Berikut adalah peningkatan artikel berita yang Anda minta:
*
Mahkamah Konstitusi Mengubah Peta Politik: DPR Hadapi Tantangan Besar Rekayasa Konstitusi Pemilu 2029
Jakarta –** Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini dihadapkan pada pekerjaan rumah raksasa menyusul dua putusan krusial dari Mahkamah Konstitusi (MK). Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan penghormatan lembaganya terhadap putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal. Meski bersifat final dan mengikat, keputusan ini diakui Dasco cukup mengejutkan dan memicu tantangan besar bagi para pembuat undang-undang.
“Rekayasa konstitusi yang dimaksud oleh MK ini tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak cepat,” ujar Dasco kepada Tempo pada Jumat, 27 Juni 2025, menyoroti kompleksitas perubahan yang harus diakomodasi. Putusan ini bukan satu-satunya gebrakan MK. Sebelumnya, MK juga telah menghapus ambang batas pencalonan presiden atau *presidential threshold* 20 persen, sebuah keputusan yang dibacakan pada Kamis, 2 Januari 2025. *Presidential threshold* sendiri adalah batas perolehan suara atau kursi di parlemen yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Putusan pemisahan pemilu, yang merupakan hasil dari pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menjadi sorotan utama. MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem, khususnya terkait frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu, yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Dalam amar putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, MK memutuskan pemilu lokal akan dipisahkan dari pemilu nasional, dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Implikasi putusan ini sangat besar. Pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah (Pilkada). Dengan demikian, format “Pemilu 5 Kotak” yang dikenal selama ini tidak akan lagi berlaku untuk Pemilu 2029, menandai babak baru dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia. Dasco sendiri mengakui bahwa pelaksanaan pemilu serentak sebelumnya kerap menimbulkan masalah, mulai dari kelelahan saksi hingga petugas penghitungan surat suara, yang berpotensi mencederai proses demokrasi.
Seiring dengan putusan pemisahan pemilu, MK juga merekomendasikan pembentuk undang-undang—yakni DPR dan pemerintah—untuk segera mengatur masa transisi atau masa peralihan jabatan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan tanggal 27 November 2024, serta anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan 14 Februari 2024. Mahkamah menekankan pentingnya melakukan rekayasa konstitusional atau *constitutional engineering* guna mengakomodasi perubahan masa jabatan tersebut.
Menanggapi kompleksitas ini, Ketua Harian Partai Gerindra itu menyatakan dirinya bersama anggota DPR akan segera berembuk dengan fraksi-fraksi. Pertimbangan utama adalah apakah dua putusan MK yang menuntut “rekayasa konstitusi” ini memerlukan percepatan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. Senada dengan Dasco, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Agustyati, melihat putusan MK ini sebagai momentum emas bagi DPR dan pemerintah untuk merevisi undang-undang secara komprehensif. Khoirunnisa menyerukan agar kedua lembaga segera membahas revisi UU Pemilihan Umum dan Pilkada melalui kodifikasi. “Pembahasannya harus segera, harus gabung, ya,” tegasnya.
Tugas besar kini menanti DPR dan pemerintah untuk menerjemahkan putusan MK ini ke dalam kerangka hukum yang baru. Rekayasa konstitusi ini tidak hanya akan mengubah teknis pelaksanaan pemilu, tetapi juga berpotensi membentuk ulang arsitektur demokrasi Indonesia ke depannya.