Perang Thailand-Kamboja: Gencatan Senjata Ditolak, Korban Jiwa Melebihi 33 Orang
Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja kembali meletus, menorehkan babak paling berdarah dalam beberapa tahun terakhir. Pertempuran yang dimulai Kamis (24/7/2025) berlanjut hingga Sabtu (26/7/2025), meskipun Kamboja telah menyerukan gencatan senjata segera. Jumlah korban jiwa yang telah dikonfirmasi telah melampaui 33 orang, jauh lebih besar dibandingkan pertempuran besar sebelumnya antara tahun 2008 hingga 2011 yang menewaskan 28 orang. Ketegangan di perbatasan yang telah lama berlangsung kini telah memicu konflik berskala besar, melibatkan penggunaan jet tempur, artileri, tank, dan pasukan darat. Situasi ini telah memaksa Dewan Keamanan PBB untuk menggelar pertemuan darurat.
Kementerian Pertahanan Kamboja melaporkan 13 warga negaranya tewas, termasuk delapan warga sipil dan lima tentara, dengan 71 lainnya mengalami luka-luka. Di sisi Thailand, militer mengkonfirmasi 20 kematian; lima tentara gugur pada Jumat, menambah jumlah korban sipil sebanyak 14 orang. Jumlah korban jiwa yang terus meningkat ini telah menyebabkan keprihatinan internasional yang signifikan.
Bentrokan terbaru terjadi sekitar pukul 05.00 waktu setempat. Kamboja menuduh Thailand melepaskan lima peluru artileri berat ke wilayah Provinsi Pursat, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Trat, Thailand. Laporan dari wartawan AFP di Samraong, Kamboja, dan warga sipil di Provinsi Sisaket, Thailand, yang berada dekat perbatasan, menguatkan laporan tersebut dengan kesaksian langsung mengenai suara tembakan keras yang menggema di wilayah tersebut. “Saya hanya ingin ini segera berakhir,” ungkap Sutian Phiewchan, seorang warga Thailand yang berlindung di bunker. Konflik ini telah memaksa lebih dari 138.000 orang mengungsi dari wilayah perbatasan Thailand, dan lebih dari 35.000 orang meninggalkan rumah mereka di Kamboja.
Di tengah meningkatnya jumlah korban, Kamboja dengan tegas menyerukan gencatan senjata tanpa syarat. Duta Besar Kamboja untuk PBB, Chhea Keo, menyampaikan seruan tersebut kepada wartawan setelah pertemuan tertutup Dewan Keamanan di New York, menekankan pentingnya solusi damai untuk sengketa perbatasan yang berkepanjangan. Namun, Thailand menolak seruan tersebut. Menteri Luar Negeri Thailand, Maris Sangiampongsa, menyatakan bahwa gencatan senjata baru akan dipertimbangkan jika Kamboja menunjukkan itikad baik untuk mengakhiri konflik dan menghentikan pelanggaran kedaulatan Thailand. Meskipun demikian, Thailand menyatakan terbuka untuk negosiasi, mungkin dengan bantuan Malaysia sebagai ketua ASEAN.
Kedua belah pihak saling tuding sebagai penyebab eskalasi konflik. Thailand menuduh Kamboja menargetkan infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit dan pom bensin yang terkena serangan roket. Sebaliknya, Kamboja menuduh Thailand menggunakan bom curah. Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, yang masih memiliki pengaruh besar, mengunjungi tempat penampungan pengungsi dan menekankan perlunya militer menyelesaikan operasi sebelum dialog dapat dimulai. Ia bahkan mengkritik mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen.
Konflik ini merupakan eskalasi dramatis dari sengketa perbatasan yang telah berlangsung lebih dari satu dekade antara kedua negara yang berbagi perbatasan sepanjang 800 kilometer. Meskipun Putusan Pengadilan PBB tahun 2013 sempat meredakan ketegangan, konflik kembali muncul setelah kematian seorang tentara Kamboja dalam bentrokan pada Mei lalu. Situasi semakin memburuk setelah bocornya rekaman telepon antara Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, dan Hun Sen, yang memicu krisis politik di Thailand dan berujung pada penangguhan sementara Paetongtarn dari jabatannya.