bagi korporasi yang memilih jalur penerbitan obligasi.
Namun, geliat penerbitan yang kian masif ini belum sepenuhnya tercermin dalam aktivitas di pasar sekunder. Kondisi ini menjadi indikator bahwa minat investor, khususnya investor ritel, masih terbatas. Padahal, dari sisi risiko dan potensi imbal hasil, obligasi korporasi disebut menawarkan alternatif investasi yang lebih stabil dan prediktif dibandingkan dinamika pasar saham yang kerap bergejolak.
Oleh karena itu, Suhindarto turut menyoroti kebutuhan mendesak akan peningkatan literasi dan edukasi keuangan. Tujuannya agar surat utang korporasi tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pembiayaan bagi korporasi, tetapi juga bertransformasi menjadi pilihan investasi yang populer dan mudah diakses oleh masyarakat. “Masih banyak ruang bagi pertumbuhan dari industri surat utang korporasi di Indonesia,” tambah Direktur Utama Pefindo, Irmawati Amran, mengamini potensi besar yang belum tergali.
Hingga akhir semester I 2025, total obligasi korporasi yang masih beredar (outstanding) mencapai angka fantastis Rp550 triliun. Meskipun demikian, Pefindo mencatat adanya tren penurunan jumlah emiten, dari 282 perusahaan pada tahun 2020 menjadi 249 perusahaan saat ini. Bahkan, pada semester I tahun ini, hanya 58 perusahaan yang tercatat menerbitkan obligasi baru.
Pefindo memperkirakan total nilai penerbitan obligasi pada tahun 2025 akan melampaui titik tengah proyeksi sebesar Rp144 triliun. Khusus untuk semester II, nilai penerbitan diprediksi bisa mencapai Rp60 triliun hingga Rp70 triliun, didorong oleh kebutuhan refinancing besar yang diperkirakan mencapai Rp96 triliun. Proyeksi ini menegaskan peran krusial obligasi korporasi dalam mendukung likuiditas dan ekspansi perusahaan di Indonesia, sembari menanti peningkatan partisipasi investor ritel.