Menteri Bahlil Lahadalia ke Papua: Antara Sorotan Tambang Nikel Raja Ampat dan Peninjauan Sumur Minyak
Ragamharian.com, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengagendakan kunjungan penting ke wilayah Papua, mencakup Papua Barat dan Papua Barat Daya. Tidak hanya fokus pada tambang nikel yang tengah menjadi sorotan di Raja Ampat, ia juga berencana meninjau sumur-sumur minyak vital di Sorong, Fakfak, dan Bintuni. Pengumuman ini disampaikan Bahlil dari DPP Partai Golkar, Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat, pada Jumat, 6 Juni 2025.
Perjalanan *blusukan* sang Menteri ini diduga kuat dipicu oleh derasnya kritik terkait aktivitas pertambangan di Papua yang dituding merusak keindahan dan ekosistem kepulauan Raja Ampat. Kendati demikian, Bahlil belum dapat memastikan kapan persisnya jadwal kunjungan ke Raja Ampat maupun ke lokasi sumur-sumur minyak tersebut akan terlaksana. “Insyaallah, doakan saja. Saya akan mencoba karena ini masih dalam suasana hikmah Idul Adha,” ujar Ketua Umum Partai Golkar itu, menekankan momen spiritual di balik rencana kunjungannya.
Bahlil juga mengungkapkan bahwa kunjungan dalam waktu dekat ke Papua Barat dan Papua Barat Daya ini merupakan bagian dari upaya menjalin silaturahmi langsung dengan masyarakat setempat. Menurutnya, semangat Idul Adha bukan hanya tentang bersilaturahmi dengan para pejabat, melainkan juga harus menyentuh akar rumput, bertemu rakyat, dan berdialog secara tatap muka. “Itu bagian daripada sunah Nabi Ibrahim,” tambahnya, memberikan dimensi filosofis pada kunjungan ini.
Sorotan tajam terhadap tambang nikel di Raja Ampat sendiri bermula dari kritik keras Greenpeace Indonesia. Organisasi lingkungan tersebut melaporkan adanya kegiatan pengerukan nikel secara masif di Pulau Gag, area konsesi yang dikuasai oleh PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk. Tak berhenti di situ, Greenpeace juga menemukan aktivitas pertambangan serupa di Pulau Kawe dan Pulau Manuran, memperparah dugaan kerusakan ekologis di salah satu surganya dunia.
Ironisnya, ketiga pulau yang menjadi lokasi tambang tersebut masuk dalam kategori pulau kecil. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan semacam ini sejatinya tidak boleh dijadikan area tambang. Analisis mendalam yang dilakukan Greenpeace menunjukkan bahwa kegiatan tambang nikel di ketiga pulau itu telah menyebabkan kerusakan parah, melenyapkan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami. Dokumentasi lapangan juga secara jelas memperlihatkan adanya limpasan tanah yang mengalir deras ke pesisir, menimbulkan sedimentasi akut yang sangat membahayakan terumbu karang dan seluruh ekosistem laut di sekitarnya.
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Global untuk Indonesia, Kiki Taufik, memperingatkan dengan tegas bahwa jika aktivitas tambang nikel terus dibiarkan meluas, wilayah Raja Ampat akan mengalami kerusakan permanen yang tak terpulihkan. Kiki menyebutkan bahwa dampak merusak industri nikel telah nyata terjadi di berbagai daerah lain seperti Halmahera, Wawonii, dan Kabaena. Ia sangat khawatir Raja Ampat akan bernasib serupa. Padahal, Raja Ampat diakui sebagai kawasan geopark global dan destinasi wisata bawah laut terpopuler di dunia. “Sekitar 75 persen terumbu karang terbaik dunia berada di Raja Ampat, dan sekarang mulai dirusak,” tegas Kiki pada Selasa, 3 Juni 2025, menyoroti urgensi krisis lingkungan ini.
Riri Rahayu dan Nandito Putra, *berkontribusi dalam penulisan artikel ini.*