Rupiah Menguat Terhadap Dolar AS, Didorong Pelemahan Ekonomi Amerika
Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan Kamis (5/6), mencapai level Rp 16.284 per USD. Penguatan sebesar 0,07% ini melanjutkan tren positif sehari sebelumnya, dan menandai penguatan rupiah selama dua hari berturut-turut. Hal ini terutama didorong oleh melemahnya data ekonomi AS yang memicu spekulasi penurunan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed).
Data ekonomi AS yang mengecewakan menunjukkan kontraksi sektor jasa untuk pertama kalinya dalam hampir setahun pada Mei 2025. Pelemahan ini diperkuat oleh indikasi pelonggaran pasar tenaga kerja AS. Kondisi ini memicu reli di pasar obligasi AS, meningkatkan probabilitas penurunan suku bunga acuan oleh The Fed. Data dari LSEG menunjukkan pasar memperkirakan peluang sebesar 95% The Fed akan memangkas suku bunga pada September.
Meskipun demikian, pergerakan mata uang di Asia cenderung terbatas, dengan pelaku pasar masih bersikap wait and see menantikan rilis data ketenagakerjaan AS pada Jumat (6/6) malam waktu Indonesia. Data ini diharapkan menjadi penentu arah kebijakan The Fed selanjutnya. Survei Reuters memproyeksikan penambahan non-farm payrolls pada Mei hanya 130.000, turun signifikan dari 177.000 pada April, dengan tingkat pengangguran diperkirakan tetap di 4,2%. Data ketenagakerjaan yang lebih lemah dari ekspektasi berpotensi mempercepat ekspektasi pemangkasan suku bunga dan menekan dolar AS lebih lanjut.
Selain faktor ekonomi domestik AS, ketidakpastian kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump juga turut berperan dalam pelemahan dolar AS. Pengumuman serangkaian tarif baru terhadap beberapa negara, meskipun sebagian ditangguhkan, menambah ketidakpastian di pasar global. Secara teknikal, indeks dolar (DXY) yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia berada di level 98,87, turun sekitar 9% sejak awal tahun dan berpotensi mencatat kinerja tahunan terburuk sejak 2017.
Di tengah situasi ini, mata uang lain menunjukkan pergerakan yang beragam. Euro relatif stabil di US$1,1412 menjelang keputusan suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB), sementara yen diperdagangkan di level ¥143 per USD. Dolar Australia dan Selandia Baru menguat tipis, masing-masing berada di US$0,6491 dan US$0,603, mendekati level tertinggi dalam tujuh bulan. Yield obligasi AS tenor 10 tahun berada di 4,363% pada sesi Asia, sedikit di atas posisi terendah empat minggu di 4,349%.
Mansoor Mohi-uddin, ekonom Bank of Singapore, menekankan pentingnya laporan ketenagakerjaan Jumat sebagai indikator kunci. Ia menyatakan bahwa jika pasar tenaga kerja menunjukkan pelemahan lebih lanjut, dolar AS berpotensi tertekan lebih dalam.