KLATEN, RAGAMHARIAN.COM – Transmisi Otomatis (AT) konvensional masih menjadi pilihan umum pada banyak mobil baru. Namun, anggapan bahwa AT konvensional lebih lambat dan kurang efisien dibandingkan Dual Clutch Transmission (DCT) cukup populer, terutama karena DCT sering dijumpai pada mobil berorientasi performa. Lalu, apakah anggapan tersebut sepenuhnya benar?
Imun, pemilik bengkel spesialis Ford Trucuk Klaten, menjelaskan bahwa karakteristik transmisi mobil sangat bergantung pada model dan tujuan penggunaannya. Mobil MPV, SUV, atau kendaraan off-road, misalnya, biasanya dibekali transmisi yang lebih tangguh, namun jenis transmisinya tidak selalu menentukan performanya. Ia mencontohkan mobil SUV off-road seperti Ford Ranger dan Everest yang menggunakan AT konvensional namun tetap responsif.
Hal ini, menurut Imun, karena performa transmisi tidak hanya ditentukan oleh komponen mekanikal seperti gir dan kampas kopling, tetapi juga oleh perangkat lunak (software) yang mengendalikannya. Dengan kata lain, AT konvensional dapat diprogram agar responsif dan mendukung performa kendaraan.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan model mobil yang sama, AT konvensional memang cenderung kurang responsif dibandingkan DCT. Perbedaan ini terlihat jelas pada perbandingan Ford Fiesta 1.4 AT dan 1.6 DCT. Selain perbedaan transmisi, mesin Fiesta 1.6 DCT juga lebih bertenaga, sehingga menghasilkan daya yang berbeda.
Dari sisi konstruksi, AT konvensional menggunakan kopling fluida, sementara DCT menggunakan kopling kering. Kopling kering pada DCT lebih efisien dalam menyalurkan tenaga mesin, karena pada kopling fluida, ada sebagian daya putar yang terbuang saat kopling bekerja. Hal inilah yang bisa menyebabkan AT konvensional terasa lebih lambat dibandingkan DCT.
Kesimpulannya, meskipun AT konvensional seringkali dianggap lebih lambat dari DCT, hal tersebut tidak selalu benar. Responsivitas dan performa sebuah mobil merupakan hasil interaksi berbagai sistem, termasuk mesin, teknologi transmisi, dan karakteristik desain mobil itu sendiri.