Indonesia Resmi Bergabung dengan BRICS: Langkah Strategis atau Risiko Politik?
Keanggotaan Indonesia dalam BRICS, sebuah blok ekonomi berpengaruh yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, telah resmi diumumkan. Sekretaris Kabinet Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya menyatakan bergabungnya Indonesia sebagai inisiatif langsung Presiden Prabowo Subianto di tahun pertamanya memimpin, menunjukkan pentingnya peran Indonesia di panggung internasional. Pengumuman ini disampaikan bertepatan dengan kehadiran Presiden Prabowo di KTT BRICS 2025 di Rio de Janeiro, Brasil, yang mengangkat tema “Strengthening Global South Cooperation for More Inclusive and Sustainable Governance.”
Keikutsertaan Indonesia menandai babak baru bagi BRICS, yang kini beranggotakan sebelas negara, termasuk Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Etiopia, dan Iran. Blok ini kini mewakili 50% populasi dunia dan 35% PDB global. Presiden Prabowo, menurut Teddy, optimistis keanggotaan ini akan memperkuat posisi Indonesia secara global dan menekankan pentingnya kerja sama internasional untuk stabilitas dan kemakmuran dunia.
Namun, jalan menuju keanggotaan BRICS bagi Indonesia bukan tanpa sejarah. Wacana bergabung sempat mengemuka pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jokowi sendiri pernah menghadiri KTT BRICS di Johannesburg pada Agustus 2023, namun saat itu Indonesia masih dalam kapasitas sebagai Ketua ASEAN dan belum menyatakan komitmen resmi terhadap keanggotaan. Jokowi kala itu menekankan perlunya kajian mendalam sebelum mengambil keputusan. “Kita ingin mengkaji terlebih dahulu, mengkalkulasi terlebih dahulu, kita tidak ingin tergesa-gesa,” ujar Jokowi.
Keputusan bergabung ini, bagaimanapun, membawa konsekuensi. Fitriani, peneliti politik internasional dari IISS, mengingatkan potensi dampak negatif, yaitu potensi persepsi Amerika Serikat terhadap Indonesia sebagai negara yang lebih berpihak kepada Rusia dan Tiongkok, mengingat rivalitas politik dan ekonomi antara AS dan kedua negara tersebut. BRICS sendiri sering dipandang sebagai upaya untuk mengurangi dominasi dolar AS dalam perekonomian global.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Juli 2025, yang mengancam akan mengenakan tarif tambahan kepada negara mana pun yang mendukung kebijakan yang dianggap “anti-Amerika” dari kelompok BRICS. Ancaman serupa juga pernah dilontarkan pada 2024 terkait upaya BRICS untuk menciptakan mata uang alternatif. Oleh karena itu, bergabungnya Indonesia ke BRICS bukan hanya langkah strategis untuk memperkuat posisi ekonomi dan politik internasional, tetapi juga membawa risiko geopolitik yang perlu dipertimbangkan.