Polemik Batas Wilayah Tuntas: Prabowo Resmi Tetapkan 4 Pulau Sengketa Milik Aceh Berdasar Kepmendagri 1992
Setelah berlarut-larut menjadi polemik yang menyita perhatian publik, sengketa empat pulau strategis antara Provinsi Sumatera Utara dan Aceh akhirnya menemui titik terang. Pemerintah Pusat, di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto, secara tegas memastikan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang resmi kembali menjadi bagian dari wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Keputusan final ini diambil dalam rapat terbatas di Istana pada Selasa, 17 Juni, yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Rapat penting tersebut dihadiri sejumlah pejabat tinggi, termasuk Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, dan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Hasil kesepakatan ini mengakhiri ketidakpastian status keempat pulau yang sempat diputuskan masuk ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Peran Sentral Prabowo dalam Penyelesaian Sengketa 4 Pulau
Presiden Prabowo Subianto memainkan peran sentral dalam penyelesaian polemik batas wilayah ini. Dalam rapat tersebut, ia mengambil keputusan tegas bahwa keempat pulau tersebut tetap menjadi milik Provinsi Aceh. “Tadi Bapak Presiden telah memutuskan bahwa pemerintah berlandaskan kepada dasar-dasar dokumen yang dimiliki oleh pemerintah telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, kemudian Mangkir Gadang dan Pulau Mangkir Ketek secara administratif berdasarkan dokumen yang dimiliki oleh pemerintah adalah masuk ke wilayah administratif Provinsi Aceh,” jelas Mensesneg Prasetyo Hadi saat konferensi pers.
Setelah keputusan dicapai, Presiden Prabowo mendesak agar hasil tersebut segera diumumkan kepada masyarakat. Ia menekankan pentingnya persatuan nasional, mengingatkan bahwa Aceh dan Sumatera Utara adalah bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mendorong agar keputusan segera disosialisasikan guna mencegah kegaduhan berkepanjangan di masyarakat.
Kepmendagri 111 Tahun 1992: Dasar Hukum Pengembalian Pulau
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan bahwa kunci penyelesaian sengketa ini adalah penemuan kembali Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 111 Tahun 1992. Dokumen bersejarah ini, yang sebelumnya sempat hilang dan hanya tersedia dalam bentuk fotokopi yang rentan secara hukum, merupakan hasil kesepakatan antara Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar dan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan tentang batas-batas wilayah administrasi kedua provinsi pada 22 April 1992.
“Kita punya pusat arsip di Pondok Kelapa Jakarta Timur itu ada tiga gedung dibongkar, dibongkar, dokumen asli yang kesepakatan dua gubernur tersebut yang disaksikan oleh Pak Rudini (eks Mendagri tahun 1992) enggak ketemu,” ujar Tito. “Tapi yang ketemu adalah Kep (Kepmendagri). Nah inilah dokumen yang menurut kami sangat penting Kepmendagri nomor 111 tahun 1992 ini tanggalnya 24 November 1992.” Penemuan bukti otentik ini menjadi landasan kuat untuk merevisi keputusan sebelumnya dan mengembalikan status keempat pulau ke Aceh.
Kuatnya Jejak Historis dan Kesepakatan Baru
Selain dokumen Kepmendagri, Tito juga mengakui kuatnya catatan historis serta keberadaan jejak-jejak warga Aceh Singkil di keempat pulau tersebut sebagai petunjuk dan pendukung keputusan. Dengan adanya bukti baru yang didukung oleh pernyataan Rudini, Mendagri saat itu yang juga menjadi penengah pertemuan tahun 1992, status keempat pulau tersebut secara sah kembali menjadi bagian dari administrasi Aceh Singkil, Aceh.
Tak hanya itu, keputusan ini juga diperkuat dengan penandatanganan kesepakatan baru antara Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf. “Tadi Bapak Presiden juga sudah memberikan arahan melalui zoom meeting beliau dan kemudian disaksikan oleh Bapak Presiden, Bapak Gubernur Aceh dan Bapak Gubernur Sumatera Utara juga sudah menandatangani kesepakatan tersebut,” ungkap Tito, menegaskan legalitas dan komitmen kedua provinsi terhadap keputusan ini.
Respons Gubernur Sumut Bobby Nasution: Minta Masyarakat Hentikan Laporan
Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, yang turut hadir dalam rapat terbatas di Istana, meminta seluruh masyarakat Sumut untuk menerima hasil ini dengan lapang dada dan menghentikan segala bentuk laporan atau polemik yang sempat dibuat. “Kita jangan mau terhasut, jangan mau terbawa gorengan. Karena itu apa pun kondisinya dari ini untuk masyarakat Sumut, kalau laporan ke masyarakat Aceh dan sejenisnya, saya sebagai gubernur tolong itu dihentikan. Karena kesepakatan hari ini bukan tanya tentang Aceh dan Sumut tapi untuk bangsa dan negara kita,” ujar Bobby.
Bobby juga mengungkapkan rasa syukurnya atas keputusan ini dan menyampaikan terima kasih kepada Presiden Prabowo yang telah memberikan perhatian serius terhadap polemik batas wilayah antara Sumut dan Aceh. “Baru hari ini kami saya dan Pak Gubernur (Aceh) hari ini menandatangani surat tentang batas-batas wilayah tadi,” kata menantu Presiden Jokowi itu. Ia menambahkan, “Sudah disampaikan tentang batas wilayah sudah dimulai 1992 umur saya baru 1 tahun, 1998 saya masih SMA, 2017 saya belum jadi pejabat publik, dan 2020 saya masih jadi Wali Kota Medan. Baru ini 2025 tangan tangan saya sebagai gubernur menyatakan adalah 4 pulau ini masuk wilayah Aceh.”
Gubernur Aceh Muzakir Manaf Sampaikan Apresiasi
Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, menyambut baik keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan empat pulau sengketa masuk wilayah administrasi Aceh. Empat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Mangkir Gadang. Eks Panglima GAM ini secara khusus menyampaikan apresiasi kepada pemerintah dan pihak terkait yang telah berkontribusi dalam penyelesaian ini.
“Bagi rakyat Aceh, terima kasih Bapak Presiden yang sangat kami sayangi Bapak Prabowo Subianto dan Mendagri Pak Tito, dan Wakil Ketua DPR Pak Dasco, Mensesneg Pak Pras dan Gub Sumut,” kata Mualem. Ia berharap polemik ini diakhiri dengan damai dan menegaskan kembali bahwa seluruh wilayah adalah bagian dari NKRI. “Ini sudah clear tidak ada masalah lagi berdasarkan putusan Bapak Presiden dan Mendagri bahwa pulau tersebut sudah dikembalikan pada Aceh. Mudah-mudahan tidak ada yang dirugikan Aceh, Sumut, yang penting pulau tersebut dalam kategori NKRI,” imbuhnya.
Peran Sufmi Dasco Ahmad dan Apresiasi dari Parlemen
Dalam rapat yang membuahkan keputusan penting ini, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad sempat menengahi Mualem dan Bobby, serta memberikan penjelasan detail kepada Presiden Prabowo mengenai polemik keempat pulau. “Jadi kami telah membicarakan soal 4 pulau dan alhamdulillah tadi berdasarkan temuan baru Mendagri, kita temukan dokumen lama putusan Mendagri tentang kesepakatan 2 Gubernur yang pada waktu itu ditandatangani oleh Raja Inal Siregar, Gubernur Sumatera Utara (1988-1998) yang menyepakati bahwa 4 pulau itu masuk ke dalam wilayah Aceh, Pak,” kata Dasco. Dokumen yang dimaksud adalah Kepmendagri Nomor 111 Tahun 1992, yang melampirkan peta topografi TNI tahun 1978 sebagai landasan.
Keputusan ini juga disambut baik oleh Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, yang merupakan perwakilan dari Aceh. Ia menilai keputusan Presiden Prabowo telah sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh serta berdasarkan data dan fakta di lapangan. “Keputusan ini sangat tepat, bijak, berdasarkan dokumen, dan fakta di lapangan,” kata Nasir, menyampaikan apresiasi atas ketegasan Presiden Prabowo.
Stabilitas dan Keadilan Jadi Prioritas Presiden Prabowo
Menkopolkam Budi Gunawan (BG) turut memberikan komentar terkait penetapan empat pulau ini sebagai milik Aceh. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto mengedepankan keadilan dan stabilitas kawasan saat mengambil keputusan tersebut. “Keputusan ini mencerminkan keseriusan dan komitmen kuat pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam menegakkan kepastian hukum wilayah, sekaligus menjaga stabilitas sosial dan politik, khususnya di Aceh dan Sumatera Utara,” ujar BG. Ia menambahkan, Presiden juga menghormati jejak sejarah, aspek kultural, hingga dinamika sosial masyarakat Aceh dalam menetapkan status wilayah keempat pulau tersebut.
Momentum Pembenahan Arsip dan Peringatan Adanya Penunggang Isu
Mensesneg Prasetyo Hadi berpendapat bahwa sengketa empat pulau ini menjadi momentum krusial bagi pemerintah untuk membenahi sistem kearsipan dan pengelolaan dokumen negara. Pasalnya, butuh waktu dan ketelitian lebih untuk menemukan dokumen baru yang menjadi data penunjang keputusan ini. “Ke depan harus kita rapikan semua pengarsipan-pengarsipan kita,” kata Prasetyo, seraya menyebut bahwa kasus serupa tidak hanya terjadi antara Sumut dan Aceh, tetapi juga di beberapa provinsi lain.
Lebih lanjut, Prasetyo Hadi juga menyatakan agar semua pihak menahan diri dan memahami pokok masalah agar persoalan ini tidak dilarikan ke arah yang dapat menimbulkan gesekan. Ia memperingatkan adanya pihak-pihak ‘yang gelap-gelap’ menunggangi isu ini, mencontohkan spekulasi potensi migas yang belum terbukti di pulau-pulau tersebut sebagai narasi yang dapat memecah belah. “Di situ ada satu pemerintahan yang mau mengambil, kemudian diisukan ada sumber daya energi yang cukup besar. Padahal kita cek, kami cek di SDM, belum pernah ada penelitian di tempat-tempat tersebut memiliki kandungan energi,” jelasnya.
Wali Nanggroe dan Jusuf Kalla Beri Tanggapan Krusial
Menyusul keputusan penting ini, Wali Nanggroe ke IX Teungku Malik Mahmud Al Haythar mengunjungi rumah Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla di Brawijaya, Jakarta Selatan. Mahmud menegaskan bahwa bagi rakyat Aceh, sengketa ini adalah murni masalah teritorial, bukan semata-mata perebutan sumber daya alam seperti potensi migas yang belum terbukti. “Jadi yang perlu bagi kita sekarang itu bahwa pulau itu adalah teritori Aceh. Masalah ada gas minyak itu perkara lain,” kata Teungku Malik. Ia mengakui belum ada bukti potensi migas, namun tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan ditemukan.
Jusuf Kalla sendiri memberikan peringatan penting kepada pemerintah agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Ia menekankan perlunya membaca dan memahami secara cermat undang-undang atau aturan terdahulu, termasuk UU Aceh dan MoU Helsinki, sebelum mengambil keputusan terkait wilayah. “Umpamanya UU Aceh, MoU Helsinki. Karena di situ jelas apabila ingin mengambil, pemerintah ingin membuat keputusan atau apa tentang yang berhubungan dengan Aceh, harus dengan sepengetahuan dan konsultasi dan persetujuan daripada pemerintah Aceh. Nah ini tidak dilakukan,” katanya, menekankan pentingnya pembelajaran dari kasus ini.
Apresiasi dari Komite Peralihan Aceh (KPA)
Ketua Mualimin Aceh yang juga Komite Peralihan Aceh Pusat, Tgk. Darwis Jeunib, turut menyampaikan apresiasi tinggi kepada Presiden Prabowo Subianto atas keputusan menetapkan kembali empat pulau sengketa sebagai bagian dari wilayah administrasi Aceh. Hal itu disampaikannya dalam konferensi pers di Kantor Partai Aceh, Banda Aceh. “Terima kasih banyak kepada Bapak Presiden. Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden karena telah memutuskan bahwa pulau itu memang milik Aceh,” kata Tgk. Darwis. Ia berharap keputusan ini menjadi pemahaman mendalam pemerintah terhadap Aceh dan perjanjian damai yang telah disepakati, serta menjadi dorongan untuk menyelesaikan poin-poin perjanjian damai lainnya yang belum tuntas demi kepentingan bersama.