Fenomena BI Borong SBN: Mengurai Dampak pada Likuiditas dan Fungsi Intermediasi Perbankan
Bank Indonesia (BI) semakin aktif membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari perbankan di pasar sekunder, sebuah fenomena yang menandai perubahan signifikan dalam pengelolaan likuiditas di sektor keuangan nasional. Langkah BI ini kontras dengan praktik umum perbankan yang menempatkan dana pada instrumen tersebut untuk menjaga likuiditas.
Tren ini jelas terlihat dari peningkatan kepemilikan BI di SBN yang terus menanjak. Pada Desember 2023, kepemilikan BI tercatat Rp 1.095 triliun, dan melonjak hingga Rp 1.528 triliun per 8 Juli 2025. Sebaliknya, pada periode yang sama, kepemilikan SBN oleh perbankan justru menurun drastis, dari Rp 1.495 triliun pada Desember 2023 menjadi Rp 1.272 triliun per 8 Juli 2025. Pertukaran kepemilikan ini menjadi sorotan utama dalam dinamika pasar keuangan.
Menurut Pakar Ekonomi dan Owner PT Bejana Investidata Globalindo, Yanuar Rizky, tahun 2023 menjadi titik balik penting di mana BI intensif bertransaksi SBN dengan bank. Tujuannya adalah untuk memitigasi risiko penurunan harga SBN, terutama saat pasar sedang *volatile* dan aktivitas *trading* SBN antarbank meningkat yang dapat menekan harga.
Namun, Rizky memperingatkan adanya konsekuensi jangka panjang yang serius. Ia menyoroti pergeseran fokus perbankan yang kini cenderung bertumpu pada fungsi *treasury* atau pengelolaan aset, bukan lagi pada fungsi intermediasi inti mereka seperti penyaluran kredit. Dampak dari pergeseran ini kian terasa saat ini, terutama dengan likuiditas bank dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mulai seret. Per Mei 2025, pertumbuhan DPK perbankan hanya mencapai 4,29% secara tahunan (YoY), menyebabkan *Loan to Deposit Ratio* (LDR) mengetat hingga 88,16%. Kondisi ini problematis mengingat bank, khususnya BUMN, sedang mendapat banyak penugasan program pemerintah.
Rizky menambahkan, dengan minimnya DPK, bank berpotensi mengandalkan dana siaga dari BI dengan menjual surat berharga yang mereka miliki untuk menyalurkan kredit. “Jika SBN baru terus bertambah dan yang lama terus ditahan bank, maka stamina BI akan habis dan bank tidak memiliki dana siaga ke BI,” tegasnya kepada KONTAN, Kamis (10/7).
Menanggapi hal ini, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, menjelaskan bahwa pembelian SBN di pasar sekunder adalah bagian dari strategi BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah agar sesuai fundamental dan menjaga stabilitas pasar keuangan. Selain itu, langkah ini juga bertujuan untuk menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan, serta memperkuat ekspansi likuiditas kebijakan moneter.
Erwin menegaskan, “Kalau BI beli SBN di pasar sekunder akan menambah likuiditas di perbankan.” Ia merinci, selama tahun 2025 hingga 17 Juni 2025, BI telah mengakuisisi SBN sebesar Rp 124,33 triliun. Angka ini terdiri dari pembelian di pasar sekunder sebesar Rp 87,04 triliun dan pasar primer dalam bentuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN), termasuk syariah, sebesar Rp 37,29 triliun. “Secara akumulasi akan bertambah,” imbuhnya.
Respons dari perbankan terhadap dinamika likuiditas ini pun mulai terlihat. Beberapa bank telah mengurangi kepemilikan surat berharga mereka sejak awal tahun ini. PT Bank Mandiri Tbk, misalnya, meskipun kepemilikan surat berharga secara tahunan masih tumbuh 9,22% YoY menjadi Rp 224,65 triliun per akhir Mei 2025, angka tersebut justru lebih rendah dari posisi Januari 2025 yang senilai Rp 226,5 triliun.
Corporate Secretary Bank Mandiri, M Ashidiq Iswara, menjelaskan bahwa penempatan likuiditas pada instrumen SBN adalah salah satu alternatif aset produktif. Oleh karena itu, porsi penempatan dana pada surat berharga dapat berubah sesuai kebutuhan likuiditas bank, menyesuaikan dengan ekses likuiditas, permintaan klien (institusional maupun individual), *risk appetite* bank, dan pertumbuhan kredit. “Optimalisasi *asset liability management* bank menyesuaikan tren serta kondisi perekonomian,” ujarnya.
Senada, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), Lani Darmawan, menegaskan bahwa penempatan dana pada surat berharga sangat bergantung pada kondisi likuiditas bank. Jika bank membutuhkan likuiditas untuk kredit, porsi SBN akan dikurangi. “Untuk CIMB Niaga kami kurangi karena likuiditas kami gunakan untuk pinjaman,” jelasnya. Per Mei 2025, CIMB Niaga tercatat memiliki aset surat berharga senilai Rp 70,56 triliun, angka yang menunjukkan penurunan sekitar 4,49% YoY dan 13,61% sejak akhir tahun 2024.
Pergeseran kepemilikan SBN dari perbankan ke Bank Indonesia mencerminkan kompleksitas pengelolaan likuiditas di tengah tantangan pertumbuhan DPK dan kebutuhan penyaluran kredit. Dinamika ini menyoroti pentingnya strategi *asset liability management* yang adaptif bagi perbankan, sekaligus peran krusial BI dalam menjaga stabilitas pasar keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan moneternya.