‘Bertaruh pada Api’ – Warga kampung di Kota Bandung melawan penggusuran

Avatar photo

- Penulis Berita

Senin, 30 Juni 2025 - 08:17 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, yang selama ini identik dengan romantisme dan kreativitas, sekarang mengukir sejarah baru. Bandung menjadi saksi atas aksi warga Tamansari, Dago Elos, dan Sukahaji dalam menentang pembangunan yang agresif dan tak pandang bulu.

Dalam konflik lahan di Tamansari, Pemkot Bandung mengeklaim pembangunan rumah deret adalah upaya “memperbaiki lingkungan dan kualitas ekonomi.”

Mereka membantah tuduhan penggusuran sebab ruang untuk bekerja sehari-hari tetap dipertahankan.

Sementara itu, Pemkot Bandung menyatakan tak akan menggusur warga Dago Elos dan akan memperjelas status tanah.

Soal Sukahaji, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, meminta tidak ada tindakan sepihak yang dilakukan masing-masing kubu seperti pemagaran atau pembongkaran paksa.

Merespons konflik lahan di sejumlah kampung kota, Kantor BPN Kota Bandung berkomitmen untuk menyelesaikan dan memfasilitasi konflik lahan sesuai hukum yang berlaku. Mereka tidak ingin ada pihak yang merasa dirugikan.

Bagi Eva Aryani, Tamansari telah menjadi ruang hidup selama puluhan tahun. Maka ketika kabar Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung berencana menyulapnya menjadi “rumah deret” muncul dan menyeruak, ia sontak menolak.

Selama delapan tahun terakhir—sejak rencana pembangunan “rumah deret” itu pertama kali digaungkan Ridwan Kamil saat menjabat Wali Kota Bandung pada 2017—Eva terus melawan pembangunan rumah deret di kampungnya.

Perjuangan Eva melawan penggusuran kampungnya tak pernah padam. Namun, kegigihannya sering kali berhadapan dengan kenyataan pahit, bahkan menorehkan babak kelam dalam lembaran perlawanannya.

Perlawanan akar rumput itu mewujud sampai titik paling keras, menggambarkan secara paripurna apa yang pernah dikatakan Efek Rumah Kaca—bersama Morgue Vanguard—lewat penggalan lirik di balada “Bersemi Sekebun” (Rimpang, 2023).

Pada yang perlahan padam.

Ada sejenis api dari kemustahilan.

Bertahanlah sedikit lama.

Tumbuhlah liar serupa gulma.

Eva masih ingat betul bagaimana peristiwa gelap itu terjadi, tepatnya pada Desember 2019 silam.

Tamansari, kawasan kampung kota di tengah Bandung yang tersusun atas permukiman padat penduduk, tiba-tiba menjadi palagan unjuk kekuatan pemerintah dalam “menertibkan” warganya sendiri.

https://www.instagram.com/p/B59zFwdgcjC/

Eva menuturkan, kala itu, ratusan personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), ditemani aparat gabungan dari TNI dan Polri, juga gerombolan ormas, mengepung Tamansari sejak pagi.

Menurut Eva, kedatangan mereka punya satu tujuan: “membersihkan” lahan Tamansari untuk pembangunan rumah deret.

Sejatinya, Tamansari bukanlah sekadar tanah kosong yang ditumbuhi semak belukar, apalagi tumpukan sampah menyengat yang siap dibakar, atau reruntuhan bangunan tak terawat yang menunggu diratakan.

Di atas Tamansari, “ruang hidup berdiri” dengan “orang-orang yang menyandarkan harapan kepadanya,” tutur Eva yang keluarganya sudah tinggal di Tamansari secara turun temurun sejak 1960-an.

Penolakan Eva dan warga Tamansari lainnya direspons pemerintah kota Bandung dengan mengambil tindakan yang melibatkan kekerasan demi “penertiban” dan “pembersihan.”

Eva melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana aparat membongkar rumah petak yang ia bangun sejak beranjak dewasa serta membuang barang-barang pribadi hasil dari memeras keringat jerih payah.

Ketika Eva berkukuh mempertahankan apa yang menjadi miliknya, aparat berseragam membalas tak kalah keras: menyikut atau mendorong hingga terjatuh.

Beberapa video yang beredar di media sosial memperlihatkan secara gamblang perilaku represif lain dari korps keamanan dan ketertiban ini: melempari warga dengan batu serta menyeret salah satu warga untuk dihajar beramai-ramai.

Di antara segala tindakan itu, ujar Eva, tidak ada yang lebih menyakitkan kala para polisi turut menembakkan gas air mata ke arah warga Tamansari.

“Anak-anak kecil, ibu-ibu, bahkan orang tua, semuanya jadi sesak napas [akibat gas air mata]. Mereka saling berlarian, berteriak, sambil menutupi mata karena perih,” tutur Eva menceritakan peristiwa yang terjadi enam tahun lalu.

“Situasi seperti sedang perang.”

Rentetan kekerasan yang terjadi saat itu membuat Eva mempertanyakan sejauh mana hak-haknya sebagai warga negara Indonesia diakui sekaligus dilindungi?

Walaupun, di lubuk hatinya, ia sendiri sudah memegang jawabannya.

Sepanjang perjuangannya menentang proyek rumah deret di Tamansari, makna “hak” bagi Eva tak lebih dari kata tanpa arti. Ia merasa pemerintah seolah hanya menuliskannya dalam dokumen kebijakan, tanpa sungguh-sungguh mengupayakan secara ideal bagi mereka yang terpinggirkan.

Petaka yang meletus pada Desember 2019, menurut Eva, adalah puncak dari teror yang dirancang untuk menakuti dan memaksa warga Tamansari hengkang.

Kekerasan, lanjut Eva, menjadi jurus pamungkas pemerintah setelah berbagai cara culas yang lebih halus—seperti manipulasi, adu domba, hingga pembangkangan hukum—gagal membuahkan hasil yang memuaskan.

Eva menegaskan nyalinya tak surut.

Perlawanan warga Tamansari tak terbentuk dalam satu malam, melainkan buah dari ikhtiar selama bertahun-tahun. Warga mengalami jatuh dan bangun berkali-kali, serupa siklus, demi tetap bertahan dan mempertahankan kampungnya.

Warga mendiami Tamansari dalam dekade yang begitu panjang, tepatnya sejak 1960-an. Mereka lahir dan tumbuh besar di sana.

Tamansari menjadi saksi bisu setiap langkah mereka—dari suka cita, getir, hingga hal-hal tak terucap—menyerap seluruh cerita.

Karena itulah tatkala Pemkot Bandung hendak merenggut dan mengubah tanah tempat mereka menyemai eksistensi, warga pun serempak merapatkan barisan mempertahankan rumah mereka.

‘Kami bukan penghuni gelap’

Awal mula perlawanan warga Tamansari adalah ketidaktahuan.

Eva mengingat delapan tahun silam, pada 2017, ketika sedang mengantar ayahnya untuk suatu keperluan, ia melihat baliho berukuran cukup besar bertuliskan rencana pembangunan yang akan ditempuh Pemkot Bandung.

Eva mengira tidak ada yang istimewa dari keberadaan poster itu, sampai akhirnya ia menyadari rencana pembangunan Pemkot Bandung yang muncul di depan matanya menyasar Tamansari, tepatnya di area Rukun Warga (RW) 11.

“Di situ saya kaget. Saya baru mengetahui waktu itu juga kalau Tamansari akan dibangun oleh pemerintah,” cerita Eva.

Di Tamansari, Pemkot Bandung ingin mendirikan rumah deret sebagai bagian dari kebijakan jangka panjang untuk, klaim mereka, menyediakan hunian layak bagi warga, sekaligus upaya menata kawasan perkotaan.

Kebijakan ini diterapkan saat pemerintahan kota Bandung dipegang pasangan Ridwan Kamil dan Oded Muhammad Danial. Ridwan Kamil hanya bertahan setidaknya satu tahun menjabat, sebelum terpilih menjadi Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023.

Proyek rumah deret tak pernah terlintas di bayangan Eva, begitu pula dengan warga Tamansari yang lain. Kabar rencana pembangunan rumah deret membuat mereka terkejut.

Eva berpandangan Pemkot Bandung tak benar-benar serius melibatkan masyarakat Tamansari dalam pembangunan rumah deret.

Pemkot Bandung, menurut Eva, seperti datang dengan membawa proyek pembangunan dan masyarakat dihadapkan pada pilihan tunggal: menerimanya secara terbuka.

“Dalihnya ini [rumah deret] buat warga. Tapi, saya melihatnya sejak awal warga Tamansari tidak dilibatkan apa-apa,” terang Eva.

Warga, menurut Eva, tak pernah, misalnya, ditanya seperti apa hunian yang diharapkan; atau apakah—yang paling mendasar—warga Tamansari bersedia atau tidak jika lahan yang ditinggali selama ini diubah menjadi rumah deret.

Eva menegaskan masyarakat Tamansari “selalu membayar pajak” sebagai bentuk “kewajiban warga negara” sekaligus menandakan “warga bukan penghuni gelap.”

“Yang kami dapat justru penggusuran,” ucap Eva.

Pemkot Bandung membantah dituduh melakukan penggusuran terhadap warga Tamansari. Mereka mengaku pemerintah sudah menempuh rentetan upaya sosialisasi sejak Juni 2017.

“Konsep [rumah deret] tersebut direalisasikan dengan mengembalikan warga kembali ke lokasi penataan setelah selesai pembangunan rumah deret, sekaligus memberikan kepastian hukum kepada warga untuk tinggal di atas lahan milik pemerintah kota,” tutur Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman Prasarana Sarana Utilitas Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung, Arif Prasetya.

Keterangan pemerintah kota Bandung perihal sosialisasi memang dijalankan. Tapi, persoalannya, menurut Eva, warga “tidak pernah tahu secara detail mengenai rencana pembangunan rumah deret.”

Sosialisasi dari pemerintah tak pernah menyediakannya, kata Eva. Selain itu, warga mengungkapkan belum ada “kesepakatan yang dijalin dengan pemerintah kota Bandung.”

Salah satu hal yang disorot ialah tentang kompensasi, yang semula ditawarkan pemerintah kota Bandung sebesar 25% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)—kemudian direvisi menjadi 75%.

Di tengah proses mencari jalan keluar, pemerintah kota Bandung justru mengambil langkah yang menambah keruh persoalan dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) mengenai kompensasi bangunan, pelaksanaan pembangunan, dan mekanisme relokasi.

Poin yang termuat dalam surat tersebut, antara lain, ialah kompensasi diperuntukkan bagi pemilik bangunan, bukan Kepala Keluarga (KK).

Tak sebatas merilis surat keputusan tentang kompensasi, pemerintah kota Bandung turut menerbitkan izin lingkungan proyek rumah deret melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).

Pemkot Bandung, secara garis besar, berpedoman tanah di Tamansari merupakan “tanah negara” yang penguasaan atasnya melanjutkan dari pemerintah kolonial Belanda.

Penetapan secara legal, dengan surat-surat ketetapan yang dibuat pemerintah kota Bandung, lantas disusul pembongkaran.

Akhir 2017, pihak kontraktor yang digandeng pemerintah kota Bandung, PT Sartonia Agung, melakukan proses pengeboran, di samping menempatkan alat-alat berat di Tamansari—yang keberadaannya diduga merusak beberapa rumah warga.

Pemkot Bandung, pada waktu bersamaan, mengutarakan tidak ada lagi sosialisasi. Dengan kata lain, mereka akan terus melanjutkan pembangunan tak peduli apabila terdapat warga yang masih menolak.

Eva melihat apa yang dilakukan Pemkot Bandung sebagai “bentuk tindakan lalim.”

Pemkot Bandung, tegasnya, “tidak pernah mendengarkan aspirasi warga” dan “secara sepihak melakukan penggusuran” di tengah “penolakan warga yang belum menemukan titik temu.”

Waktu berjalan, dan kini wajah Tamansari tak lagi sama berkat kebijakan Pemkot Bandung yang hendak “merapikan” kawasan yang mereka percayai memerlukan itu.

Tekanan bertubi-tubi dari Pemkot Bandung menyebabkan sebagian besar warga Tamansari mencari opsi realistis, seperti pindah atau menerima tawaran rumah deret.

Namun, bagi segelintir orang seperti Eva melawan adalah satu-satunya pilihan sebab Tamansari menyangkut hidup dan matinya.

“Saya tidak ikhlas ketika Pemkot Bandung menggusur kami dari rumah kami, dari Tamansari,” tandasnya.

Kisah Tamansari, sekalipun berakhir tak sesuai harapan warganya, merupakan potret warga kampung kota di Bandung yang berusaha sedemikian gigihnya mempertahankan—sekaligus melawan—roda-roda pembangunan yang meminggirkan warga.

Tamansari tidaklah sendirian.

Kampung dikepung dan tembakan gas air mata dilepaskan

Kata “trauma” adalah hal yang pertama kali keluar dari mulut Lia tatkala mengisahkan peristiwa yang pecah suatu malam, pada 13 Agustus 2023.

Kala itu, Dago Elos menjadi saksi bisu betapa brutal dan represifnya tindakan aparat kepolisian.

Lia, salah satu warga yang tinggal di Dago Elos sejak 1990-an, bercerita bahwa malam itu puluhan polisi, membawa persenjataan lengkap, turun dan mengepung Dago Elos.

Pagi harinya, warga Dago Elos berbondong-bondong mendatangi Polrestabes Bandung untuk menemani empat warga yang ingin melaporkan keluarga Muller ke polisi terkait pemalsuan dokumen dan surat tanah di Dago Elos.

Anggota keluarga Muller—Hermawan, Dodi Rustendi, dan Pipin Sandepi—merupakan pihak yang bersengketa dengan warga Dago Elos. Keluarga Muller mengeklaim lahan Dago Elos adalah milik mereka.

Kakek mereka, warga Jerman yang tinggal di Bandung saat masa kolonial Belanda, George Hendrik Muller, mewariskan lahan seluas 6,3 hektare—yang menjadi tempat tinggal warga—kepada ketiganya.

Hendrik mengaku memperoleh eigendom verponding—hak milik dalam hukum pertanahan kolonial—atas tanah tersebut.

Pengacara Keluarga Muller, Alvin Wijaya Kesuma, menyatakan klaim kepemilikan lahan di Dago Elos memiliki ketetapan hukum, dan ia meminta semua pihak menghormatinya.

“Bahwa eksekusi memang bukan hal yang mudah dan penuh problematika. Tapi, sebagai wujud akhir dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dari pihak penggugat atau pemohon ingin agar putusan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan isi dari putusan,” ujarnya.

Klaim Keluarga Muller ditentang warga Dago Elos, dan ketiganya dilaporkan atas praktik culas berupa pemalsuan dokumen tanah.

Tidak cuma sekali, warga menempuhnya sebanyak tiga kali.

“Proses pelaporan dua kali kami lakukan sebelumnya, dan ditolak,” cerita Lia, yang menghendaki diidentifikasi dengan nama panggilannya.

“Kami berharap yang ketiga diterima. Makanya warga beramai-ramai ikut menemani ke kantor polisi.”

Harapan Lia, dan warga Dago Elos lainnya, dimentahkan polisi.

Setelah menunggu berjam-jam, malam hari, sekitar pukul tujuh, warga mendapati laporan mereka kembali ditolak.

“Kami sangat kecewa. Kami sudah menunggu dari pagi sampai malam hanya untuk ditolak,” aku Lia. “Dan alasannya tidak jelas.”

Menurut Lia, pihak Polrestabes Bandung mengungkapkan bukti yang dibawa warga Dago Elos tidak cukup kuat, sesuatu yang kemudian bikin Lia bereaksi cukup keras.

“Kalau urusan bukti itu sudah seharusnya tugas polisi untuk mencari,” tegasnya.

“Kami melapor sebagai warga negara, yang penting terima dulu laporan kami.”

Diselimuti rasa kesal yang sangat mendalam, Lia memutuskan masuk ke kantor polisi. Di sana, ia mencari petugas polisi yang mengurus laporan warga Dago Elos dan meminta jawaban sejelas-jelasnya.

Polisi yang berjaga lalu mencegah Lia masuk. Warga yang melihat menyusul di belakang Lia.

Perdebatan kecil sempat terjadi dan hampir berujung ribut. Lia menyaksikan salah satu personel kepolisian sudah bersiap diri mengeluarkan senjata.

Situasi di kantor polisi berhasil diatasi. Warga, pada akhirnya, memutuskan untuk pulang ke rumah.

Sekitar pukul 20.00 WIB, ketika rombongan warga hampir tiba di kampung, mereka mengambil aksi menutup dua ruas jalan di sekitar Dago Elos.

“Kami sama sekali tidak ada rencana untuk blokade,” kata Lia.

“Itu terjadi saja karena kami masih merasa kecewa dengan penolakan oleh polisi.”

Lia menambahkan mayoritas warga yang memblokade jalan adalah “ibu-ibu dan anak-anak.”

Penutupan jalan menarik kedatangan polisi. Perwakilan warga dan kepolisian lalu terlibat negosiasi. Hasilnya, polisi bersedia menerima laporan warga dan direspons dengan pembukaan satu ruas jalan yang ditutup.

Merasa tenang, Lia balik badan sejenak, menuju rumahnya, untuk mengecek anaknya yang seharian ditinggal.

Di jalan pulang, tanpa pernah Lia perkirakan, terdengar ledakan. Lia berpikir itu ialah “suara kembang api.”

Lia keliru.

Polisi menembakkan gas air mata.

“Mata langsung perih,” ujarnya. “Ternyata gas air mata.”

Keadaan tiba-tiba berbalik drastis.

“Warga berlarian, kabur dari gas air mata,” imbuhnya. “Pokoknya kacau dan ramai banget malam itu.”

Gas air mata tersebut, kata Lia, merupakan bagian dari upaya polisi membubarkan paksa blokade warga Dago Elos. Lia sangat terkejut karena polisi sebelumnya sudah sepakat dengan warga.

Banyak warga yang “luka akibat terjatuh” saat “menghindari gas air mata,” sebut Lia, selain “mata yang terasa perih.”

Lia, bersama warga lainnya, langsung mengajak mereka yang mengalami luka-luka ke balai warga untuk berlindung dan memperoleh pengobatan.

Teror tidak berhenti di situ.

Polisi meminta warga balik ke rumah masing-masing dan menyuruh mereka mematikan lampu setelahnya.

Polisi juga melakukan sweeping (penyisiran) ke rumah-rumah warga, mencari mereka yang dianggap “provokator” dalam blokade jalan. Belasan orang, ingat Lia, ditangkap.

“Saya tidak memahami kenapa polisi menyerang kami, warga Dago Elos, bahkan dengan mengerahkan puluhan aparat dan menembakkan gas air mata,” tuturnya.

“Kami seperti tidak dianggap sebagai warga negara.”

Polisi menampik dituduh melakukan kekerasan, seraya menjelaskan mereka hanya mengikuti protokol keamanan lantaran warga dianggap “melempar batu sampai botol ke arah petugas terlebih dahulu.”

Soal tindakan sweeping, yang terekam melalui CCTV, “kami akan melihat dan mempelajarinya,” ungkap Kapolrestabes Bandung saat itu, Kombes Pol Budi Sartono. Tidak ada update lagi setelah pernyataan tersebut keluar.

Insiden itu menyisakan luka mendalam bagi warga Dago Elos, termasuk Lia. Penggunaan gas air mata oleh aparat tak hanya menimbulkan rasa perih di mata, tapi juga melukai perjuangan yang telah mereka pupuk selama bertahun-tahun.

Warga Dago Elos seperti terimpit oleh tekanan ganda, dari keluarga Muller dan aparat kepolisian. Meski begitu, berbagai situasi yang menjepit itu tidak melenyapkan perlawanan warga Dago Elos.

Usai peristiwa kelam pada Agustus 2023, warga Dago Elos terus menggelorakan api pertempuran.

Nyala api serupa menjalar pula di Sukahaji, kampung yang berjarak sekitar 10 km dari Dago Elos.

Namun, api di Sukahaji tak sekadar menjadi simbol resistensi warga di dalamnya.

Api di Sukahaji berarti tragedi.

Bertaruh pada api

9 April 2025. Pukul 23.00 WIB.

Randy, bukan nama sebenarnya, anak muda yang tinggal di Sukahaji, masih mempersiapkan gulungan-gulungan poster yang akan ditempel di tembok-tembok di sekitar kampung.

Poster tersebut, sebagian besar, berisikan penolakan atas penggusuran. Randy dan beberapa warga berkumpul di rumah salah satu tetua yang dijadikan basecamp.

Setengah jam berselang, Randy keluar dari basecamp dan mulai memasang poster-poster yang disebutnya “menggambarkan komitmen untuk bertahan di kampung.”

“Ini bukan sekadar masalah rumah,” ujar Randy, berusia 25-an tahun.

“Ini menyangkut hidup. Tentang seorang ayah, ibu, dan anak yang tinggal di Sukahaji.”

Belum ada setengah jalan Randy melakukan kegiatannya, ia mendapati asap api yang membumbung tinggi di depan kampung. Ia menghentikan agendanya dan segera menuju ke depan kampung.

“Apinya langsung besar,” cerita Randy yang menghendaki identitas aslinya disamarkan karena alasan keamanan.

Randy melihat warga panik. Mereka berteriak, menangis, dan dilanda ketakutan. Beberapa berupaya menyelamatkan harta yang tertinggal, beberapa lainnya tak sempat dan memilih membiarkannya.

Lebih dari 40 kios berpetak—tempat warga Sukahaji sehari-hari mencari nafkah—ludes, di samping tiga rumah warga yang juga ikut dilahap api.

Polisi mengatakan penyebab kebakaran ialah rembetan listrik. Namun, Randy tak percaya begitu saja.

Ia meminta aparat transparan dengan apa yang memicu kebakaran di Sukahaji. Pasalnya, Randy mengaku “ini bukan pertama kali kebakaran melanda Sukahaji.”

Tuntutan Randy belum terjawab hingga kini, lebih dari dua bulan sejak peristiwa itu terjadi. Kebakaran di Sukahaji tetap dikatakan karena faktor teknis.

Kobaran api di Sukahaji, yang terjadi pada malam hari ketika warga tengah tertidur pulas, menciptakan trauma yang mendalam.

Pada waktu yang sama, api yang menghanguskan tempat tinggal warga serupa pukulan telak yang datang saat tidak tepat.

Keesokan hari, tak lama setelah kebakaran, warga Sukahaji mengikuti jalannya sidang perdana di pengadilan.

Mereka menggugat klaim kepemilikan lahan seluas 7,5 hektare oleh Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar, pasangan suami dan istri.

Keduanya mengaku sebagai pemilik tanah di Sukahaji, berbekal dokumen sertifikat, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), serta bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Tiga daerah Rukun Warga (RW)—RW 1, RW 3, dan RW 2—terancam digusur apabila klaim Junus dan Juliana disahkan oleh pemerintah.

Randy sendiri, awalnya, tidak terlalu mengikuti dinamika konflik lahan ini. Ia memutuskan untuk berpartisipasi dalam gerakan warga setelah mengetahui rumahnya—yang berada di RW 2—berpeluang digusur.

Penolakan warga di Sukahaji, kata Randy, didorong kondisi “warga telah berpuluh tahun tinggal di sana.”

Sama seperti warga di Tamansari dan Dago Elos, mereka lahir, tumbuh, dan bertahan hidup di Sukahaji sehingga kampung ini memiliki peran signifikan bagi setiap warga.

Kabar bahwa tanah di Sukahaji akan direbut pihak lain berarti warga terancam kehilangan semua yang telah mereka upayakan selama ini, serta apa yang sedang mereka perjuangkan untuk masa depan.

Warga Sukahaji, dalam konflik yang dihadapi, berprinsip setidaknya kepada dua hal, imbuh Randy.

“Tidak mau negosiasi dan relokasi,” jelasnya.

“Kami warga maunya tetap di sini. Kami yang menjaga tempat ini sejak dulu.”

Namun, kubu Junus dan Juliana tidak mau kalah dan menempuh segala cara agar tanah di Sukahaji menjadi milik mereka.

Ketika sedang melakukan ‘sosialisasi’ terkait ganti rugi, misalnya, kubu Junus dan Juliana diwakili kuasa hukum beserta personel keamanan.

Aparat keamanan—polisi dan tentara—tidak melakukan apa-apa, tapi itu cukup bikin warga Sukahaji merasa takut.

Lalu, kubu Junus dan Juliana juga diduga mengerahkan anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) guna ‘mengamankan’ wilayah yang mereka klaim menjadi milik mereka.

Beberapa orang yang disinyalir bagian dari ormas ini disebut melakukan intimidasi verbal kepada warga di Sukahaji, dengan mengancam jika tidak segera angkat kaki “maka akan dipenjara,” jelas Randy.

“Warga tidak mungkin tidak takut. Ini juga yang kemudian mendorong beberapa warga mulai berpikir untuk menyerahkan lahan mereka, rumah mereka,” imbuhnya.

Setelah peristiwa kebakaran pada awal April 2025, bertepatan dengan Hari Kartini pada 21 April silam, warga Sukahaji mendapati kekerasan fisik dari sejumlah orang yang diduga bagian dari ormas.

Video kekerasan fisik yang menyasar seorang ibu itu tersebar di media sosial.

Taktik lain yang dijalankan Junus dan Juliana, menurut warga Sukahaji, adalah dengan menerapkan metode pecah belah. Pihak Junus dan Juliana diduga mendorong warga untuk menerima uang kerohiman—ganti rugi—yang nominalnya maksimal Rp5 juta per setiap KK.

Warga yang disodori uang kerohiman diminta pula untuk tidak terlibat dalam penolakan.

Tujuannya supaya warga tak lagi solid melawan sebab ‘kekuatannya’ perlahan-lahan telah dilemahkan.

Randy menilai langkah Junus dan Juliana tidak beradab, mengingat tanah di Sukahaji bukan tanah tanpa penghuni. Warga mendesak agar jika Junus dan Juliana memang merasa memiliki tanah itu, mereka harus membuktikannya sesuai prosedur, baik secara administratif maupun hukum.

“Karena warga yang menghuni Sukahaji, selama ini, juga menuntaskan kewajibannya. Bayar pajak, bayar listrik, bayar air,” terangnya.

Ditambahkannya para warga bukannya “tiba-tiba datang dan mengeklaim tanah di Sukahaji.”

“Selama ini [Junus dan Juliana] ke mana?” tanya Randy.

Kuasa hukum Junus dan Juliana, Rizal Nusi, menegaskan tanah di Sukahaji, seluas lebih dari 7 hektare, tidak berstatus sengketa lantaran kliennya memang memiliki hak yang sah secara hukum.

Pada Februari silam, Rizal melakukan sosialisasi kepada warga sembari menunjukkan copy sertifikat tanah yang dilegalisir serta bukti Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari BPN Kota Bandung.

“Kalau untuk sengketa hukum itu tidak ada,” Rizal memberi tahu BBC News Indonesia.

“Kami pun sudah bilang kalau warga punya alas tanah atau girik, silakan komunikasikan dengan kami.”

Sertifikat tanah Junus dan Juliana, sebut Rizal, “tidak bersengketa, tidak kepemilikan ganda, serta tidak tumpang tindih dengan sertifikat lainnya.”

Rizal membenarkan pihaknya memberi dana kerohiman kepada warga sebesar Rp5 juta. Ia menyebut sebetulnya itu tidak diatur dalam mekanisme perkara tanah yang dihadapi.

“Secara legal tidak ada kewajiban. Ini sifatnya sosial. Kami memikirkan warga setidaknya bisa mengontrak tiga sampai empat bulan ke depan,” tandasnya.

Tentang tudingan adu domba, Rizal menjawab: “Ngapain kami adu domba?”

Sementara soal dugaan intimidasi kepada warga, Rizal merespons “tidak ada.” Ia berpatokan dengan penerimaan dari mayoritas warga sehingga hal itu cukup untuk menggugurkan tuduhan intimidasi.

“Lantas buat apa mengintimidasi?” jawabnya.

Per Januari 2025, sekitar 90 Kartu Keluarga (KK) telah mendaftarkan tanah mereka ke pemerintah—dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN)—yang menurut Randy adalah strategi untuk mempertahankan diri secara legal.

Dengan kepemilikan sertifikat tanah sudah ada di tangan, harapannya, kedudukan warga kian kuat di mata hukum.

Namun, hingga kini, kejelasan status tanah yang sudah diproses warga Sukahaji belum memperlihatkan tanda-tanda terang.

Randy menuturkan warga yang bersama-sama melakukan perlawanan semula “cukup sulit disatukan.”

Perlu waktu dan usaha untuk saling meyakinkan, kata Randy, dan upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil.

Warga kemudian membentuk simpul perlawanan dengan mengadakan forum-forum diskusi sebagai pintu untuk berkonsolidasi. Warga Sukahaji pun belajar tentang perlindungan hak, selain pendidikan politik ruang yang diserbarluaskan secara informal.

Di Sukahaji, kesadaran kelas dibangun dengan tuntutan pengakuan atas hak-hak warga di dalamnya.

Masyarakat menamai gerakannya: Sukahaji Melawan.

Mengapa terjadi konflik lahan dan penggusuran di Bandung?

Konflik lahan di Bandung menjadi pemandangan yang kerap dijumpai dalam beberapa tahun belakangan.

Warga di kampung kota terpaksa digusur—atau “ditertibkan” menurut narasi pemerintah—karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang kuat dan jelas.

Realita tersebut dihadapi oleh warga di Tamansari, Dago Elos, maupun Sukahaji, juga di titik-titik lainnya.

Dua aturan menjadi dasar untuk memahami bagaimana tanah dikelola dan dilindungi di Indonesia, terutama dalam konteks konflik lahan yang terjadi di Bandung.

Di Indonesia, aturan mengenai kepemilikan tanah diatur lewat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Salah satu hal krusial soal tanah termuat dalam pasal 6, yang kurang lebih berbunyi “semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial.”

Secara garis besar, ketentuan ini ingin memastikan penguasaan tanah tidak boleh merugikan, apalagi menyengsarakan masyarakat. Menurut UUPA, tanah harus dikelola dengan baik dan memberikan “manfaat yang seluas-luasnya” bagi warga negara.

Menurut aturan agraria, negara juga memberikan kesempatan bagi mereka yang telah menguasai tanah secara fisik selama 20 tahun atau lebih untuk memperoleh hak atas tanah tersebut.

Poin tersebut diperjelas dengan aturan turunan UUPA, yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997, yang menegaskan pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon—atau warga.

Penguasaan, menurut beleid itu, dilakukan “dengan itikad baik dan secara terbuka” dan tidak pernah digugat statusnya oleh pihak lain.

Secara teknis, eksistensi aturan-aturan tersebut sangat membuka peluang bagi warga di tiga kampung kota di Bandung untuk diprioritaskan dalam konteks pemberian hak atas tanah dari negara.

Persoalannya, harapan warga sering kali terbentur tembok peninggalan kolonial, jelas Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono.

“Kebanyakan konflik tanah di Bandung itu, balik lagi di pencatatan, itu hampir semua adalah tanah-tanah yang didasari dengan eigendom verponding,” ujarnya.

Istilah eigendom verponding merujuk pada “hak milik pribadi” dalam pembacaan terhadap hukum perdata kolonial, Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata).

Implementasi eigendom berakhir 20 tahun usai UUPA disahkan, pada September 1980, dengan semangat “mengembalikan” hak tanah kepada masyarakat Indonesia.

Artinya, jika pemilik eigendom—warga asing atau perusahaan—tidak melakukan pengubahan hak milik menjadi hak pakai, maka status eigendom gugur dan berganti tanah negara.

Dalam tanah negara sendiri melekat berbagai hak, di antaranya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, sampai Hak Membuka Tanah.

Penetapan pergantian status eigendom dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, yang menyebut bukti tanah bekas hak kolonial tidak berlaku dan status tanah dikuasai langsung oleh negara.

“[Tapi] karena pencatatan yang buruk inilah lantas berdampak kepada terjadinya konflik-konflik lahan di Bandung,” imbuh Heri.

Dalam konflik lahan di Tamansari, Pemkot Bandung mengeklaim lahan itu adalah milik mereka, sesuatu yang bertolak belakang dengan temuan serta penelusuran LBH Bandung: tanah di Tamansari berasal dari tanah kolonial yang semestinya berubah status menjadi tanah negara.

Situasi yang sama muncul di Dago Elos, ketika Keluarga Muller menahbiskan lahan di sana sebagai warisan keluarga—berstatus eigendom.

Baik di Tamansari maupun Dago Elos, pihak-pihak bersangkutan tercatat tidak pernah mengupayakan perubahan status tanah sejak UUPA diberlakukan.

Menurut Heri, di tengah kevakuman administrasi pertanahan, pihak-pihak yang bersengketa—baik pemerintah kota maupun ahli waris—tiba-tiba muncul dan mematok tanah yang telah puluhan tahun dihuni warga dengan dalih “hak milik.”

Kedatangan “pihak” yang mengaku memiliki keterkaitan dengan tanah warga tersebut juga terjadi di Sukahaji, tatkala warga harus ‘bertarung’ melawan Junus dan Juliana.

Warga di tiga kampung kota itu, lanjut Heri, telah mendiami lahan masing-masing sejak dekade 1960-an dan 1970-an. Mereka tak sekadar tinggal, tapi juga memenuhi kewajiban sebagai warga negara, seperti membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Mengacu pada UUPA, menurut Heri, warga di Dago Elos, Tamansari, dan Sukahaji seharusnya menjadi prioritas negara, bukannya digusur.

Sayangnya, warga kampung kota di Bandung “tidak pernah diberi akses terhadap pemenuhan hak tanah,” kata Heri.

“Bagaimana, seharusnya, negara itu bertindak aktif ketika mereka harus melakukan kewajibannya dalam pemenuhan hak asasi manusia,” ujarnya.

Nah, di sini, negara absen.”

Heri mencontohkan warga Dago Elos sudah beberapa kali mendaftarkan tanah mereka, dan hasilnya sejauh ini belum menemui titik kejelasan.

Lebih jauh Heri menjelaskan bahwa dalam konteks konflik lahan pemerintah tidak bisa berpatokan semata kepada batas-batas ketentuan administratif.

“Tapi, juga melihat aspek sosial dan legalnya. Masyarakat itu telah melakukan pemeliharaan terhadap tanahnya,” tutur Heri.

Selain warisan penjajahan, geliat pembangunan yang berorientasi komersial turut pula mendorong rentetan konflik lahan di Bandung menjadi semakin pelik.

“Kalau saya melihatnya sederhana saja, karena tanah di Bandung itu [harganya] sudah enggak masuk akal,” Heri menanggapi.

Tidak ada data resmi yang bisa dirujuk untuk melihat seberapa mahal tanah di kota Bandung per satu meternya.

Lewat situs properti, BBC News Indonesia menemukan bahwa rata-rata harga tanah per satu meter di Bandung berkisar antara Rp2 juta hingga Rp40 juta.

Harga tanah yang melambung di Bandung, jelas Heri, merupakan efek domino dari meningkatnya permintaan pasar. Bandung jadi magnet bagi hunian, pariwisata, dan bisnis. Kondisi ini membuat siapa pun yang melihat peluang bakal meraih keuntungan besar.

Faktanya, Bandung memiliki lebih dari 400 penginapan—baik hotel berbintang maupun non-bintang—per 2022.

Sepanjang 2022, pajak dari hotel yang disetorkan ke kas Pemkot Bandung secara konsisten tembus Rp15 miliar tiap bulannya.

Ini belum menghitung apartemen, restoran, kos, atau tempat usaha lainnya yang begitu menjamur di Bandung.

Pemkot Bandung punya target ambisius, yakni mendatangkan 8 juta wisatawan pada 2024.

Saat liburan Idulfitri April silam, Pemkot Bandung optimistis 1 juta wisatawan bakal mengunjungi Bandung. Namun, target tersebut meleset jauh dengan hanya sekitar 370 ribu wisatawan yang datang ke Bandung.

Dago Elos, Tamansari, dan Sukahaji berlokasi di titik-titik yang strategis.

Dago Elos, misalnya, merupakan kawasan permukiman padat penduduk di Dago, tepi utara Kota Bandung. Lokasinya dikelilingi kafe, tempat hiburan, perbelanjaan, hingga fasilitas umum berupa terminal dan rumah sakit.

Sedangkan Tamansari berada di tengah kota Bandung, dekat dengan Gedung Sate, kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), atau area Dipati Ukur.

Sukahaji pun lokasinya tak kalah menarik karena aksesnya sangat dekat dengan Tol Pasir Koja dan hanya butuh 15 menit menuju Alun-Alun Bandung.

Menurut pengamatan BBC News Indonesia, di sekitar area Sukahaji sudah banyak berdiri hotel-hotel berbintang dan apartemen.

Penelusuran melalui situs jual beli memunculkan harga tanah di Sukahaji di rentang Rp2 miliar hingga Rp10 miliar.

“Saya melihatnya memang ada kemungkinan kami digusur untuk diganti perumahan atau apartemen. Kami melihat ke arah sana,” ungkap Randy, warga Sukahaji.

“Sukahaji sendiri [lokasinya] strategis, dekat tol, banyak fasilitas umum.”

Memori kolektif tentang penggusuran punya riwayat yang cukup panjang di Bandung.

Pada 2016, Pemkot Bandung menjalankan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), yang merupakan turunan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Program ini bertujuan untuk “menghapus kekumuhan di kawasan perkotaan” dan didanai melalui skema patungan antara APBN, APBD, dan hibah lembaga internasional seperti Bank Dunia.

Pemkot Bandung telah menetapkan kawasan “kumuh” yang harus “ditata” dan “dibersihkan” ialah seluas 1.457 hektare.

Wakil Wali Kota Bandung kala itu, Oded M. Danial, menyatakan implementasi program Kotaku “mengedepankan partisipasi masyarakat”.

Praktik di lapangan bisa berbicara yang lain.

“Memang alasan pertama negara itu adalah merelokasi untuk bisa menjadi penghidupan yang lebih baik,” ucap Heri.

“Tapi, pada akhirnya juga enggak begitu.”

Banyak kasus penggusuran di Bandung, jelas Heri, “yang warganya dipindahkan dari tempat asalnya” dan “ada kehidupannya yang justru lebih buruk.”

Heri menilai Pemkot Bandung belum sepenuhnya berkomitmen pada penataan kawasan kumuh secara manusiawi. Menurutnya, pemerintah setempat berpandangan daerah kumuh harus digusur demi memenuhi kepentingan pihak lain.

“Saya enggak menyaksikan niatan pemerintah kota Bandung mengganti penggusuran itu dengan, misalnya, memperbaiki kondisi daerah-daerah tersebut,” tuturnya.

“Seperti kasus Tamansari dan Dago Elos saja, contohnya. Itu kawasan komersial. Saya yakin itu pada akhirnya dikomersialisasi.”

BBC News Indonesia telah berupaya meminta konfirmasi atas sengkarut konflik tanah di Bandung kepada BPN. Mereka belum merespons hingga artikel ini diterbitkan.

Upaya menguraikan dan menuntaskan konflik lahan diperkirakan akan menghadapi tantangan serius, terutama dari sisi pendataan.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung menyatakan dari sekitar 513 ribu bidang tanah yang terdaftar, baru 31% yang masuk dalam Data Siap Elektronik.

Agar tanah bisa masuk ke Data Siap Elektronik, ada tiga syarat yang harus dipenuhi: sertifikat, surat ukur, dan persil bidang tanah. Menurut BPN Kota Bandung, masih banyak data yang tidak akurat.

Kepala Kantor BPN Kota Bandung, Andi Kadandio Alepuddin, menyatakan konflik lahan di Bandung sangat kompleks dan meluas sehingga memerlukan kolaborasi banyak pihak.

Warga kampung kota dianggap ilegal

Dalam konflik lahan perkotaan, narasi yang dibangun pemerintah dan pihak berkepentingan adalah bahwa warga yang mendiami lahan tersebut melanggar hukum, alias ilegal.

Hasilnya, menurut pegiat Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan Urban Poor Consortium, Guntoro Gugun Muhammad, adalah cara pandang yang melihat sengketa lahan di perkotaan sebagai “pelanggaran warga,” bukan lagi “konflik.”

“Maka dari itu, solusinya adalah ditertibkan,” terang Gugun.

Warga kampung kota yang terancam dan terdampak bukannya berdiam diri. Mereka telah mengupayakan kepemilikan tanahnya diakui negara dengan mendaftarkannya ke BPN.

Persoalannya, dalam banyak kasus, ujar Gugun, BPN “tidak berani mengakui” lantaran “takut digugat.”

Gugun berpendapat BPN semestinya memberikan hak atas tanah kepada warga. Akan tetapi, BPN berdalih tak menemukan hubungan antara warga dan lahan bersangkutan. Imbasnya, kondisi di kampung kota “kerap buntu.”

“Penduduknya nambah, tapi mereka hidup dalam ketidakpastian dan ujungnya memengaruhi cara hidupnya,” Gugun berkata.

“Mau merenovasi rumah, mereka berpikir kalau ini cuma sementara. Ada peluang digusur.”

Hal itulah, Gugun menggarisbawahi, “yang membuat kampung kota kumuh.”

“Dampak dari ketidakpastian atas status mereka,” ucapnya.

Kebijakan “penertiban” yang diambil pemerintah, lanjut Gugun, turut memengaruhi cara warga kampung kota melihat diri mereka sendiri.

Akibat “ditertibkan,” mereka mendapat label “penyerobot tanah,” “melawan negara,” atau “kriminal.” Sehingga, dari situ, banyak warga kampung kota merasa “salah dan lemah.”

Pemerintah menolak anggapan melakukan pembongkaran paksa, dengan dalih menawarkan solusi hunian baru berupa rumah deret atau susun.

Persoalannya, kata Gugun, partisipasi warga kampung kota ditiadakan. Mereka juga ditempatkan pada posisi tanpa opsi selain menerima tawaran tersebut.

Konsep “social housing” semestinya diwujudkan dengan melibatkan masyarakat kampung kota dalam merancang hunian yang mereka inginkan. Jadi, hunian yang direncanakan pemerintah bukanlah satu-satunya solusi, melainkan opsi yang bisa dipertimbangkan warga secara demokratis.

⁠”Pemerintah mengandaikan warga kampung kota itu berpenghasilan tetap. Padahal tidak. Mereka hidup di sektor informal, dengan penghasilan naik dan turun,” ucap Gugun.

“Dan jaring pengaman warga kampung kota itu di tingkat ruang dan kampung. Mereka bertemu, berinteraksi, dan tolong-menolong di situ.”

Sengkarut administrasi dan tata kelola legalitas tanah, menurut Gugun, kemudian dimanfaatkan mafia tanah untuk meraih keuntungan, akibat absennya negara dalam melindungi warga kampung kota.

Gugun menjelaskan mafia tanah mendatangi lahan incaran dengan klaim kepemilikan berdasar dokumen palsu. Warga diminta menyetujui kompensasi tertentu; menolak berarti digusur paksa.

Setelah urusan warga beres, bukti-bukti palsu itu dibawa ke BPN untuk disahkan dan akhirnya terbitlah Sertifikat Hak Milik (SHM).

“Pertanyaannya, dapat dari mana mafia tanah uang buat mengurus itu semua? Mereka berkolaborasi dengan perusahaan yang punya kepentingan,” klaim Gugun.

“Perusahaan lalu beli SHM itu dan diubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB). Mafia tanah dapat uang komisi,” ujar Gugun kemudian.

Lahirnya kampung kota adalah konsekuensi dari semakin tingginya harga properti dan lemahnya kebijakan negara dalam menyediakan tempat tinggal ideal dan layak huni bagi warganya.

Singkatnya, selama negara tak benar-benar menerapkan fungsi sosial tanah sesuai UUPA—bahwa tanah harus untuk kemaslahatan banyak orang, bukan segelintir kelompok—maka warga kampung kota akan terus menjadi korban.

“Negara harus mengakui dengan membebaskan tanah-tanah itu untuk warga kampung kota, bukan kepada developer. Bukannya malah justru dimatikan,” cetus Gugun.

Pemkot Bandung menolak disebut menggusur

Dalam konflik lahan di Tamansari, Pemkot Bandung mengeklaim pembangunan rumah deret adalah upaya “memperbaiki lingkungan dan kualitas ekonomi.”

Mereka membantah tuduhan penggusuran sebab ruang untuk bekerja sehari-hari tetap dipertahankan.

“Kalau sekarang ada warga punya konveksi, mereka akan dapat tempat konveksi. Kalau ada warung, kami sediakan warung. Kalau yang punya gerobak dagang, kami sediakan parkiran gerobaknya,” papar Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman Prasarana Sarana Utilitas Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung saat itu, Arif Prasetya.

Terkait status tanah, Arif menyatakan tanah di Tamansari sudah menjadi “milik” dan “aset” Pemkot Bandung “sejak puluhan tahun lalu.”

“Kalau sudah masuk ke daftar inventaris barang milik pemkot [Bandung], artinya sudah sah milik pemerintah. Dan, tanah tersebut akan dimanfaatkan oleh pemerintah kota untuk penataan kawasan,” imbuhnya.

Sementara itu, Pemkot Bandung menyatakan tak akan menggusur warga Dago Elos dan berupaya memperjelas status tanah mereka.

“Kami akan bekerja sama dengan BPN untuk menerbitkan alas hak bagi warga Dago Elos,” ucap Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, dalam keterangan resminya, awal Mei 2025.

Bergeser ke Sukahaji, Farhan meminta tidak ada tindakan sepihak yang dilakukan masing-masing pihak seperti pemagaran atau pembongkaran paksa.

“Untuk warga yang telah menerima kerohiman, silakan penuhi kesepakatan. Bagi yang menolak, silakan menempuh jalur hukum. Kalau perlu, bawa ke pengadilan,” ia mengimbau.

Merespons konflik lahan di sejumlah kampung kota, Kantor BPN Kota Bandung berkomitmen untuk menyelesaikan dan memfasilitasi konflik lahan sesuai hukum yang berlaku. Mereka tidak ingin ada pihak yang merasa dirugikan.

Pada waktu yang sama, BPN Kota Bandung berkolaborasi dengan Universitas Katolik Parahiyangan untuk merapikan dan menyelesaikan pendataan tanah secara digital.

BPN Kota Bandung menilai langkah ini signifikan untuk memperjelas status tanah dan meminimalkan potensi konflik lahan.

Strategi perlawanan: Solidaritas komunitas

Oktober 2024.

Ratusan orang berdesakan di balai warga Dago Elos yang seukuran lapangan sepak bola mini, berkumpul dalam satu “altar” yang sama.

Beberapa membentuk lingkaran, sementara lainnya menari dan meluapkan energi dengan bebas.

Namun, dalam satu momen, koor massal menggema.

Lapar lebih nyata dari dosa

Secepat kilat imanku hilang

Bagai semesta rumahku lenyap

Tak ada doa yang berguna

Malam itu, Dongker, trio post-punk dari Bandung, tampil di hadapan warga Dago Elos.

Lagu berjudul “Tuhan di Reruntuh Kota” menghidupkan petang yang panjang, sekaligus harapan yang menanti diwujudkan.

Di seberang mereka, tertempel spanduk berwarna hitam dengan tulisan yang jelas dibaca.

TANAH UNTUK RAKYAT.

Koor massal kembali pecah ketika “Bertaruh Pada Api” dimainkan.

Bertaruh pada api

Kuharap takkan mati

Suara cinta takkan runtuh

Oleh kuasa

Konflik lahan di Bandung telah menyudutkan ruang-ruang kota dengan ancaman penyingkiran. Kampung-kampung kota yang menghadapi penggusuran seketika menolak tunduk dan menjadi wajah perlawanan.

Di antara gang-gang sempit, rumah petak yang berdempetan, dan lahan kosong, warga berkumpul serta merapatkan diri dalam barisan perjuangan.

Mereka rutin mengadakan agenda seperti pendidikan politik, diskusi, pemutaran film, hingga konser musik. Semua bertujuan memupuk solidaritas.

Perlawanan ini tak hanya melibatkan warga setempat, tapi juga masyarakat luas dari berbagai latar belakang—mulai dari suporter bola, penggemar musik hardcore atau punk, mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat umum.

Kampung-kampung kota kini diaktifkan menjadi titik jejaring perlawanan yang terhubung satu sama lain.

Kolaborasi warga dan kelompok sipil melahirkan Festival Kampung Kota. Edisi pertama pada 2017 di Dago Elos bertema “Merebut Ruang Hidup.”

Dua tahun kemudian, pada 2019, Tamansari menjadi tuan rumah dengan tema “Merayakan Solidaritas.”

Setelah jeda empat tahun, edisi ketiga kembali digelar di Dago Elos pada 2023 dengan tema “Demokrasi, Krisis Ruang, dan Solidaritas.”

“Kami membutuhkan solidaritas, antara warga dan teman-teman di luar. Aku melihat Festival Kampung Kota bisa memfasilitasi itu,” kata Dea, warga Dago Elos yang aktif dalam mengorganisir ruang.

Dea menambahkan ada urgensi untuk “pemerataan informasi” mengenai situasi penggusuran yang dihadapi kampung-kampung kota di Bandung.

Semangat Festival Kampung Kota tetap hidup dan menjalar dengan acara-acara yang dibuat masing-masing kampung kota secara terpisah.

Di Sukahaji, misalnya, warga rutin mengadakan kegiatan nonton bareng pertandingan sepak bola yang melibatkan Persib Bandung.

Sementara itu, warga Dago Elos dan koalisi sipil pernah menggelar pengadilan rakyat untuk menuntut pengembalian hak atas tanah kepada warga, bukan Keluarga Muller.

Di Tamansari, warga menggunakan pentas musik dan pameran foto sebagai cara untuk menyebarkan gagasan dan pemahaman tentang isu penggusuran.

Dea menilai media sosial menjadi elemen penting dalam menjaga api perlawanan. Menurutnya, platform ini efektif mendistribusikan informasi mengenai masalah yang dihadapi kampung kota, bahkan menjangkau kota-kota di luar Bandung.

Tiga kampung kota dalam pusaran konflik lahan di Bandung mempunyai saluran media sosial masing-masing dengan jumlah pengikut yang bisa dibilang tak sedikit.

Segala hal yang berkaitan dengan konflik di Sukahaji, sebagai contoh, diunggah lewat akun Sukahaji Melawan (@sukahajimelawan). Jumlah pengikutnya sudah lebih dari 7 ribu akun.

Kemudian Dago Elos mempunyai Dago Melawan (@dagomelawan) dengan pengikut menyentuh hampir 30 ribu.

Di Tamansari, akun Tamansari Melawan (@tamansarimelawan) memiliki followers lebih dari 23 ribu.

Pengelolaan akun media sosial dijalankan oleh “warga dan teman-teman solidaritas,” papar Dea, berkaca pada konteks @dagomelawan.

“Kami kolaborasi dengan warga. Teman-teman yang bersolidaritas, yang memiliki kemampuan desain grafis, misalnya, membuat poster dan desainnya. Narasi teksnya seperti apa juga dibicarakan secara bersama-sama,” ungkapnya.

Melalui akun-akun tersebut, konten-konten mengenai konflik di kampung kota—mulai dari kronologi, kabar terkini, hingga agenda seperti diskusi atau aksi—dibuat dan disebarluaskan.

Media sosial juga menjadi arsip penting peristiwa-peristiwa krusial seperti represi polisi di Tamansari (2019), penyisiran dan tembakan gas air mata di Dago Elos (2023), dan kebakaran di Sukahaji (2024).

Gerakan warga kampung kota di Bandung tumbuh organik, membangkitkan kepedulian banyak orang terhadap masalah mereka.

Solidaritas dan dukungan pun meluas ke isu-isu yang lebih besar, dengan saling mendukung warga kampung kota yang terdampak pembangunan menjadi hal lumrah.

Guntoro Gugun Muhammad dari JRMK dan Urban Poor Consortium menyatakan keterbukaan ruang politik setelah 1998 memungkinkan masyarakat mempertanyakan kebijakan pemerintah yang keliru.

“Yang mendasar, hak informasi mulai mudah diperoleh,” terangnya.

https://www.instagram.com/p/CwhC1r3RLqU/?igsh=d3prcmZjcnNndGE1

“Orang-orang bisa jadi melihat apa yang sebetulnya terjadi, termasuk masyarakat kampung kota.”

Gugun menambahkan perlawanan warga di satu kampung kota menginspirasi warga di kampung kota lainnya, dan “mendorong kampung-kampung menempuh langkah serupa.”

Sementara itu, warga Dago Elos yang aktif menggelorakan solidaritas warga, meyakini gerakan akar rumput berpeluang menjadi “jalan alternatif” dalam menghimpun kekuatan sipil.

Apalagi, menurutnya, “anak-anak muda banyak yang berkontribusi.”

“Konflik lahan di Bandung, lewat penggusuran, membuka mata atas apa yang terjadi dari hal yang paling dekat, yakni rumah,” jawabnya.

“Dari situ, kita bisa membawanya ke isu yang lain. Kita bisa memprotes hal-hal yang memang menurut kita enggak benar.”

Dago Elos: Titik balik perjuangan hukum

Upaya yang dibangun di akar rumput dibarengi dengan perjuangan lainnya: di pengadilan.

Sejak 2016, warga Dago Elos bersidang melawan keluarga Muller. Namun, Pengadilan Negeri Kota Bandung—yang diperkuat Pengadilan Tinggi setahun berikutnya—menyatakan kepemilikan tanah keluarga Muller sah.

Putusan di dua tingkat pengadilan tersebut dibawa warga Dago Elos ke kasasi, dan hakim memenangkan gugatan mereka.

Pihak keluarga Miller tak terima dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 2022, yang kemudian dikabulkan MA.

Perjuangan melalui jalur hukum mendapat angin segar saat warga Dago Elos melaporkan keluarga Muller atas dugaan pemalsuan dokumen pada Agustus 2023.

Pada 2024, kepolisian menetapkan anggota keluarga Muller—Henri Hermawan dan Dodi Rustandi—sebagai tersangka. Pengadilan Negeri (PN) Bandung lalu menjatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara kepada keduanya.

Putusan ini secara signifikan mengubah peta konflik, menyatakan bahwa keluarga Muller tak berhak atas lahan di Dago Elos.

Warga menang.

https://www.instagram.com/p/DBF6MTGJFzO/?igsh=MTI0NGI3NTBqbWV6cA==

Berbeda dengan Dago Elos, cerita di dua kampung kota yang lain belum berakhir bahagia.

Di Sukahaji, warga masih waswas dengan hasil persidangan, apakah bakal berpihak pada mereka atau justru menggusur nasib.

Saat ini, warga di forum perlawanan Sukahaji sedang menggalang kekuatan, terutama dari mereka yang masih menolak, Randy berkata.

“Kami meyakinkan sekali lagi bahwa kami tidak membuka negosiasi dan relokasi karena pada prinsipnya kami mempertahankan tempat ini, sebab kami tahu Sukahaji ini yang melahirkan kami,” tegas Randy.

Di Tamansari, pada akhir 2019, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung menolak gugatan warga terhadap Pemkot Bandung terkait pembangunan rumah deret yang dinilai melanggar berbagai ketentuan.

Hakim PTUN Bandung kala itu memutuskan bahwa tanah di Tamansari milik Pemkot Bandung, yang dulunya dibeli oleh Gementee Bandoeng (pemerintah kolonial Bandung).

Hakim juga menegaskan bahwa penggugat—warga Tamansari—tidak memiliki ikatan hukum dengan Pemkot Bandung sebagai pemilik tanah. Singkatnya, warga Tamansari tak memiliki legalitas bangunan, seperti IMB.

“Oleh sebab itu, para penggugat tidak memiliki kualitas, kapasitas, dan kewenangan ketika mengajukan gugatan,” bunyi putusan tersebut.

Dalam putusannya, PTUN Bandung tidak melihat adanya penggusuran, dengan mengatakan bahwa “kata penggusuran adalah dalil yang memprovokasi diri mereka sendiri.”

Selain itu, PTUN Bandung turut pula menyatakan mayoritas warga Tamansari menerima proyek pemerintah, sehingga tidak pas jika didefinisikan sebagai penggusuran.

Putusan pengadilan ini membuat hati Eva Aryani—yang sejak delapan tahun terakhir terus melawan penggusuran di Tamansari—hancur. Ia jatuh kecewa lantaran perjuangannya terasa sia-sia.

“Pemkot Bandung menutup mata dan menutup telinga, bagaimana kami sudah melayangkan beratus-ratus surat. Tapi mereka, enggak tahu dibaca atau enggak, tidak mengindahkan apa yang menjadi suara-suara kami,” ungkapnya.

Setelah putusan PTUN Bandung, Eva tak berhenti mencari keadilan meski harus berjalan seorang diri.

Ia mendatangi Komnas HAM, bertemu Ombudsman, dan beberapa kali mendirikan tempat tinggal di area yang sudah rata dengan tanah.

“Saya masih percaya, awalnya, bahwa kami sebagai warga negara dilindungi oleh konstitusi,” ujar Eva.

“Tapi, dengan adanya hal-hal yang seperti ini, saya pun menuntut keadilan.”

Ia kemudian menjelaskan alasan di balik kegigihannya memperjuangkan keadilan.

“Ayah dan ibu saya memperjuangkan bagaimana untuk mendapatkan rumah yang nyaman agar anak-anaknya berkehidupan dan berpendidikan dengan cukup.”

Selama masih bernapas, Eva akan terus melawan, walaupun rumahnya telah lenyap tak bersisa.

“Kalau kamu bertanya sekarang saya tinggal di mana?” kata Eva disusul hening sejenak.

“Saya enggak punya rumah lagi.”

Baca juga:

  • ‘Ini tanah nenek moyang kami, bukan tanah TNI AU’ – Puluhan tahun sengketa lahan dengan militer, warga di Majalengka lakukan ‘perlawanan kultural’
  • Perusahaan milik Keuskupan Maumere gusur ratusan rumah warga adat – ‘Kami tidak menyangka gereja bisa melakukan ini’
  • ‘Sertifikat ganda’ di Bekasi gusur rumah warga – Mengapa BPN terbitkan sertifikat di atas tanah sengketa?

Baca juga:

  • ‘Mereka adu domba kami’ – Masyarakat adat Solidaritas Merauke deklarasi menolak Proyek Strategis Nasional
  • Sorbatua Siallagan, kakek yang dituduh ‘menduduki’ hutan konsesi Toba Pulp Lestari divonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar
  • ‘Jangan sampai kami digusur’ – Warga Air Bangis minta penyelesaian konflik agraria

Baca juga:

  • Polisi tembakkan gas air mata ke warga Dago Elos – ‘Kami seperti di tengah perang’
  • Repetisi ‘brutalitas polisi’ dalam demonstrasi revisi UU Pilkada, mengapa terus berulang?
  • Sedikitnya 100 nyawa diduga melayang di tangan polisi dalam tiga tahun terakhir – ‘Mereka bukan sekadar angka, tapi nyawa manusia’

Baca juga:

  • ‘Terjadi pertarungan antara si kecil dan si besar’ – Penolakan aktivis dan petani terhadap Bank Tanah yang dinilai ‘merugikan masyarakat’
  • Konflik sawit dan penembakan berujung kematian warga di Seruyan: Akar persoalan muncul belasan tahun lalu, kenapa tak kunjung selesai?
  • Petani Desa Pakel di Banyuwangi ditangkap di tengah pusaran konflik agraria ‘warisan Orde Baru’

Baca juga:

  • Konferensi Asia Afrika di Bandung ‘monumental’, tapi apakah masih relevan?
  • Napak tilas kenang KAA Bandung 1955
  • Rencana patung raksasa Sukarno di Bandung Barat dikritik warganet dan pakar tata kota – ‘Apa manfaatnya? Untuk selfie aja?’
  • Kesaksian orang tua yang memutuskan pindah dari kota ‘tidak ramah anak’

Baca juga:

  • Pengadilan tanah dikhawatirkan rentan jadi ‘ruang suaka para mafia tanah’
  • Satgas Anti Mafia Tanah didesak kerja agresif untuk bongkar dan ringkus penyerobot tanah
  • Ibu kota baru di Kalimantan Timur: ‘Mulai muncul spekulan tanah, harga tanah naik’
  • ‘Ini tanah nenek moyang kami, bukan tanah TNI AU’ – Puluhan tahun sengketa lahan dengan militer, warga di Majalengka lakukan ‘perlawanan kultural’
  • Petani Desa Pakel di Banyuwangi ditangkap di tengah pusaran konflik agraria ‘warisan Orde Baru’
  • ‘Jangan sampai kami digusur’ – Warga Air Bangis minta penyelesaian konflik agraria

Berita Terkait

Tom Lembong Bersaksi! Sidang Eks Direktur PT PPI Memanas
Geopark Bojonegoro Bersiap Menembus Pengakuan Dunia Melalui Pengakuan UNESCO
Kisah Aldrich Ames, mata-mata CIA yang membocorkan rahasia untuk Uni Soviet
Letkol Teddy: Sekolah Rakyat Kunci Hidup Sejahtera! Ini Alasannya
Solo Raya Great Sale 2025: Gubernur & 7 Kepala Daerah Kirab Troli!
Hidden Gem di Jakarta Selatan, Tempat ini Bikin Kamu Lupa di Ibu Kota !!
5 Fakta Menarik Meksiko, Negara Warisan Peradaban Besar Dunia Lama
Gang Lama, Kenangan Baru dan Papan Kos yang Aneh di Sukagalih

Berita Terkait

Senin, 30 Juni 2025 - 17:38 WIB

Tom Lembong Bersaksi! Sidang Eks Direktur PT PPI Memanas

Senin, 30 Juni 2025 - 12:16 WIB

Geopark Bojonegoro Bersiap Menembus Pengakuan Dunia Melalui Pengakuan UNESCO

Senin, 30 Juni 2025 - 08:17 WIB

‘Bertaruh pada Api’ – Warga kampung di Kota Bandung melawan penggusuran

Senin, 30 Juni 2025 - 06:54 WIB

Kisah Aldrich Ames, mata-mata CIA yang membocorkan rahasia untuk Uni Soviet

Senin, 30 Juni 2025 - 00:49 WIB

Letkol Teddy: Sekolah Rakyat Kunci Hidup Sejahtera! Ini Alasannya

Berita Terbaru

Technology

Prabowo Resmikan! Pertamina NRE Jadi Kunci Ekosistem Baterai EV

Senin, 30 Jun 2025 - 17:45 WIB

Society Culture And History

Tom Lembong Bersaksi! Sidang Eks Direktur PT PPI Memanas

Senin, 30 Jun 2025 - 17:38 WIB

Fashion And Style

8 Paduan Warna Baju Terbaik untuk Rok Cokelat Susu: Modis!

Senin, 30 Jun 2025 - 17:24 WIB

Entertainment

Justin Bieber Ganti Nama IG, Netizen Ngakak! Ada Apa?

Senin, 30 Jun 2025 - 17:10 WIB