Ragamharian.com Pemerintah Denmark mengambil langkah tegas untuk menghadapi penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya dalam bentuk deepfake.
Pemerintah berencana mengizinkan rakyatnya memiliki hak cipta atas wajahnya sendiri sebagai bentuk perlindungan identitas digital dari ancaman deepfake AI
Deepfake AI merupakan rekayasa digital realistis yang meniru wajah, suara, dan tubuh seseorang.
Melalui perubahan undang-undang hak cipta, Denmark berambisi memberikan hak penuh kepada setiap individu atas citra dan suara mereka sendiri.
Ini menjadi sebuah pendekatan hukum yang diklaim sebagai yang pertama di Eropa.
Lantas, sejauh mana keseriusan pemerintah Denmark untuk menyusun undang-undang hak cipta yang melindungi rakyatnya dari ancaman penyalahgunaan deepfake AI?
Baca juga: Hamil Setelah 18 Tahun Menanti, Pasangan Ini Dibantu Teknologi AI
Pemerintah Denmark sedang menggodog regulasi hak cipta
Dikutip dari The Guardian, Jumat (27/6/2025), dalam pengumuman resmi pada Kamis (11/6/2025), pemerintah menyatakan bahwa langkah ini merupakan respons terhadap meningkatnya ancaman dari deepfake yang digunakan untuk menyebarkan konten palsu dan merugikan secara pribadi.
Rencana tersebut telah mengantongi dukungan luas lintas partai, dan Kementerian Kebudayaan berencana mengajukan proposal perubahan ini ke dalam konsultasi publik sebelum masa reses musim panas, dengan target pengesahan pada musim gugur.
Menteri Kebudayaan Denmark, Jakob Engel-Schmidt, menegaskan bahwa hukum harus berkembang seiring kemajuan teknologi, terutama dalam melindungi identitas personal dari manipulasi digital.
“Melalui RUU ini, kami ingin mengirimkan pesan kuat: setiap individu memiliki hak atas tubuh, suara, dan wajahnya sendiri,” ujar Engel-Schmidt dalam wawancaranya dengan The Guardian.
“Sayangnya, hukum saat ini belum cukup untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan oleh teknologi AI generatif,” tambahnya.
Engel-Schmidt juga mengingatkan bahwa individu saat ini bisa saja diperbanyak secara digital layaknya hasil mesin fotokopi dan disalahgunakan untuk berbagai kepentingan.
Hal inilah yang menurutnya tidak bisa dibiarkan.
Baca juga: Apakah AI Membuat Kita Lebih Cerdas dari Einstein?
Hak hapus konten deepfake AI dan sanksi untuk pelanggaran
Jika disetujui, pembentukan undang-undang ini akan memberikan hak hukum bagi warga Denmark untuk meminta platform digital menghapus konten deepfake yang menyerupai mereka secara realistis, jika dipublikasikan tanpa izin.
Aturan ini juga akan melindungi seniman dari penggunaan digital atas penampilan mereka, termasuk suara dan ekspresi wajah, tanpa persetujuan.
Jika melanggar, pelaku dapat dikenai kewajiban membayar kompensasi kepada korban.
Namun, aturan baru ini masih memberikan ruang bagi ekspresi budaya seperti parodi dan satir yang tetap diizinkan.
“Kami tidak ingin membatasi kebebasan berpendapat atau seni, tetapi kami juga harus mengatur agar tidak ada yang dirugikan secara pribadi,” jelas Engel-Schmidt.
Denmark juga siap bertindak lebih jauh jika platform teknologi tak mematuhi undang-undang ini.
Engel-Schmidt menegaskan bahwa denda besar bisa dijatuhkan pada platform digital yang tidak kooperatif, dan masalah ini bisa menjadi sorotan serius di tingkat Komisi Eropa.
Baca juga: Putusan Pengadilan AS: Penggunaan Data Pelatihan AI Tak Langgar Hak Cipta
Mendorong Eropa mengikuti langkah Denmark
Masih dari The Guardian, sebagai negara anggota Uni Eropa, Denmark juga berencana menggunakan pengaruhnya untuk mendorong negara-negara Eropa lainnya mengadopsi pendekatan serupa.
Engel-Schmidt menyampaikan bahwa pihaknya akan membagikan rancangan undang-undang tersebut kepada para mitra di Eropa agar menjadi standar bersama dalam menghadapi tantangan AI generatif.
“Ini adalah babak baru dalam perlindungan digital. Dan saya yakin platform teknologi akan memperhatikan hal ini dengan sangat serius,” jelasnya
Dengan makin canggihnya teknologi pemalsuan digital, Denmark tampaknya tidak mau tinggal diam.
Negara Skandinavia ini siap menjadi pelopor dalam memastikan bahwa setiap orang tetap memiliki kendali atas identitas digitalnya meskipun di dunia yang kini makin mudah dipalsukan.
Baca juga: Meta AI WhatsApp Tak Sengaja Sebar Nomor Orang Lain di Inggris, Kok Bisa?
Pakar nilai UU deepfake Denmark inovatif tapi ragukan penegakan
Upaya Denmark untuk menjadi pelopor dalam perlindungan identitas digital melalui rancangan undang-undang (RUU) baru tentang deepfake menuai tanggapan beragam dari para pakar teknologi dan privasi.
Meski dianggap sebagai pendekatan yang segar dan berbeda, kekhawatiran muncul soal efektivitas penerapannya di dunia nyata.
Menurut laporan The New York Times, Kamis (10/7/2025), pakar ternama di bidang AI dan deepfake, Henry Ajder menyambut langkah hukum ini sebagai respons terhadap zaman digital yang semakin kompleks.
Namun, ia menilai bahwa rancangan tersebut tidak secara eksplisit diarahkan untuk menangani risiko tertentu dari penyalahgunaan deepfake.
Baca juga: Foto Pribadi Disalahgunakan Jadi Bahan Konten AI, Bisa Lapor ke Mana?
“Ini bukan soal kami ingin mengatasi bahaya khusus ini, tapi lebih kepada bagaimana kita memandang konsep identitas dalam era teknologi sintetis,” ujarnya.
Ajder bukan satu-satunya yang menyoroti sisi inovatif namun penuh tantangan dari regulasi tersebut.
Francesco Cavalli, Kepala Operasional Sensity AI, perusahaan yang mengembangkan alat pendeteksi deepfake juga melihat potensi besar sekaligus kerentanan dari kebijakan Denmark.
“Ini jelas sebuah pendekatan baru yang belum pernah dicoba sebelumnya,” ungkap Cavalli.
Namun, ia membandingkan inisiatif Denmark ini dengan General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa, sebuah regulasi privasi digital yang disahkan pada 2018.
Meskipun dianggap revolusioner, GDPR sendiri menghadapi berbagai kendala dalam hal implementasi yang konsisten.
Baca juga: AI Kill Switch: Urgensi Regulasi Hentikan AI yang Tak Terkendali
“Denmark mungkin akan memberikan hak baru kepada individu, namun bila mekanisme penegakannya lambat, rumit, atau tidak merata, maka dampaknya bisa sangat terbatas,” ucapnya.
“Regulasi tanpa penegakan hukum ibarat sinyal, bukan tameng perlindungan,” tandas Cavalli.
RUU ini mengharuskan platform media sosial seperti TikTok, Facebook, dan Instagram untuk menghapus konten deepfake yang melanggar hak identitas digital seseorang.
Namun, pengguna yang mengunggah konten tersebut tidak akan langsung dikenai sanksi. Sebagai gantinya, tanggung jawab sepenuhnya dibebankan pada penyedia platform.
Baca juga: Chatbot AI Replika Dituduh Lecehkan Penggunanya, Peneliti Khawatirkan Dampak Trauma