RAGAMHARIAN.COM – Dario Amodei, CEO perusahaan kecerdasan buatan Anthropic, menyuarakan kekhawatiran mendalam terkait dampak kecerdasan buatan terhadap lapangan pekerjaan. Dalam wawancara bersama Exios pada 28 Mei 2025, Amodei menyebut bahwa dunia sedang menuju fase krisis ketenagakerjaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, khususnya di sektor perkantoran.
Menurut Amodei, tren pemanfaatan AI yang semakin meluas di sektor profesional seperti teknologi, hukum, dan keuangan berpotensi menghapus setengah dari total pekerjaan di bidang-bidang tersebut. Ia bahkan menyebut potensi kehilangan pekerjaan ini sebagai “pertumpahan darah di pasar kerja” yang bisa terjadi dalam waktu satu hingga lima tahun mendatang.
Amodei menggambarkan situasi paradoks: di satu sisi, AI akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, bahkan bisa meningkatkan PDB hingga 10% per tahun, dan berkontribusi pada terobosan medis seperti pengobatan kanker. Namun di sisi lain, sekitar 1 dari 5 orang Amerika bisa kehilangan pekerjaan mereka akibat otomatisasi.
“Bayangkan saja, anggaran negara bisa seimbang, penyakit besar bisa ditaklukkan, tapi jutaan orang kehilangan penghidupan. Ini bukan skenario fiksi,” tegasnya.
Di saat korporasi besar seperti OpenAI, Google, hingga Microsoft mulai menggantikan pekerja manusia dengan model AI multitugas, Amodei menyayangkan minimnya kesadaran pemerintah. Menurutnya, hingga kini belum ada langkah signifikan dari pemerintah AS untuk mengelola atau memberikan peringatan terhadap potensi ancaman AI terhadap ketenagakerjaan.
“Masyarakat belum benar-benar menyadari apa yang sedang terjadi. Pemerintah pun belum bergerak. Ketika mereka sadar, bisa jadi semuanya sudah terlambat,” katanya.
Amodei yang pernah bekerja di Baidu, Google, dan OpenAI sebelum mendirikan Anthropic bersama saudara perempuannya, kini memimpin perusahaan yang dikenal luas berkat Claude, salah satu chatbot AI paling canggih di dunia.
Peringatan Amodei memperkuat kekhawatiran yang sebelumnya telah disuarakan oleh berbagai pemimpin teknologi. Microsoft misalnya, baru saja memangkas 6.000 karyawannya, mayoritas dari divisi pengembangan perangkat lunak. CEO Satya Nadella menyebut bahwa AI kini menulis 20–30% dari keseluruhan kode dalam beberapa proyek perusahaan.
Google pun melaporkan bahwa 30% dari kode baru dihasilkan oleh AI, naik signifikan dibandingkan tahun lalu. Sementara OpenAI memperkirakan AI saat ini sudah mampu menyelesaikan 50% dari pekerjaan pemrograman di perusahaan mitra mereka.
Mark Zuckerberg dari Meta bahkan menyebut AI kini mampu menggantikan kinerja seorang insinyur menengah, membuat posisi tersebut semakin tidak aman.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di perusahaan besar. Duolingo, Shopify, hingga Stripe juga mengambil langkah serupa. Duolingo, misalnya, secara bertahap menggantikan tenaga kerja manusia dengan AI. Shopify mengaku telah mengurangi peran tim manajemen karena AI terbukti lebih efektif dalam beberapa fungsi. Stripe bahkan merumahkan 300 pegawainya, kebanyakan dari tim teknik.
Klarna, penyedia layanan keuangan asal Swedia, menyatakan telah hampir berhenti merekrut karena mengandalkan AI untuk sebagian besar tugas operasional.
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan pandangan ini. Riset oleh ekonom dari National Bureau of Economic Research (NBER), Anders Humlum dan Emilie Vestergaard, menunjukkan bahwa penggunaan AI seperti chatbot memang membantu menyelesaikan tugas, tetapi belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan gaji atau pengurangan jam kerja karyawan. Studi ini melibatkan 25.000 responden dari berbagai sektor yang dinilai rentan terhadap penggantian oleh AI.