Dampak Ganda Kecerdasan Buatan di Pendidikan Tinggi: Antara Peluang dan Kekhawatiran Karier
Kecerdasan Buatan (AI) telah merevolusi berbagai sektor, dan dunia pendidikan tinggi tak luput dari gelombang transformasinya. Kemampuan AI untuk menghasilkan informasi mendalam hanya dengan satu sentuhan telah mengubah drastis cara belajar di kampus. Namun, pertanyaan krusial yang mengemuka adalah: apakah perubahan ini benar-benar membawa pendidikan ke arah yang lebih baik?
Survei terbaru terhadap ribuan mahasiswa global mengungkap dualitas penggunaan AI: mereka memanfaatkannya untuk studi, namun di sisi lain, muncul kekhawatiran mendalam akan dampaknya terhadap prospek karier di masa depan. Seorang mahasiswa, yang diwawancarai BBC, bahkan mengungkapkan bahwa AI telah “mentransformasi” proses belajarnya, menjadikannya “lebih percaya diri” dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Namun, para pakar menekankan bahwa dampak AI tidaklah sesederhana itu, melainkan memiliki “dampak positif dan negatif” yang saling beriringan dalam konteks studi pendidikan tinggi.
Sunjaya Phillips, mahasiswa manajemen komunikasi pemasaran berusia 22 tahun di Oxford Brookes University, Inggris, menjadi salah satu contoh nyata adaptasi terhadap teknologi ini. Dengan izin dosennya, Phillips aktif menggunakan AI untuk menghasilkan ide dan menyusun kerangka esai selama perkuliahan. Phillips, yang kini sedang menjalani praktik lapangan, mengakui bahwa teknologi ini memberinya “kepastian” dan membantunya “menjadi lebih percaya diri” dengan hasil kerjanya.
“AI mulai sangat populer saat tahun kedua saya — terutama sebagai teman belajar atau membantu mengintegrasikannya ke dalam tugas-tugas kuliah saya,” jelasnya. Menurut Phillips, di kampus Brookes, diskusi mengenai pemanfaatan AI — baik untuk membantu tugas, penyusunan, maupun pencarian ide kreatif — sangat terbuka. “Terkadang saat mencoba memikirkan ide-ide kreatif, saya bisa terjebak sepanjang hari. Tapi kemudian ketika saya menggunakan AI dengan *prompt* untuk menghasilkan ide, itu bisa dilakukan dalam 30 menit,” imbuhnya. Ia menegaskan, “Ini mengubah pengalaman akademik saya.”
Ironisnya, di sisi lain spektrum, beberapa mahasiswa lain juga berbagi pengalaman kepada BBC tentang penggunaan AI untuk menyontek, dengan salah satunya menyatakan “sangat menyesal” telah melakukannya. Realitas ini menunjukkan sisi lain dari koin inovasi AI dalam lingkungan akademik.
Dr. Charlie Simpson, seorang ahli yang banyak menulis tentang AI dalam dunia pendidikan, menegaskan bahwa “semakin sulit menemukan aspek pendidikan tinggi yang tidak tersentuh AI, baik secara langsung maupun tak langsung.” Sebagai dosen senior ilmu olahraga dan sains di Oxford Brookes, Dr. Simpson menjelaskan, “Ketika digunakan secara bertanggung jawab, alat AI memungkinkan mahasiswa mengalihkan konsentrasi mereka ke pokok pelajaran yang lebih penting dan meningkatkan pengembangan diri mereka.” Namun, ia memperingatkan, “Jika AI tidak digunakan secara bertanggung jawab dalam masa perkuliahan, dan mahasiswa menyerahkan proses berpikir serta pengembangan diri mereka pada teknologi hanya untuk lulus, maka itu tidak ada gunanya.”
Sebuah studi terkini dari Yugo, perusahaan akomodasi mahasiswa, mengungkapkan bahwa 44% mahasiswa di Inggris antusias terhadap AI, dengan jumlah yang kurang lebih sama juga telah menggunakannya dalam studi mereka. Profesor Keiichi Nakata dari Henley Business School turut berpandangan bahwa “seperti halnya teknologi baru lainnya,” AI membawa “dampak positif dan negatif” pada dunia pendidikan. Sebagai direktur AI di The World of Work Institute yang merupakan bagian dari University of Reading, Prof. Nakata berperan dalam membantu organisasi memahami teknologi ini. Ia menjelaskan, “Ini positif karena sekarang mahasiswa punya perangkat tambahan untuk dipakai. Yang penting dipakai secara tepat dan bertanggung jawab.” Namun, ia melanjutkan, “Tapi, jika cuma dipakai untuk curang atau mengerjakan tugas, maka itu tidak membantu mahasiswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang diperlukan selama masa perkuliahan mereka.”
Dr. Simpson optimistis bahwa jika kampus-kampus “menerima dan beradaptasi” dengan AI secara efektif, kemampuan lulusan masa depan dapat “jauh melampaui kemampuan generasi sebelumnya.” Ia menambahkan, “Gelar di masa depan akan sama sulitnya untuk diperoleh seperti sekarang, tetapi kemampuan lulusan akan meningkat, jadi standar gelar juga harus meningkat.”
Meskipun ada antusiasme terhadap penggunaan AI, kekhawatiran akan dampaknya terhadap karier tetap membayangi para mahasiswa. Penelitian Yugo, yang mencakup 7.274 mahasiswa dari Eropa, AS, dan Australia, menemukan bahwa 78% mahasiswa di Inggris cemas kehilangan pekerjaan karena AI. Sebuah studi terpisah oleh Henley Business School juga menunjukkan bahwa pekerja Inggris merasa optimistis namun sekaligus terbebani oleh teknologi ini.
Berbeda dengan mayoritas, Phillips mengaku tidak cemas kehilangan pekerjaan karena AI. Ia melihat teknologi tersebut sebagai “sistem pendukung” yang esensial. Phillips berpendapat bahwa masyarakat perlu “mengubah perspektif mereka terhadap AI dan cara menggunakannya untuk kepentingan kita sendiri, dan tidak melihatnya sebagai sesuatu yang akan menggantikan kita.” Sejalan dengan pandangan ini, Prof. Nakata meyakini bahwa “keterampilan untuk memanfaatkan AI secara efektif” akan segera “dipertimbangkan oleh para pemberi kerja, layaknya keterampilan IT modern.” Ia menegaskan, “Tentu saja, hal ini akan bervariasi dari satu industri ke industri lain dan dari satu peran pekerjaan ke peran lainnya, tetapi kemampuan untuk menggunakan perangkat AI dengan tepat dan bertanggung jawab agar produktif di tempat kerja akan berdampak positif pada prospek karier [mahasiswa saat ini].”