BPS Tetap Gunakan Standar Lama Bank Dunia untuk Hitung Kemiskinan Ekstrem, Ini Alasannya
Badan Pusat Statistik (BPS) hingga saat ini masih berpegang pada standar garis kemiskinan lama dari Bank Dunia dalam penghitungan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia. Untuk periode Maret 2025, BPS menggunakan acuan Purchasing Power Parity (PPP) 2017 senilai US$ 2,15 per kapita per hari. Padahal, Bank Dunia sendiri telah merevisi dan mengadopsi standar PPP 2021 sebesar US$ 3,00 per hari, yang mencerminkan daya beli terkini antarnegara. Sebagai perbandingan, kurs PPP 2017 adalah Rp 5.089, sedangkan kurs PPP 2021 tercatat Rp 5.353.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan alasan di balik keputusan ini. Menurutnya, BPS tetap menyelaraskan diri dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang masih mengacu pada standar PPP US$ 2,15 per kapita per hari. “Agar berkesinambungan untuk mengevaluasinya,” tegas Ateng dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, pada Jumat, 25 Juli 2025. Ia juga menambahkan bahwa Bank Dunia baru merilis revisi standar tersebut pada Juni lalu, sehingga adaptasi penuh memerlukan waktu.
Meskipun demikian, BPS telah mengambil langkah adaptasi signifikan dalam metode penghitungan. Lembaga ini kini mengadopsi metode *spatial deflator* dari Bank Dunia untuk mengukur kemiskinan ekstrem, menggantikan metode lama yang menggunakan Indeks Harga Konsumen (CPI). Direktur Statistik Ketahanan Sosial BPS, Nurma Midayanti, menjelaskan bahwa *spatial deflator* jauh lebih akurat karena mampu mencerminkan perbedaan harga antarwilayah di seluruh Indonesia, bahkan hingga tingkat kabupaten/kota. “Kami sudah konsultasi terus dengan Bank Dunia untuk penghitungannya,” tambah Nurma setelah konferensi pers.
Berdasarkan penghitungan menggunakan standar lama (PPP 2017 US$ 2,15), BPS mencatat tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia pada Maret 2025 berada di angka 0,85 persen, setara dengan 2,38 juta jiwa. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan September 2024 yang tercatat 0,99 persen atau 2,78 juta jiwa, serta Maret 2024 yang mencapai 1,26 persen atau 3,56 juta jiwa.
Namun, potret kemiskinan ekstrem akan sangat berbeda jika diukur menggunakan standar terbaru Bank Dunia (PPP 2021 US$ 3,00). Dengan standar ini, Bank Dunia mencatat angka kemiskinan ekstrem di Indonesia pada September 2024 melambung hingga 5,5 persen, menjangkau 15,42 juta jiwa. Perbedaan mencolok ini menyoroti perdebatan penting tentang standar pengukuran kemiskinan dan dampaknya terhadap data dan kebijakan.