Kontroversi Sidang Tom Lembong: Ahli Hukum UI Pertanyakan Larangan Siaran Langsung
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang melarang siaran langsung persidangan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula, memicu pertanyaan tajam dari kalangan akademisi hukum. Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menyuarakan keheranannya atas kebijakan tersebut, menekankan pentingnya transparansi dalam proses peradilan.
Chudry, saat dihubungi pada Senin, 24 Maret 2025, secara gamblang mempertanyakan, “Kan substansinya boleh *live*, kenapa jadi dilarang? Ada apa?” Ia menegaskan bahwa siaran langsung persidangan merupakan bentuk diskresi dari Mahkamah Agung, yang sejatinya bertujuan untuk memastikan keterbukaan informasi kepada publik. Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa jaminan untuk menyiarkan langsung proses peradilan juga termaktub dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). “Kecuali hakim mengatakan sidang tertutup, karena undang-undang menyatakan memang itu harus tertutup,” tambahnya. Chudry juga menyayangkan inkonsistensi, “Apa bedanya kalau direkam? Kalau boleh direkam kenapa gak boleh *live*?”
Meski demikian, Chudry tidak melihat larangan siaran langsung ini sebagai upaya menghalangi kerja pers. “Menghalangi kerja jurnalis itu kalau gak boleh meliput, ini kan boleh meliput tapi gak boleh *live*,” jelasnya, membedakan antara peliputan dan penyiaran secara langsung.
Sebelumnya, dalam sidang kasus dugaan korupsi impor gula yang digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat pada Kamis, 20 Maret 2025, Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika memang mempersilakan awak media untuk meliput. Namun, ia dengan tegas menyatakan, “Mohon maaf, jangan melakukan siaran secara *live* atau langsung ya.” Sayangnya, alasan di balik larangan tersebut tidak dijelaskan kepada publik, dan sidang pun berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi.
Kasus yang menjerat Tom Lembong ini tidak main-main. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa dirinya telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 578.105.411.622,47 atau sekitar Rp 578,1 miliar. Angka fantastis ini didasarkan pada “Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Importasi Gula di Kementerian Perdagangan Tahun 2015 sampai 2016” yang dirilis oleh BPKP pada 20 Januari 2025.
Selain itu, Tom Lembong juga didakwa telah memperkaya orang lain atau korporasi dengan nilai mencapai Rp 515.408.740.970,36 atau sekitar Rp 515,4 miliar. Jumlah ini merupakan bagian integral dari total kerugian negara sebesar Rp 578,1 miliar yang disebutkan sebelumnya. Namun, surat dakwaan Jaksa tidak merinci asal-usul sisa kerugian sebesar Rp 62,7 miliar.
Dinukil dari dokumen dakwaan Tom Lembong, kerugian keuangan negara sebesar Rp 578,1 miliar tersebut disinyalir bersumber dari dua aspek utama. Pertama, adanya kemahalan harga yang dibayarkan oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) dalam pengadaan gula kristal putih untuk penugasan stabilisasi harga atau operasi pasar. Kedua, kerugian ini juga berasal dari kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI).
Artikel ini ditulis dengan kontribusi dari Amelia Rahima Sari.