Menteri ESDM Bahlil Lahadalia: Kebijakan IMF Penyebab Anjloknya Produksi Migas Indonesia?
Produksi minyak dan gas (migas) Indonesia yang terus merosot sejak akhir 1990-an menjadi sorotan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menuding kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai salah satu faktor utamanya. Pernyataan kontroversial ini disampaikan Bahlil dalam Human Capital Summit di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 3 Juni 2025.
Bahlil mengungkapkan bahwa rekomendasi IMF pasca krisis moneter 1998, khususnya revisi Undang-Undang Migas, justru berdampak negatif pada sektor energi nasional. “IMF dianggap sebagai dokter ahli, namun saran mereka soal perubahan UU Migas mengakibatkan lifting migas kita terus menurun,” tegasnya. Sebelum krisis (1996-1998), Indonesia mampu memproduksi 1,5 hingga 1,6 juta barel minyak per hari (bpd), dengan ekspor mencapai 1 juta bpd, menjadikan Indonesia sebagai pengekspor minyak utama dan anggota OPEC.
Namun, realita saat ini jauh berbeda. Pada 2024, produksi minyak Indonesia hanya mencapai 580 ribu bpd, sementara konsumsi domestik melonjak hingga 1,6 juta bpd. Defisit lebih dari 1 juta bpd ini memaksa Indonesia mengandalkan impor, menciptakan ketergantungan energi dari luar negeri. “Ini akibat resep IMF saat krisis. Kita terlalu percaya saran luar, padahal tak semua solusi cocok untuk masalah kita,” kritik Bahlil.
Ia menekankan perlunya kebijakan energi yang berorientasi pada kebutuhan dan konteks nasional, bukan sekadar mengikuti arahan lembaga internasional. Pemerintah, lanjut Bahlil, kini berupaya keras memulihkan kapasitas produksi migas melalui berbagai strategi, termasuk investasi dan hilirisasi industri energi.
Pandangan berbeda disampaikan ekonom energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto. Dalam wawancara dengan Tempo pada Senin, 14 Oktober 2024, ia menilai peningkatan lifting minyak dalam waktu singkat mustahil. Prioritas saat ini adalah meminimalkan laju penurunan produksi dan mencapai target APBN. “Mencapai target APBN lebih realistis. Tapi, meningkatkan lifting membutuhkan langkah yang jauh lebih kompleks,” jelasnya.
Pri Agung menambahkan bahwa salah satu langkah krusial adalah memberikan insentif besar-besaran kepada PT Pertamina (Persero) untuk mendorong investasi dan meningkatkan produksi di lapangan-lapangan minyak tua yang dikelola perusahaan tersebut. “Alih kelola sudah ke Pertamina, tapi mereka butuh insentif,” tegasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi kompleksitas permasalahan produksi migas Indonesia dan perlunya strategi terpadu untuk mengatasi tantangan tersebut. Kontribusi: M Rizki Yusrial. Pilihan Editor: Pekerjaan Rumah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.