Presiden Prabowo Subianto kembali menuai kontroversi dengan pernyataannya yang menyebut “kekuatan asing” berupaya melemahkan Indonesia, salah satunya melalui pendanaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pernyataan ini, dilontarkan dalam pidato peringatan Hari Pancasila, menimbulkan gelombang kritik dari berbagai kalangan aktivis dan akademisi yang menilai pernyataan tersebut sebagai bentuk alergi terhadap kritik dan upaya mengadu domba antar warga.
Bukan kali pertama Prabowo melontarkan kekhawatiran soal “kekuatan asing” yang mengancam kedaulatan Indonesia. Dalam pidatonya, ia menyerukan persatuan nasional, menekankan bahaya perpecahan yang menurutnya selalu didorong oleh pihak asing melalui pendanaan LSM. Ia menuding LSM yang menerima dana asing sebagai pihak yang mengatasnamakan demokrasi, HAM, dan kebebasan pers untuk kepentingan mereka sendiri, seraya mengajak bangsa Indonesia untuk berdiri di atas kaki sendiri. Meskipun demikian, Prabowo menegaskan tidak anti-asing, hanya ingin Indonesia terhindar dari manipulasi pihak manapun.
Kritik atas pernyataan Presiden Prabowo pun segera bermunculan. Aktivis hukum menyoroti dampak negatif dari narasi anti-asing terhadap LSM, yang selama ini berperan penting sebagai penyeimbang kekuasaan (checks and balances). Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia menilai retorika anti-asing sangat berbahaya dan berpotensi melemahkan gerakan sipil, menekankan bahwa musuh utama Indonesia bukanlah LSM yang didanai asing, melainkan korupsi di kalangan elite. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, membenarkan Presiden memiliki informasi lengkap mengenai LSM yang terafiliasi dengan pihak asing dan cenderung menyudutkan pemerintah, namun menegaskan pernyataan Presiden tidak ditujukan kepada seluruh LSM.
Retorika anti-asing Prabowo bukanlah hal baru. Sejak jauh sebelum menjabat presiden, ia telah beberapa kali menyinggung soal campur tangan asing dalam berbagai konteks. Pada debat Pilpres 2014, ia menyebut kekayaan nasional Indonesia mengalir ke luar negeri. Setelah kekalahannya di Pilpres 2014, ia menuding adanya keterlibatan asing yang memenangkan Jokowi-JK. Namun, Prabowo juga menyatakan dukungannya terhadap investasi asing selama tidak merugikan ekonomi rakyat. Konsistensi Prabowo dalam menyuarakan bahaya “kekuatan asing” ini terlihat dalam berbagai pernyataan dan wawancara, baik sebelum maupun sesudah terpilih sebagai presiden, meskipun ia juga secara berkala menegaskan tidak anti-asing dan terbuka terhadap kerjasama internasional dalam bidang ekonomi. Ia bahkan menekankan pentingnya belajar dari berbagai pihak, termasuk negara asing. Namun, beberapa pernyataan kontroversial terkait campur tangan asing dalam isu Papua dan demonstrasi penolakan revisi UU TNI kembali menegaskan kecenderungannya untuk menggunakan narasi “musuh asing.”
Analisis terhadap komunikasi politik Prabowo menunjukkan adanya unsur populisme. Mengacu pada pemikiran Hannah Arendt, populisme muncul sebagai respons terhadap krisis, terutama ekonomi, dengan pemimpin karismatik yang mampu menggerakkan massa melalui jargon dan narasi sederhana, tanpa perlu program yang detail. Moises Naim menambahkan bahwa populisme lebih merupakan strategi meraih dan mempertahankan kekuasaan ketimbang ideologi. Ciri-ciri populisme yang terlihat dalam komunikasi politik Prabowo antara lain: munculnya di tengah ketidakstabilan, penyebaran cepat narasi sayap kanan, konstruksi “rakyat” versus “elite” (termasuk kekuatan asing), dan penciptaan musuh bersama. Dalam hal ini, Prabowo memiliki kesamaan dengan tokoh populis seperti Donald Trump dan Viktor Orban, yang juga sering menggunakan narasi anti-media dan anti-LSM.
Di Indonesia, populisme Prabowo berbeda dengan model ekstrem kiri maupun kanan di negara lain. Abubakar Eby Hara dalam makalahnya “Populism in Indonesia and its Threats to Democracy” (2017) menyebut Jokowi dan Prabowo sebagai tokoh yang mewakili populisme di Indonesia, dengan perbedaan dalam definisi “rakyat” dan “elite”. Andreas Ufen dalam “Prabowo’s Populism in Indonesia” (2024) menggambarkan Prabowo sebagai “elite yang sadar” yang menggunakan narasi anti-elite dan anti-asing untuk mendekatkan diri kepada rakyat, menampilkan dirinya sebagai penyelamat rakyat dari eksploitasi “kekuatan asing” dan “elite korup”. Narasi anti-asing Prabowo juga dipengaruhi pengalaman militernya, yang menanamkan pola pikir soal musuh dan lawan yang harus dilawan.
Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai pidato “anti-asing” Prabowo sebagai ciri khas demagog yang alergi kritik dan menggunakan narasi untuk mengadu domba antar warga. Hal ini berpotensi memicu kekerasan dan pengetatan UU Ormas, mengurangi checks and balances. Asfinawati, advokat HAM, menilai retorika anti-asing sebagai cara untuk menciptakan musuh negara yang tak terdefinisi, dengan potensi represif dan pelanggaran hukum. Usman Hamid menambahkan bahwa paradigma penguasa otoriter selalu menyalahkan pihak lain untuk menutupi ketidakmampuannya, menganggap kritik sebagai ancaman. Pernyataan-pernyataan tersebut menggarisbawahi potensi bahaya dari narasi anti-asing Prabowo terhadap demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.