Sorotan Anggota DPR RI Muhammad Khozin: Sound Horeg Butuh Pengaturan Komprehensif, Bukan Larangan Total
JAKARTA – Fenomena “Sound Horeg” belakangan menjadi sorotan publik, memicu perdebatan antara pelarangan dan pengaturan. Menanggapi isu ini, Anggota DPR RI Muhammad Khozin menegaskan bahwa penggunaan Sound Horeg seyogianya memerlukan regulasi yang jelas, bukan sekadar pelarangan total. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek komprehensif sebelum mengambil kebijakan final.
Khozin, legislator yang mewakili Daerah Pemilihan IV Jawa Timur (Kabupaten Jember dan Kabupaten Lumajang), menjelaskan bahwa kerangka pengaturan Sound Horeg harus ditinjau dari beragam dimensi. “Penggunaan Sound Horeg perlu pengaturan, bukan pelarangan. Banyak aspek yang harus menjadi pertimbangan,” ujar Khozin dalam keterangan persnya pada Sabtu (26/7). Ia merincikan bahwa kajian perlu mencakup tinjauan yuridis untuk landasan hukum, sosiologis untuk memahami dampak di masyarakat, serta filosofis untuk menimbang nilai dan tujuannya secara mendalam.
Lebih lanjut, Khozin mengutarakan bahwa regulasi terkait Sound Horeg dapat diterbitkan oleh pemerintah daerah, mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, yakni melalui gubernur, bupati, atau wali kota. Bentuk aturannya pun bervariasi. “Bisa saja peraturan kepala daerah, surat edaran, atau bahkan perubahan terhadap peraturan daerah (perda) yang sudah ada, misalnya perda penyelenggaraan ketertiban umum yang lazim dimiliki setiap pemerintah daerah,” jelasnya, memberikan fleksibilitas dalam implementasi.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khozini, Jember, ini turut menyoroti dua sisi mata uang dari fenomena Sound Horeg. Di satu sisi, ia mengakui dampak positifnya terhadap perekonomian lokal, khususnya pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta industri hiburan. Namun, di sisi lain, Khozin juga tak menampik bahwa penggunaan Sound Horeg kerap menimbulkan persoalan di tengah masyarakat, terutama terkait dampak kesehatan dan isu-isu sosial. “Nah, pada poin inilah relevansi pengaturannya menjadi sangat krusial,” tegasnya, menekankan perlunya keseimbangan.
Untuk merumuskan isi regulasi tersebut, Khozin menyarankan beberapa poin penting. Aturan mengenai Sound Horeg dapat mencakup batasan radius penyelenggaraan kegiatan dari area permukiman warga. Ia mencontohkan, penggunaan Sound Horeg sebaiknya hanya diperbolehkan di tempat pertunjukan khusus atau ruang terbuka yang memadai. Selain itu, prosedur perizinan harus mencakup batasan desibel yang aman bagi kesehatan pendengaran, serta penegasan bahwa kegiatan tersebut tidak boleh memuat unsur pornografi atau pornoaksi.
Khozin mengingatkan, “Pemerintah daerah harus arif dalam merespons aspirasi yang muncul, termasuk dari Fatwa MUI ini, dengan tujuan meminimalisasi kemudaratan dan mengoptimalkan manfaat.” Terkait hal itu, ia menegaskan bahwa Fatwa MUI Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 dapat menjadi rujukan esensial bagi pemerintah daerah dalam merumuskan pengaturan mengenai penggunaan Sound Horeg. “Fatwa MUI dapat menjadi pedoman kuat karena ditinjau dari pelbagai perspektif, bahkan melibatkan kedokteran spesialis THT. Oleh karena itu, Fatwa MUI tidak perlu lagi diperdebatkan,” pungkasnya, menekankan validitas dan komprehensivitas fatwa tersebut sebagai dasar kebijakan. (ast/RAGAMHARIAN.COM)