Raja Ampat Terancam: Protes Keras Menggema Atas Aktivitas Tambang Nikel
Keindahan Raja Ampat, surga biodiversitas laut dunia yang juga menyandang status UNESCO Global Geopark, tengah terancam. Aktivitas pertambangan nikel di lima pulau kecil – Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele – memicu protes keras dari Greenpeace Indonesia dan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat. Mereka menuding kegiatan pertambangan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dengan ekosistem sensitif.
Analisis Greenpeace menunjukkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Lebih dari 500 hektare hutan telah rusak akibat penambangan, dan sedimentasi mengancam kelangsungan hidup terumbu karang serta biota laut di sekitarnya. Video yang dirilis Greenpeace memperlihatkan pembukaan lahan di tengah pulau, yang diduga sebagai lokasi tambang aktif, semakin memperkuat tudingan kerusakan lingkungan tersebut.
Menanggapi protes tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa tambang tersebut berada di luar wilayah konservasi. Namun, ia memastikan Kementerian ESDM akan melakukan pengecekan lapangan dan mengevaluasi keberadaan tambang-tambang tersebut. Sebagai langkah awal, aktivitas tambang PT Gag Nikel di Pulau Gag telah dihentikan sementara. Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut, menurut Bahlil, diterbitkan sebelum ia menjabat sebagai Menteri ESDM.
Desakan untuk penindakan tegas terhadap perusahaan tambang yang merusak Raja Ampat terus berdatangan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua secara resmi meminta Menteri ESDM mencabut seluruh izin tambang nikel di sekitar Raja Ampat, menganggap pemberian izin tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan mengancam kelestarian pulau-pulau di kawasan tersebut. LBH Papua juga mendesak Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya dan Bupati Raja Ampat untuk segera menerbitkan peraturan daerah (Perda) guna melindungi kawasan UNESCO Global Geopark Raja Ampat.
Senada dengan LBH Papua, akademisi dari Universitas Gadah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mendesak pemerintah untuk membatalkan seluruh izin tambang di Raja Ampat secara permanen. Menurutnya, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan, bahkan dengan adanya reklamasi, akan tetap mengancam keindahan dan keunikan *geopark* Raja Ampat sebagai destinasi wisata kelas dunia. Fahmy juga menyarankan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki dugaan kongkalikong antara pemerintah pusat dan pengusaha tambang terkait penerbitan izin tersebut.
Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai turut menyuarakan kritik tajam. Mereka menilai kunjungan Menteri ESDM dan pejabat daerah Papua Barat Daya ke Pulau Gag sebagai upaya melindungi perusahaan tambang, terutama setelah Gubernur Papua Barat Daya menyatakan bahwa foto-foto kerusakan lingkungan yang beredar di media sosial adalah hoaks. Meskipun Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM menyatakan tidak menemukan indikasi pelanggaran, Koalisi tersebut tetap mendesak pencabutan seluruh izin tambang, menekankan perlunya penyelidikan oleh Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K) berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 12/PERMEN-KP/2013.
Kekhawatiran atas kerusakan Raja Ampat juga disampaikan oleh Pelaku Usaha Wisata Selam Indonesia (IDCA) melalui surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto. IDCA mendesak pencabutan permanen izin tambang, perluasan zona larangan dan penyangga, penegakan zonasi konservasi nasional, serta pengembangan ekonomi hijau dan ekowisata berbasis masyarakat lokal. Mereka menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat adat dan nelayan dalam pengawasan dan pengelolaan kawasan untuk pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Desakan ini semakin menggema, menyoroti betapa pentingnya melindungi warisan alam Raja Ampat untuk generasi mendatang.