## Krisis Global: Mengapa Semakin Banyak Orang Memiliki Lebih Sedikit Anak dari yang Diinginkan?
Laporan terbaru *State of the World Population* dari UNFPA, badan PBB untuk isu kependudukan dan kesehatan reproduksi, mengungkap fenomena global yang mengkhawatirkan: semakin banyak orang di seluruh dunia memiliki lebih sedikit anak daripada yang mereka inginkan. Keterbatasan finansial menjadi hambatan utama, sebuah realita yang dialami jutaan orang, termasuk Dian Dewi Purnamasari, seorang wartawan Jakarta.
Dian, ibu satu anak berusia enam tahun, dulunya bermimpi memiliki dua atau tiga anak. Namun, biaya hidup yang tinggi di Jakarta, ditambah perencanaan biaya kuliah anaknya, membuatnya merubah rencana. “Secara finansial sudah *ngepas*. Kami hidup dari gaji ke gaji, untuk menabung saja susah,” ujarnya, menggambarkan kesulitan finansial yang dialami banyak keluarga di perkotaan. Kisah Dian mencerminkan tren global yang terungkap dalam survei UNFPA.
Survei yang melibatkan 14.000 responden di 14 negara – termasuk Indonesia – mengungkapkan fakta mengejutkan: satu dari lima responden mengaku belum atau tidak akan memiliki jumlah anak yang mereka idamkan. Negara-negara yang terlibat dalam survei mewakili sepertiga populasi global, mencakup negara berpenghasilan rendah, menengah, dan tinggi, dengan berbagai tingkat angka kelahiran. Responden terdiri dari laki-laki dan perempuan berusia 18 tahun ke atas, termasuk mereka yang telah melewati usia reproduksi.
Natalia Kanem, Kepala UNFPA, menyebut penurunan angka kelahiran global sebagai “krisis”. Hal senada diungkapkan Anna Rotkirch, ahli demografi yang telah meneliti angka kelahiran di Eropa. Rotkirch menekankan bahwa tren ini lebih umum daripada yang diperkirakan, bahkan mengejutkan melihat tingginya proporsi responden berusia 50 tahun ke atas (31%) yang mengaku memiliki lebih sedikit anak dari yang diinginkan. Survei UNFPA ini, yang merupakan langkah awal riset lanjutan di 50 negara tahun ini, memberikan gambaran skala global dari masalah ini.
Meskipun survei ini memiliki keterbatasan, seperti pengumpulan data daring di beberapa negara yang tidak sepenuhnya merepresentasikan data nasional, beberapa temuannya sangat jelas. Hanya 4.000 dari 14.000 responden yang menyatakan tidak ingin memiliki anak sama sekali (*childfree*). Bagi mereka yang ingin memiliki anak namun membatasi jumlahnya, keterbatasan finansial (39%) menjadi alasan terkuat, dengan Korea Selatan mencatatkan proporsi tertinggi (58%) dan Swedia terendah (19%). Kurangnya keamanan kerja atau pengangguran (21%) menjadi alasan kedua terbanyak. Faktor kesehatan atau fertilitas hanya menjadi alasan bagi 12% responden.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Survei UNFPA yang dilakukan bersama YouGov mengungkap detail lebih lanjut. Di Indonesia, keterbatasan finansial (termasuk keterbatasan hunian dan akses perawatan anak) menjadi alasan utama (hampir 57%). Kesehatan (masalah kesuburan, akses perawatan medis, dan kondisi kesehatan umum) juga menjadi faktor yang signifikan (sekitar 25%). Perubahan keinginan (19%), kekhawatiran akan masa depan (termasuk politik, sosial, dan lingkungan) (23%), serta faktor lainnya seperti kurangnya dukungan pasangan dan saran medis, juga berkontribusi. Sebagian kecil responden juga menunjuk takdir sebagai alasan.
Ironisnya, alasan utama untuk memiliki anak di seluruh negara, termasuk Indonesia, tetaplah kebahagiaan dan kepuasan dalam membesarkan anak. Di Indonesia, Nigeria, dan beberapa negara lainnya, faktor budaya dan agama juga berperan penting dalam keinginan memiliki anak, untuk keberlangsungan keluarga dan dukungan di masa tua.
Stuart Gietel-Basten, ahli demografi dari Hong Kong University of Science and Technology, menyoroti pergeseran fokus UNFPA. Dulu, fokus utama adalah pada perempuan yang memiliki lebih banyak anak daripada yang diinginkan. Kini, penurunan angka kelahiran di negara berkembang juga menjadi perhatian utama. UNFPA menyerukan kehati-hatian dalam menanggapi isu ini, menghindari respons panik yang dapat memicu kebijakan yang memaksa dan kontraproduktif. Gietel-Basten juga mengingatkan agar respons terhadap penurunan angka kelahiran tidak menimbulkan kebijakan yang nasionalis, anti-migran, dan diskriminatif gender.
Kembali ke Dian, kurangnya waktu menjadi faktor lain yang signifikan. Kemacetan dan tuntutan pekerjaan membuat dia merasa kewalahan. “Kalau ada anak satu lagi, sepertinya enggak akan bisa fokus ke anak yang sudah ada,” katanya. Kisah Dian, sekaligus temuan survei UNFPA, menunjukkan bahwa penurunan angka kelahiran global bukanlah sekadar angka statistik, melainkan cerminan kompleksitas tantangan sosial ekonomi yang dihadapi banyak orang di seluruh dunia.