Piala Presiden 2025: Port FC Ukir Sejarah Juara dalam Final Dramatis Lawan Oxford United di Tengah Hujan dan Kartu Merah
Laga final Piala Presiden 2025 menjadi saksi bisu sebuah drama sepak bola yang tak terlupakan. Di Stadion Si Jalak Harupat, Minggu (13/7), Port FC berhasil menaklukkan Oxford United dengan skor tipis 2-1, mengunci gelar juara setelah melewati rintangan berat: kartu merah, lapangan tergenang air, dan pertarungan sengit hingga menit akhir.
Sejak peluit kick-off dibunyikan, intensitas pertandingan sudah terasa. Oxford United, menunjukkan ambisi juara, berhasil membuka keunggulan pada menit ke-10 melalui penyerang andalan mereka, Mark Harris, yang dengan cerdik membobol gawang Port FC. Namun, keunggulan tersebut tak bertahan lama. Menjelang turun minum, Port FC menunjukkan mental juara dengan menyamakan kedudukan. Teerasak Poeiphimai menjadi pahlawan bagi tim asal Thailand itu, mengakhiri babak pertama dengan skor imbang 1-1 dan memberikan suntikan semangat bagi Port FC.
Memasuki babak kedua, Port FC tampil dengan motivasi berlipat. Hanya berselang tiga menit setelah jeda, tepatnya menit ke-48, Barayan Perea sukses membalikkan keadaan. Gol spektakuler yang menaklukkan kiper Matthew Ingram itu membawa Port FC unggul 2-1, memicu permainan yang semakin memanas.
Insiden Kartu Merah yang Mengguncang Laga
Namun, euforia keunggulan ini juga membawa konsekuensi. Permainan Port FC cenderung lebih agresif demi mempertahankan skor, berujung pada insiden tak terhindarkan. Tanaboon Kesarat melakukan pelanggaran keras terhadap gelandang Oxford, Brian de Keersmaecker, yang langsung memicu kericuhan di lapangan. Pemain Oxford geram, sementara sejumlah pemain lain berupaya melerai situasi. Wasit asal Uzbekistan, Firdavs Norsafarov, tanpa ragu mencabut kartu merah untuk Kesarat. Keputusan tegas ini sempat membuat kubu Oxford frustrasi, bahkan nyaris memutuskan untuk tidak melanjutkan pertandingan.
Pertarungan Melawan Cuaca dan Lapangan Tergenang
Di tengah drama lapangan, tantangan lain datang dari langit. Hujan yang turun sejak babak pertama, awalnya ringan, berubah menjadi sangat deras di paruh kedua. Akibatnya, beberapa titik lapangan Stadion Si Jalak Harupat tergenang air, memaksa pertandingan sempat dihentikan untuk pembersihan. Kondisi lapangan yang memburuk ini sangat merugikan Oxford United, tim yang mengandalkan permainan bola-bola pendek. Strategi mereka menjadi tumpul dan sulit diterapkan secara efektif di atas genangan air.
Meskipun Port FC bermain dengan 10 orang, dan Oxford unggul jumlah pemain, tim asuhan Gary Rowett ini justru kesulitan memanfaatkan momentum. Mereka memang mampu menembus pertahanan lawan, namun operan terakhir dan penyelesaian akhir seringkali kurang sempurna. Sebaliknya, Port FC yang kekurangan pemain mengandalkan strategi serangan balik cepat. Salah satu peluang emas lahir dari Suphanan Bureerat yang menerima umpan matang dari Asnawi Mangkualam, namun sepakan kaki kirinya masih membentur lini pertahanan Oxford.
Menit-Menit Akhir Penuh Ketegangan
Soliditas pertahanan Port FC di menit-menit akhir membuat lini serang Oxford United frustrasi. Meskipun terus menekan, keunggulan jumlah pemain belum mampu mereka konversi menjadi gol penyama kedudukan. Di sisi lain, setiap serangan balik Port FC selalu berpotensi mengancam. Sundulan Rebin Sulaka pada menit ke-84 nyaris menambah keunggulan, tipis menyamping di sisi kiri gawang Oxford. Tak lama berselang, pada menit ke-87, pemain pengganti Matheus Pato juga memiliki peluang emas untuk mengubah skor menjadi 3-1, namun tembakan kaki kanannya berhasil digagalkan oleh penyelamatan spektakuler kiper Matt Ingram.
Tanpa ada tambahan gol di sisa waktu, Port FC berhasil mempertahankan keunggulan 2-1 yang krusial hingga peluit panjang dibunyikan. Mereka pun sah dinobatkan sebagai juara Piala Presiden 2025, sebuah kemenangan yang diraih melalui perjuangan gigih. Laga final yang penuh drama ini sontak menuai beragam respons di media sosial. Banyak netizen mengapresiasi semangat juang Port FC, sementara tak sedikit pula yang menyayangkan insiden kartu merah dan kondisi lapangan yang tidak ideal, menandai berakhirnya turnamen dengan kisah yang tak terlupakan.