‘Banyak pasien datang untuk sembuh, tapi justru meninggal dunia’ – Dugaan malpraktik dan lambatnya pelayanan rumah sakit di Papua

Avatar photo

- Penulis Berita

Kamis, 17 Juli 2025 - 12:08 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dugaan malpraktik dan lambatnya layanan medis di dua rumah sakit di Papua yang mengakibatkan pasien meninggal dunia menunjukkan lemahnya tata kelola pelayanan kesehatan di tengah minimnya tenaga medis, lemahnya manajemen dan ketimpangan dalam pelayanan pasien, menurut pengamat kebijakan publik Papua.

Seorang ibu dan bayinya yang masih dalam kandungan meninggal dunia tak lama setelah sang ibu dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yowari, Kabupaten Jayapura, Papua, awal Juni silam.

Beberapa pekan sebelumnya, Adriana Wayoi, meninggal dunia usai menjalani dua operasi usus dalam waktu berdekatan di RSUD Serui. Keluarga menduga kuat adanya malpraktik serta minimnya transparansi dan evaluasi medis.

Dua peristiwa ini menimbulkan polemik terkait dugaan keterlambatan penanganan medis dan ketiadaan dokter spesialis yang siaga di rumah sakit tersebut.

Pengamat kebijakan publik Papua, Methodius Kossay, menyebut kasus kematian pasien di RSUD Yowari dan RSUD Serui menunjukkan lemahnya tata kelola layanan kesehatan di Papua.

Ia menyoroti tiga akar masalah utama: kekurangan tenaga medis, lemahnya manajemen rumah sakit, serta ketimpangan dalam pelayanan kepada pasien BPJS.

“Pelayanan kesehatan kita tidak baik-baik saja. Banyak pasien datang untuk sembuh, tapi justru meninggal dunia,” ujarnya

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Papua, dr. Donald Willem Aronggear, bilang bahwa tantangan terbesar pelayanan kesehatan di Papua bukan semata pada minimnya fasilitas, tapi juga upaya menciptakan rasa aman dan nyaman bagi para dokter yang bertugas di wilayah terpencil.

‘Mereka tidak temukan detak jantung bayinya’

Pada 3 Juni silam, Apolonia Nia Mimin yang tengah hamil tujuh bulan menjalani perawatan intensif di RSUD Yowari setelah didiagnosis menderita malaria plus empat atau malaria tropika—jenis malaria yang dapat menyebabkan gejala yang parah dan berpotensi fatal.

Suami Apolonia, Bernard, mengatakan sejak sepekan sebelumnya, istrinya jatuh sakit. Mereka akhirnya memutuskan langsung menuju rumah sakit alih-alih ke puskesmas karena Apolonia merupakan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS.

“Kami punya BPJS, jadi kami putuskan berobatnya di Rumah Sakit Yowari,” ujar Bernard kepada wartawan Muhammad Ikbal Asra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pagi itu, Bernard dan istrinya berangkat dari rumah sekitar pukul 07.00 WIT. Sesampainya di rumah sakit, kondisi sang istri masih terlihat stabil meskipun terus mengeluh sakit.

Namun sesampainya di rumah sakit, menurut Bernard, istrinya tidak langsung mendapatkan penanganan medis. Mereka terpaksa menunggu selama tiga jam di depan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Padahal, menurutnya, saat itu ruang IGD tidak dalam kondisi penuh.

“Di dalam pasien tidak banyak, tapi kami disuruh tunggu di luar pintu sampai jam 10. Baru kami diarahkan masuk ke dalam,” lanjutnya.

Setelah akhirnya masuk, Bernard mengatakan istrinya dibawa ke ruang bersalin. Di sana, mereka kembali diminta menunggu.

Saat itulah salah satu tenaga medis menyampaikan bahwa kondisi malaria yang diderita Apolonia tergolong berat. Karena ia sedang hamil, kondisi janin juga turut dipantau.

“Tim medis bilang, karena sakit malarianya berat dan posisinya juga ada janin, jadi harus diperiksa sekalian,” ujar Bernard.

Setibanya di ruang bersalin, Apolonia sempat diperiksa oleh tenaga medis. Bernard mengatakan, saat itu kondisi istrinya mulai melemah. Ia tidak lagi mau makan atau minum, padahal sebelumnya masih bisa makan dengan normal di rumah.

“Waktu itu saya sempat suapi bubur dan kasih minum, tapi dia tidak mau makan. Itu jadi tanda-tanda awal dia mulai lemah,” ujar Bernard.

Selama beberapa jam di ruangan itu, lanjut Bernard, istrinya tidak mendapat penanganan medis seperti infus atau obat-obatan.

“Dari pagi sampai lewat tengah hari, tidak pasang cairan [infus]. Hanya sempat ambil darah dan periksa ke lab, tapi hasilnya tidak jelas. Tidak ketahuan sakitnya apa,” katanya.

Tim medis juga melakukan pemeriksaan terhadap janin. Namun hasilnya membuat Bernard terkejut.

“Mereka bilang tidak temukan detak jantung bayinya.”

Bernard menambahkan detak jantung janin berusia tujuh bulan di kandungan istrinya sempat diperiksa sebanyak empat kali. Namun hasilnya tetap nihil.

“Akhirnya mereka bilang, bayinya sudah meninggal di dalam kandungan,” kenangnya.

Siang itu, Apolonia kemudian diarahkan ke ruang bedah. Mereka bermalam di sana, namun kondisi sang istri semakin melemah.

“Malamnya sempat periksa tensi dan darah, katanya masih normal, cuma belum sadar karena malaria.”

“Kami juga sempat sampaikan ke dokter, bisa operasi tidak? Karena bayinya di dalam bisa pengaruhi ibunya juga,” katanya.

Namun menurut penjelasan tim medis saat itu, operasi tidak bisa dilakukan selama pasien belum sadar penuh karena “bisa berdampak ke keselamatan”.

Sekitar pukul 23.38 malam waktu setempat, janin dalam kandungan Apolonia akhirnya keluar.

“Anaknya keluar sendiri, tapi sudah meninggal. Waktu itu kami juga harus beli beberapa alat sendiri, padahal kami punya BPJS,” katanya.

Bernard menambahkan bayi tersebut hanya dibungkus kain dan diletakkan di samping tubuh sang ibu.

“Tidak ada ruang khusus. Dibungkus pakai kain biasa, dan taruh di samping mamanya. Paginya kami kuburkan sendiri,” kenangnya.

Keesokan harinya, dokter datang dan memeriksa hasil laboratorium.

Menurut dokter, kata Bernard, malaria masih jadi kendala. Oleh karena itu, tim medis masih menunggu kesadaran pasien untuk bisa mengambil tindakan lebih lanjut.

Namun kondisi Apolonia terus memburuk. Bernard kemudian membawa sampel darah ke apotek Talenta di luar rumah sakit untuk pemeriksaan tambahan, dan kembali dengan hasil yang kemudian mendorong tim medis merujuk Apolonia ke ruang ICU.

“Saya tanda tangan sendiri supaya istri saya bisa dirawat di ICU. Setelah hasil keluar, saya langsung bawa dia naik ke atas,” katanya.

Hanya lima menit setelah berada di ruang ICU, Bernard dipanggil masuk oleh dokter.

“Di sana dokter bilang, seharusnya pasien ini dari awal langsung diarahkan ke ICU, bukan bermalam di ruang bedah karena kondisinya sudah berat,” ungkap Bernard.

Bernard mengaku dokter yang sempat menangani istrinya di ICU menyesalkan keterlambatan penanganan.

“Dia bilang, kalau dari awal dibawa ke ICU, mungkin penanganan bisa lebih cepat. Tapi karena semalam dia bermalam di ruang bedah, kesehatannya makin menurun, makin kritis,” kata Bernard.

Tak lama setelah itu, Bernard mendapat kabar bahwa nyawa istrinya tak tertolong.

“Saya keluar, telepon keluarga dan jemaat di kampung untuk sampaikan kondisi terakhir. Tapi baru dua menit, saya dipanggil masuk lagi dan mereka bilang… sudah tidak ada harapan. Istri saya sudah meninggal,” ujar Bernard dengan suara tertahan.

Apolonia Nia Mimin meninggal dunia pada Selasa, 4 Juni pukul 13.30 WIT.

Ketika dimintai tanggapan terkait kematian Apolonia dan bayinya, Direktur RSUD Yowari, drg. Maryen Braweri, mengaku belum menerima laporan resmi dari unit layanan terkait.

Dia kemudian menegaskan bahwa setiap kasus harus ditelaah secara menyeluruh melalui mekanisme internal rumah sakit, sebelum mengambil langkah lebih lanjut atau memberi klarifikasi resmi kepada publik dan keluarga pasien.

“Saya tidak berani memberi komentar karena belum ada laporan resmi yang saya terima. Kami harus mendapat penjelasan dari unit layanan, baru bisa memberikan informasi yang benar, ” ujar Maryen saat ditemui BBC News Indonesia di ruang kerjanya pada Rabu, 9 Juli 2025.

Dugaan malpraktik di RSUD Serui

Beberapa waktu sebelum kematian Apolonia dan janinnya, perempuan bernama Adriana Wayoi, 30 tahun, meninggal dunia usai menjalani dua kali operasi usus dalam waktu berdekatan di RSUD Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua.

Adriana awalnya dilarikan ke IGD RSUD Serui pada 26 Mei 2025 karena keluhan sakit perut. Ia sempat didiagnosis mengalami malaria dan gangguan lambung. Dua hari kemudian dilakukan pemeriksaan lanjutan dan diketahui ada penyumbatan pada usus.

“Dokter bilang harus operasi usus buntu. Kami kira operasinya kecil, ternyata dibedah besar dari atas perut sampai ke bawah pusar,” kata kakak Adriana, Kone Wayoi.

Operasi pertama dilakukan pada 30 Mei. Namun, sehari setelahnya, keluarga curiga terjadi komplikasi karena Adriana mengalami sesak napas, dan saluran pencernaan mengeluarkan feses yang bercampur darah—menandakan kebocoran pada usus.

Operasi kedua terhadap Adriana kemudian dilakukan dua hari kemudian, pada 2 Juni.

“Setelah operasi kedua, adik kami muntah terus, demam tinggi, tidak bisa tidur. Bukannya membaik, malah makin parah,” ujar Kone.

Pada 4 Juni, keluarga sempat mengira Adriana mulai membaik karena terlihat tertidur untuk pertama kalinya setelah dua hari.

Namun tak lama kemudian, tubuhnya membiru. Ia dinyatakan meninggal dunia pukul 18.00 WIT.

Sejak awal, keluarga mengaku tidak pernah menerima penjelasan medis yang rinci.

Mereka bahkan tidak diberi akses terhadap hasil laboratorium dan rekam medis, dengan alasan itu hanya untuk keperluan internal rumah sakit.

“Kami merasa ini tindakan coba-coba. Bahkan setelah operasi pertama, dokter bilang ususnya sudah pecah. Tapi sebelum operasi, adik kami masih bisa jalan sendiri. Kapan pecahnya? Sebelum atau saat operasi?” tanya Kone.

Kone kemudian mengatakan bahwa tidak ada satu pun pertemuan resmi antara pihak medis dan keluarga untuk menjelaskan secara utuh kondisi pasien, pilihan tindakan medis, atau hasil evaluasi pasca operasi.

Sama seperti di RSUD Yowari, mekanisme audit medis dan evaluasi mutu pelayanan nyaris tak terlihat.

“Kami juga sempat minta agar operasi kedua didampingi dokter senior. Tapi tidak digubris. Setelah operasi, mereka bilang infeksinya sudah menyebar. Kenapa itu tidak dikasih tahu dari awal?” ujar Kone sambil menahan emosi.

Kone dan keluarganya berencana menempuh jalur hukum dan melapor ke berbagai lembaga seperti DPRD Kabupaten, Dinas Kesehatan, dan Ombudsman Republik Indonesia.

“Adik kami masuk rumah sakit masih bisa jalan. Tapi keluar dalam keadaan meninggal. Itu sangat menyakitkan,” kata Kone.

“Kami bersuara bukan karena dendam, tapi agar tidak ada korban berikutnya. Banyak masyarakat takut bicara, padahal mereka juga alami hal serupa.”

Puncak kekecewaan keluarga terjadi pada Senin, 16 Juni silam, ketika mereka menggelar aksi demonstrasi di halaman RSUD Serui.

Mereka menuntut penjelasan langsung dari manajemen rumah sakit dan meminta dokter yang menangani Adriana dipindahkan dari Kabupaten Kepulauan Yapen.

Direktur RSUD Serui, Erensd Ampasoi, membantah melakukan kesalahan prosedur.

BBC News Indonesia menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua untuk meminta tanggapan terkait peristiwa ini, namun hingga artikel ini diterbitkan belum ada tanggapan.

Pengamat kebijakan publik Papua, Methodius Kossay, mendorong keluarga korban untuk melapor ke Ombudsman atau aparat penegak hukum jika menemukan indikasi kelalaian yang menyebabkan kematian.

“Kalau ada tindakan medis yang tidak sesuai prosedur, itu harus diproses hukum karena menyangkut nyawa manusia,” katanya.

Ia juga mengingatkan pentingnya penegakan etika profesi tenaga kesehatan. Dokter dan perawat, menurutnya, wajib bekerja secara profesional dan menjunjung kode etik.

‘Pelayanan kesehatan di Papua tidak baik-baik saja’

Lebih jauh, Methodius Kossay, menyebut kasus kematian pasien di RSUD Yowari dan RSUD Serui menunjukkan lemahnya tata kelola pelayanan kesehatan di Papua.

“Pelayanan kesehatan kita tidak baik-baik saja. Banyak pasien datang untuk sembuh, tapi justru meninggal dunia,” ujarnya.

Ia menyoroti tiga akar masalah utama: kekurangan tenaga medis, lemahnya manajemen rumah sakit, serta ketimpangan dalam pelayanan kepada pasien BPJS.

Menurutnya, Papua saat ini mengalami kekurangan tenaga medis, terutama dokter spesialis. Ini membuat penanganan pasien menjadi lambat dan sering kali tidak sesuai standar.

Ia menyebut kasus di RSUD Serui sebagai contoh konkret ketika pasien tidak tertolong karena keterbatasan tenaga medis dan lemahnya respons cepat.

Kossay menyoroti ketimpangan layanan terhadap pasien BPJS kelas 3, yang mayoritas berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Ia menyebut, banyak pasien BPJS yang mendapat pelayanan lebih lambat dibandingkan pasien non-BPJS.

“Ini harus dihentikan. Semua pasien berhak mendapatkan pelayanan setara, tanpa diskriminasi,” tegasnya.

Pengamat kebijakan publik sekaligus ketua Komisi Yudisial Perwakilan Papua ini menilai pemerintah belum menjadikan kesehatan sebagai prioritas utama dalam pembangunan manusia Papua.

“Kalau ingin masyarakat sehat, maka rumah sakit harus baik. Harus ada komitmen pemerintah untuk menempatkan tenaga medis yang cukup dan profesional,” tegasnya.

Direktur RSUD Yowari, drg. Maryen Braweri, mengakui keluhan masyarakat terkait pelayanan rumah sakit daerah ini tidak lepas dari berbagai kendala struktural dan sistemik yang mereka hadapi.

Salah satu persoalan utama adalah keterbatasan sarana prasarana dan ruang rawat inap.

Meski RSUD Yowari mendapatkan dukungan dari Kementerian Kesehatan—khususnya program prioritas nasional seperti Kerja Jantung, Urologi, Saraf (KJSU)—peralatan kesehatan dasar di rumah sakit tersebut masih minim.

“Kementerian sangat mendukung untuk alat-alat KJSU, seperti CT Scan dan Cath Lab, tapi untuk alat dasar lainnya, itu lebih menjadi urusan Pemda,” jelasnya.

Keterbatasan anggaran pemeliharaan gedung, kata Maryen, juga menjadi tantangan besar. Banyak bagian rumah sakit terlihat kumuh dan belum direnovasi sejak lama.

“Pasien datang dan langsung lihat kondisi gedung yang tua. Kita belum bisa menciptakan rumah sakit yang bersih dan nyaman karena efisiensi anggaran kita lebih fokus ke obat, makanan pasien, dan oksigen,” ungkapnya.

Masalah lain yang sering memicu keluhan adalah ruangan yang penuh.

Maryen mengaku RSUD Yowari hanya memiliki 132 tempat tidur, sementara tingkat keterisian tempat tidur (BOR) sudah mencapai 90 persen, jauh di atas standar ideal 60-80 persen.

Akibatnya, pasien kerap diminta pulang dari IGD meskipun masih merasa belum pulih sepenuhnya.

“Kadang pasien belum merasa fit, tapi dokter sudah minta pulang karena ruangan penuh. Padahal, dari sisi medis sudah stabil dan cukup rawat jalan,” jelas Maryen.

Ia juga menyinggung keterbatasan sumber daya manusia, khususnya dokter spesialis, yang masih dalam proses pendidikan lanjutan. Bahkan, beberapa subspesialis seperti jantung dan onkologi belum memiliki ruang praktik memadai.

Selain itu, RSUD Yowari masih belum memiliki rencana induk atau masterplan yang menjadi acuan untuk pengembangan jangka panjang rumah sakit. Dokumen lama sejak 2006 sudah tidak lagi relevan dan tidak tersedia dalam bentuk resmi.

“Kalau tidak ada masterplan, kita tidak bisa usulkan pengembangan dengan data yang lengkap ke Kementerian. Itu jadi PR besar saya tahun ini,” tegasnya.

Dengan lokasi yang strategis di Kabupaten Jayapura, dekat bandara, RSUD Yowari semestinya mampu menjadi pusat rujukan utama wilayah Papua Pegunungan dan sekitarnya. Namun, realisasi itu masih jauh jika masalah-masalah dasar belum diatasi.

Dia bilang, evaluasi sebenarnya menjadi tanggung jawab Komite Mutu dan Komite Medik, namun keduanya sempat tidak aktif dalam beberapa waktu terakhir.

Komite Mutu RSUD Yowari bertugas mengawasi dan mengevaluasi mutu pelayanan medis maupun nonmedis.

Namun menurut Maryen sejak 2024, kegiatan komite ini tidak berjalan secara rutin. Bahkan, Komite Medik sempat tidak aktif sejak Oktober 2024 setelah ketuanya mengundurkan diri.

Baru pada awal Juli 2025, kepengurusan baru dibentuk untuk menghidupkan kembali fungsi evaluasi.

Maryen Braweri menegaskan bahwa dalam waktu dekat, Komite Mutu dan Komite Medik akan menyusun program kerja yang lebih sistematis dan fokus. Evaluasi akan dilakukan secara berkala terhadap unit-unit tertentu, seperti rawat jalan, rawat inap, IGD dan pelayanan loket.

Setiap unit akan ditinjau apakah layanannya sudah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) dan standar pelayanan minimal (SPM) rumah sakit.

“Rencana ke depan, komite akan mulai menyusun program kerja yang jelas: kapan mengevaluasi IGD, rawat jalan, atau ruangan tertentu.”

Rasa aman dan nyaman bagi dokter di Papua

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Papua, dr. Donald Willem Aronggear, bilang tantangan terbesar pelayanan kesehatan di Papua tak hanya pada minimnya fasilitas kesehatan, tapi juga upaya menciptakan rasa aman dan nyaman bagi para dokter yang bertugas di wilayah terpencil.

Menurut dr. Donald, banyak dokter enggan bertugas di Papua karena merasa kondisi kerja kurang mendukung.

Padahal, kenyamanan dan keamanan bekerja sangat berpengaruh pada kinerja tenaga medis.

“Kalau mereka merasa nyaman, mereka akan bekerja dengan lebih baik. Kenyamanan itu bisa dalam bentuk insentif layak, jaminan pendidikan anak, dan kehidupan sosial yang stabil,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya keberadaan sistem kerja tim yang solid di rumah sakit-rumah sakit daerah. Jumlah dokter yang terbatas membuat pelayanan rentan terganggu jika satu orang berhalangan.

“Kita harus memastikan ada cukup dokter agar pelayanan tidak lumpuh hanya karena satu dokter sakit atau cuti,” katanya.

Selain itu, dr. Donald menilai bahwa tantangan koordinasi antartenaga kesehatan masih menjadi hambatan.

Menurutnya, program-program nasional seperti penurunan stunting dan pemberantasan penyakit menular hanya bisa berhasil jika dokter, perawat, bidan, dan tenaga gizi bekerja sebagai satu tim.

Hal lain yang tak kalah penting, katanya, adalah memperkuat pendidikan kedokteran di Papua, termasuk untuk spesialis.

“Saat ini, untuk jadi spesialis, dokter masih harus sekolah ke Jawa dulu. Ke depan, harus ada lembaga pendidikan spesialis di Papua agar regenerasi tenaga medis tidak tersendat,” tuturnya.

Jika semua persoalan ini tidak ditangani secara sistemik, pelayanan kesehatan di Papua akan terus menghadapi masalah berulang.

“Yang kita perlukan adalah sistem yang kuat, bukan solusi tambal sulam.”

  • Mengapa gizi buruk masih menghantui Asmat? – Cerita dari kampung terpencil di pedalaman Papua Selatan
  • Layanan poliklinik di tiga RS Papua stop beroperasi buntut protes nakes
  • Rumah sakit di wilayah Papua ‘nyaris lumpuh’ dan beberapa pasien meninggal dunia akibat kelangkaan obat hingga bahan medis

Baca juga:

  • Cerita bidan Mama Sina berjibaku sendirian melayani kesehatan di pedalaman Asmat Papua – ‘Kami butuh puskesmas di kampung ini’
  • Puluhan warga Yahukimo dilaporkan meninggal karena kelaparan, mengapa bencana ini terus berulang di Papua?
  • Krisis kesehatan di Asmat: ‘Saya minum air langsung dari sungai’

Baca juga:

  • Gizi buruk dan campak, puluhan tewas di Papua: pemerintah lambat?
  • Nakes di Papua minta jaminan keamanan setelah serangan Puskesmas oleh KKB
  • ‘Dokter bilang saya kena kanker mulut, saya langsung takut’ – Tradisi mengunyah pinang di Papua, dilema antara budaya dan risiko kesehatan
  • Cerita bidan Mama Sina berjibaku sendirian melayani kesehatan di pedalaman Asmat Papua – ‘Kami butuh puskesmas di kampung ini’
  • Mengapa gizi buruk masih menghantui Asmat? – Cerita dari kampung terpencil di pedalaman Papua Selatan
  • Rumah sakit di wilayah Papua ‘nyaris lumpuh’ dan beberapa pasien meninggal dunia akibat kelangkaan obat hingga bahan medis

Berita Terkait

Kematian Diplomat Arya Daru: Kapolri Janji Usut Tuntas, Cermat!
Diplomat Tewas: Misteri Seminggu, Kapolri Ungkap Kendala Penyelidikan!
Evakuasi Kilat Pendaki Swiss di Rinjani: Kisah di Baliknya
Kapolri: Polda Metro Jaya Segera Mengungkap Penyebab Kematian Diplomat Kemlu
1 WNI Tewas akibat Gedung Ambruk di Jepang
Kompolnas Monitoring Penanganan Kasus Diplomat Kemenlu: Informasi Awal Sudah Didapat
Gempa Bumi M 5,3 Goyang Kabupaten Poso, 38 Unit Rumah Rusak Ringan
11 Penumpang Speed Boat Mentawai Selamat Setelah Kapal Terbalik

Berita Terkait

Kamis, 17 Juli 2025 - 16:48 WIB

Kematian Diplomat Arya Daru: Kapolri Janji Usut Tuntas, Cermat!

Kamis, 17 Juli 2025 - 14:43 WIB

Diplomat Tewas: Misteri Seminggu, Kapolri Ungkap Kendala Penyelidikan!

Kamis, 17 Juli 2025 - 14:07 WIB

Evakuasi Kilat Pendaki Swiss di Rinjani: Kisah di Baliknya

Kamis, 17 Juli 2025 - 12:08 WIB

‘Banyak pasien datang untuk sembuh, tapi justru meninggal dunia’ – Dugaan malpraktik dan lambatnya pelayanan rumah sakit di Papua

Kamis, 17 Juli 2025 - 11:40 WIB

Kapolri: Polda Metro Jaya Segera Mengungkap Penyebab Kematian Diplomat Kemlu

Berita Terbaru

Technology

Threads Makin Mudah! Daftar via Facebook, Ini Caranya!

Kamis, 17 Jul 2025 - 21:56 WIB