Polemik Smelter Nikel di Raja Ampat: Antara Ambisi Investasi dan Ancaman Lingkungan Hidup
Jakarta – Rencana pembangunan smelter nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, telah memicu polemik dan respons beragam dari berbagai pihak. Dalam pernyataannya pada Selasa, 3 Juni 2025, Bahlil menyebut rencana ini sebagai upaya menampung aspirasi masyarakat Raja Ampat yang menginginkan kehadiran smelter. “Memang ada aspirasi dari masyarakat di Papua, khususnya Raja Ampat, agar smelter dibangun di sana,” ujar Bahlil di JCC Senayan, Jakarta Pusat.
Namun, gagasan pembangunan smelter nikel di salah satu surga konservasi dunia ini segera memicu gelombang penolakan keras. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat dengan tegas menyatakan penolakan terhadap ekspansi tambang nikel dan pembangunan smelter. Koordinator aliansi, Yoppy L. Mambrasar, menilai pemerintah telah gagal menjaga integritas kawasan konservasi dan geopark dunia yang menjadi kebanggaan Raja Ampat. Yoppy juga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023, yang secara fundamental memperkuat larangan aktivitas tambang di pulau kecil. “Jika eksploitasi ini tidak dihentikan, maka bukan hanya ekosistem yang rusak, tapi juga masa depan anak cucu kita. Kami tidak menolak pembangunan, tapi pembangunan yang adil, lestari, dan berpihak pada rakyat,” tegas Yoppy.
Senada dengan itu, Ayub Paa, perwakilan koalisi, mengkritik keras sikap pemerintah yang dinilai berpihak pada perusahaan tambang. Pernyataan Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, yang mengklaim potret kerusakan lingkungan Raja Ampat di media sosial adalah “hoax” dan menyatakan laut di sana masih biru, dianggap menyesatkan. “Pernyataan para pejabat itu merupakan pernyataan subjektif dan tidak dapat dibenarkan, terutama untuk menilai perusahaa pertambangan melakukan pelanggaran atau tidak,” ucap Ayub melalui keterangan tertulis pada Senin, 9 Juni 2025.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) turut memperkuat suara penolakan ini, menyoroti ketimpangan izin pertambangan yang mencakup luas wilayah melebihi total daratan Pulau Gag. Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar, menegaskan bahwa eksploitasi tambang di pulau kecil merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan dan lingkungan. Melky memaparkan bahwa luas Pulau Gag hanya 6.500 hektare, di mana 6.034,42 hektare di antaranya berstatus hutan lindung. Ironisnya, perusahaan mendapatkan konsesi dua kali lipat lebih luas dari keseluruhan daratan pulau. Lebih lanjut, Melky juga menyoroti fenomena kriminalisasi terhadap warga pulau kecil yang menolak tambang, yang dianggap mencederai prinsip demokrasi dan hak hidup masyarakat adat.
Kritik tajam juga datang dari Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai. Kunjungan pejabat pusat dan daerah ke lokasi tambang di Pulau Gag dinilai sebagai bentuk keberpihakan terang-terangan kepada perusahaan tambang. Ayub Paa dari koalisi tersebut menegaskan bahwa penilaian tidak adanya kerusakan lingkungan oleh pejabat adalah klaim subjektif. Menurutnya, evaluasi seharusnya dilakukan oleh Polisi Khusus Pengawasan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), bukan klaim sepihak. Koalisi ini mendesak pencabutan seluruh izin tambang di Raja Ampat yang melanggar Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Di tengah riuhnya polemik dan desakan dari berbagai elemen masyarakat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengambil langkah konkret. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol, menyatakan KLHK telah mengambil langkah hukum terhadap PT Anugerah Surya Pratama (ASP) setelah menemukan indikasi kerusakan lingkungan di Pulau Manuran. Lokasi tambang PT ASP telah disegel dan operasionalnya dihentikan sementara untuk investigasi lebih lanjut. “Ada indikasi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dan akan dilakukan penegakan hukum baik pidana maupun gugatan perdata,” kata Hanif saat konferensi pers di Jakarta, Minggu, 9 Juni 2025.
Di lapangan, tim investigasi KLHK menemukan adanya kolam pengendapan (setting pond) yang jebol, menyebabkan sedimentasi tinggi dan kekeruhan parah di pantai. Foto udara yang dipotret oleh drone juga menunjukkan air laut di pesisir telah keruh dan terjadi deforestasi akibat pembukaan lahan. Hanif menjelaskan, PT ASP memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terbit pada 2013 seluas 1.173 hektare, mencakup daratan dan lautan di Pulau Manuran. Selain itu, pada tahun yang sama, perusahaan ini juga memiliki IUP seluas 9.500 hektare di Pulau Waigeo. Luas bukaan tambang PT ASP saat ini tercatat sebesar 109,23 hektare.
Nandito Putra, Rizki Dewi Ayu, Riri Rahayu, Irsyan Hasyim, dan M. Faiz Zaki turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.