Tragedi Gigitan Ular Weling: Kisah Rafa, Perjuangan Nurul, dan Ancaman Terabaikan di Indonesia
Pekalongan berduka. Rafa, seorang bocah berusia 11 tahun, mengembuskan napas terakhirnya pada Minggu, 20 Juli 2025, setelah sebulan berjuang melawan bisa ular weling. Insiden tragis yang berujung pada kematiannya terjadi saat ia menjalani perawatan intensif di RSUP Dr. Kariadi Kota Semarang, Jawa Tengah. Kasus Rafa menjadi pengingat pahit akan bahaya tersembunyi gigitan ular berbisa yang kerap merenggut nyawa di Indonesia.
Menurut kuasa hukum keluarga Rafa, Imam Maliki, insiden naas itu menimpa Rafa pada 16 Juni 2025, dini hari, saat ia terlelap tidur. “Dari keterangan pihak keluarga, kronologis awal pada Senin (16/06) pukul 04.00 WIB, adik RR sedang tidur. Ibunya kaget karena ular melewatinya, kemudian ular menggigit anaknya,” tutur Imam kepada *Detik.com*. Diketahui kemudian, Rafa digigit ular weling yang diduga jatuh dari plafon rumahnya.
Kejadian yang menimpa Rafa memiliki kemiripan dengan pengalaman Nurul Hidayah, warga Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur. Nurul juga digigit ular saat terlelap di malam hari. Terbangun karena merasakan sesuatu merayap, ia terkejut menemukan seekor ular belang di dekatnya. Ular tersebut, yang diduga adalah ular welang atau ular weling – dua spesies berbisa yang umum di Jawa dengan pola belang khas (welang hitam-kuning, weling hitam-putih) – berhasil disingkirkan tanpa dibunuh.
Anehnya, Nurul tidak merasakan sakit apa pun setelah gigitan itu, bahkan ia sempat kembali tidur. Namun, pada pukul 02.30 dini hari, ia merasakan sekujur tubuhnya tak enak. Gigitan ular weling atau welang memang terkadang sulit divisualisasikan, seperti yang dijelaskan dalam buku *Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa Dan Keracunan Tumbuhan serta Jamur* terbitan Kementerian Kesehatan pada tahun 2023. “Saya bangunin kakak saya, kok rasanya begini,” kenang Nurul. Setelah diantar ke rumah sakit, ia kehilangan kesadaran selama empat hari, dirawat di ICU selama 13 hari, dan dipindahkan ke kamar perawatan selama 26 hari.
Meski kondisinya belum pulih sepenuhnya, Nurul diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit Kertosono. “Tapi sebetulnya masih belum sembuh, masih tremor (gemetar) dan sering kejang,” ujarnya. Dua minggu di rumah, Nurul kembali dilarikan ke rumah sakit karena kambuh, dan seminggu kemudian ia menjalani rawat jalan. Enam bulan berlalu, kondisi Nurul tak pernah kembali normal. Jantungnya kerap berdebar-debar, tekanan darahnya mencapai 101/77 dengan denyut jantung 120, dan ia kesulitan duduk, berjalan, bahkan harus menggunakan kursi roda. “Saya bingung dan akhirnya bekam, malah lebih parah, saya ingin cari obat dan cepat sembuh, harapannya seperti itu. Ini sudah tidak punya apa-apa, dijual untuk pengobatan. Saya ingin cepat sembuh, anak juga masih kecil-kecil,” pungkas Nurul pilu.
Ular Berbisa dan Ancaman Kematian yang Tak Terdata
Kisah Nurul hanyalah satu dari sekitar 135.000 kasus gigitan ular yang tercatat setiap tahun di Indonesia, di mana 10% di antaranya berujung pada kematian. Mirisnya, angka ini diperkirakan jauh lebih tinggi karena banyaknya kasus yang tidak tercatat. “Datanya kacau balau di sini, karena ada pasien gigitan ular yang berobat ke dukun, atau meninggal di rumah, tidak tercatat, itu banyak. Dalam kondisi begini, data kita tidak valid,” ungkap dokter Tri Maharani, satu-satunya dokter di Indonesia yang memiliki keahlian khusus di bidang racun bisa ular.
Fenomena gigitan ular berbisa memang bukan hal baru di Indonesia. Cukup dengan mengetikkan “gigitan ular berbisa” di mesin pencari, kita akan menemukan berbagai laporan korban dalam beberapa hari atau minggu terakhir. Akhir Juni lalu, seorang warga Subang, Jawa Barat, ditemukan meninggal di tepi empang setelah dipatuk ular untuk keempat kalinya. Sementara itu, sejak awal tahun 2025, Ketua Sahabat Relawan Indonesia (SRI) Muhammad Arif Kirdiat melaporkan bahwa setidaknya empat warga Suku Badui meninggal dunia akibat gigitan ular dari total 36 korban patukan saat membuka ladang pertanian. “Kami melaporkan sejak Januari sampai 22 Mei 2025, tercatat 36 warga Suku Badui Dalam dan Badui Luar yang menjadi korban gigitan ular tanah dan empat di antaranya meninggal dunia,” katanya.
Untuk menyelamatkan jiwa korban, relawan merujuk masyarakat Badui yang digigit ular berbisa ke RSUD Banten yang memiliki serum antibisa ular (ABU). Ini menjadi langkah krusial dalam penanganan awal.
Secara global, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 5,4 juta orang tergigit ular setiap tahunnya, dengan 2,7 juta di antaranya adalah kasus gigitan ular berbisa. Jumlah kematian mencapai rentang 80.000-140.000 kasus. Gigitan ular juga menyebabkan amputasi atau disabilitas permanen, menjadikannya ‘masalah kesehatan masyarakat yang terabaikan (neglected public health issue)’, dengan mayoritas korban adalah pekerja agrikultural dan anak-anak.
Keanekaragaman Ular Berbisa di Indonesia
Indonesia, sebagai negara tropis yang hangat dan lembap, adalah habitat ideal bagi berbagai spesies ular. Dari sekitar 3.700 hingga 4.000 spesies ular di dunia, sekitar 349 spesies di antaranya hidup di Indonesia, menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Namun, hanya 77 jenis saja yang berbisa.
Ular-ular di Indonesia terbagi dalam dua kelompok utama: tipe wilayah Asia (Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara) dan tipe wilayah Australia (Maluku dan Papua). Meskipun demikian, menurut Amir Hamidy, peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, tidak semua jenis ular memiliki karakteristik khas yang mudah dikenali 100%.
Beberapa ular memang mendiami hutan-hutan pedalaman atau *secondary forest*, namun ada pula spesies yang telah beradaptasi dengan lingkungan manusia dan harus diwaspadai, seperti ular kobra Jawa.
Konflik Ular-Manusia: Mengapa Jawa Menjadi Episentrum?
Menariknya, pusat konflik antara manusia dan ular di Indonesia justru terpusat di Jawa, bukan di hutan lebat Maluku, Papua, atau Sumatra yang memiliki jumlah spesies ular lebih banyak. “Karena di Indonesia ini hampir 60% penduduknya terkonsentrasi di Jawa. Jadi otomatis Jawa itu menjadi pusat potensi konflik terbesar terhadap ular berbisa,” jelas Amir Hamidy. Meskipun Papua mungkin memiliki lebih banyak spesies ular berbisa, kepadatan penduduknya tidak sepadat Jawa.
Dari seluruh spesies ular terestrial di Jawa, hanya sekitar 5% atau sekitar 13 jenis yang berbisa, sisanya 95% tidak berbahaya bagi manusia. Tiga spesies yang paling sering terlibat dalam konflik adalah Kobra Jawa, ular tanah, dan ular welang.
Bisakah Manusia Hidup Berdampingan dengan Ular?
Manusia dan ular telah lama hidup berdampingan. Ular bahkan berperan sebagai ‘sahabat’ petani dalam mengendalikan hama tikus di sawah. Bahkan ketika lingkungan berubah menjadi kota padat, ular tetap mampu beradaptasi. “Katakanlah di Jakarta. Jakarta itu kurang apa padat apa? Padat penduduknya. Ular yang paling banyak apa? Kobra. Dan kobra itu bisa hidup di situ,” kata Amir, menambahkan bahwa ular bisa beradaptasi karena makanan mereka juga tersedia di ekosistem kota.
“Kita sadar mereka nggak akan menghilang. Mereka habitatnya juga di situ,” ujarnya. Yang bisa dilakukan adalah berbagi ruang dan mengenali risiko bahaya. Ular berbisa umumnya aktif di malam hari, sejalan dengan aktivitas tikus, sehingga secara ekologi waktu aktif manusia dan ular berbeda.
Amir juga menyoroti bahwa jarang ada kasus gigitan *king kobra* secara alami; sebagian besar korbannya adalah mereka yang memelihara ular jenis ini. Sementara itu, ular tanah sering menjadi penyebab gigitan karena sifatnya yang berdiam diri dan warnanya yang menyerupai daun, sehingga sering terinjak.
Mencegah Risiko dan Menangani Racun Ular
Gigitan ular bisa terjadi kapan saja, namun sebagian besar insiden terjadi pada malam hari. Oleh karena itu, meningkatkan kewaspadaan di malam hari atau menghindari aktivitas di luar ruangan saat gelap dapat meminimalkan risiko. Menghindari tidur di lantai juga merupakan upaya pencegahan, terutama untuk ular yang sering melata. Memelihara kucing atau anjing juga dapat menjadi ‘alarm’ karena hewan-hewan ini seringkali menyadari keberadaan ular lebih dulu.
Yang terpenting, masyarakat perlu mengenali ular berbisa. “Sebenarnya mengenali ular yang berbisa itu jauh lebih mudah daripada mengenali ular yang tidak berbisa. Karena (ular) yang berbisa ya hanya itu-itu saja,” tegas Amir Hamidy.
Beberapa ciri umum ular berbisa antara lain:
* Kepala berbentuk segitiga (tidak selalu, karena ada ular tidak berbisa dengan kepala segitiga dan ada ular berbisa dengan kepala oval).
* Cenderung memiliki warna yang mencolok (namun tidak mutlak, ada ular berbisa yang tidak mencolok).
* Kelompok ular berbisa tidak memiliki sisik di depan mata, dengan sisik di depan hidung langsung menempel.
* Memiliki taring di bagian mulut, yang sebagian tersembunyi atau tidak.
Mengenali pusat kesehatan terdekat juga sangat krusial. Menurut WHO, dua langkah paling cepat dan efektif dalam meminimalkan risiko gigitan ular berbisa adalah tidak menggerakkan bagian tubuh yang tergigit dan segera menuju fasilitas kesehatan terdekat.
Penanganan Gigitan Ular Berbisa: Meluruskan Mitos dan Minimalkan Risiko
Dokter Tri Maharani menyayangkan masih banyak pertolongan pertama yang tidak dilakukan dengan benar akibat rendahnya literasi. “Pada zaman dulu orang yang terkena bisa ular penanganannya dengan disedot, diikat kencang, akhirnya nekrosis, diamputasi,” jelasnya. Penanganan keliru ini bahkan sering berujung pada kematian.
Padahal, pertolongan pertama yang tepat adalah dengan membuat pasien tidak banyak bergerak atau imobilisasi. Gerakan berlebihan dapat memicu kontraksi otot yang mengaktifkan kelenjar getah bening, mempercepat penyebaran bisa. Dokter Maharani menekankan pentingnya pemahaman bahwa keracunan bisa ular membutuhkan hitungan detik hingga menit untuk mencapai kematian, sangat berbeda dengan kanker atau serangan jantung yang mendapat prioritas perhatian lebih tinggi.
Perhatian Minim dan Belum Menjadi Prioritas Nasional
Ironisnya, meskipun ada 135.000 kasus gigitan ular per tahun di Indonesia dan 10% spesies ular berbisa di dunia berada di Tanah Air, penyediaan serum antibisa serta seluruh rantai pelayanan medis terkait gigitan ular berbisa belum menjadi prioritas pemerintah. Dokter Maharani bahkan harus merogoh kocek pribadi untuk membeli antibisa bagi pasiennya, karena ketersediaannya yang terbatas dan kurangnya dukungan. Hampir 90% serum antibisa yang digunakannya dibeli dengan uang pribadinya.
Kurangnya dukungan negara juga terlihat dari fakta bahwa Dokter Maharani menjadi satu-satunya ahli toksinologi di Indonesia. Beasiswa dan kesempatan belajar di bidang ini lebih banyak didapatkan di luar negeri. Maharani pernah berkeinginan membuat pendidikan toksinologi di Indonesia, namun tidak ada dukungan. “Siapa mau riset sendiri, karena tidak dibayar? Sekolah pun saya bayar sendiri. Kurangnya dukungan yang nyata dari institusi negara dan masyarakat, menyebabkan tidak banyak orang yang mau belajar toksinologi. Menunggu pengertian mereka menjadi paham,” terangnya. Sebagai penasihat WHO, Maharani berharap Indonesia dapat mengikuti jejak negara lain yang telah menunjukkan perhatian dan dukungan nyata terhadap perkembangan toksinologi.
Ketersediaan Antibisa dan Tantangan Logistik
Serum antibisa tidak bisa sembarangan digunakan; jenis bisa tertentu memerlukan penawar spesifik. Sayangnya, tidak mudah mendapatkan penawar racun ular, dan kebanyakan diproduksi di luar negeri seperti Australia dan Thailand. Di Thailand, pengembangan antibisa bahkan mendapat dukungan penuh dari kerajaan. “Thailand itu bisa memproduksi antibisa ular yang kering. Sehingga bisa sangat *mobile* (mudah ditransportasi). Dan itu bisa *expired* lima tahun. Sehingga harus disimpan di suhu ruangan pun tidak masalah,” jelas Amir Hamidy. Berbeda dengan produksi di Indonesia yang memerlukan suhu 4 derajat Celcius, sehingga transportasinya membutuhkan pendingin.
Secara umum, antibisa sudah cukup tersedia di berbagai puskesmas dan fasilitas kesehatan, jauh lebih baik dari 30 tahun lalu. Indonesia sudah memiliki antibisa untuk tiga spesies ular yang paling sering menyebabkan gigitan: kobra Jawa, ular tanah, dan welang. Namun, antibisa untuk jenis lain seperti ular weling dan ular hijau masih belum tersedia.
Terkait hal ini, dokter Maharani mengungkapkan bahwa Kementerian Kesehatan telah menganggarkan Rp15 miliar per tahun untuk pengadaan antibisa melalui dana hibah, yang melayani pasien BPJS di seluruh Indonesia. Ada harapan baru, pada 2024 lalu Maharani bersama UGM berhasil mengembangkan antibisa baru yang akan diuji coba produksinya pada 2025. Ia berharap akan lebih banyak antibisa baru yang bisa diproduksi di dalam negeri.
Panduan dan Aplikasi Digital untuk Penanganan Cepat
Sebagai upaya meningkatkan literasi dan penanganan, dokter Maharani pada tahun 2019 ditugaskan Kementerian Kesehatan untuk membuat buku pedoman terkait penanganan kasus bisa ular, termasuk pedoman keracunan alami dan non-alami. Buku ini menjabarkan langkah antisipasi, APD yang digunakan, pertolongan pertama, rekomendasi obat, hingga jenis ular dan fase yang dialami korban. Buku ini juga mencakup penanganan hewan berbisa lain seperti ubur-ubur, kalajengking, semut, bulu babi, ikan pari, serta tanaman dan jamur beracun. “Buku itu bisa jadi pedoman, masyarakat juga bisa memakainya, tapi untuk terapi tetap dilakukan oleh nakes atau named,” kata Maharani.
Untuk sengatan ubur-ubur misalnya, cukup diberikan cuka sebagai pertolongan pertama. Sementara sengatan tawon atau lebah cukup diatasi dengan kompres es batu. “Penanganan-penanganan itu tadi ada semua untuk pertolongan pertama, yang penting setelah itu harus segera menghubungi *public safety center* untuk kegawatdaruratan, misalnya di Surabaya 112, 119, kalau Jakarta 118,” ujarnya.
Selain buku pedoman, masyarakat juga dapat memanfaatkan aplikasi *Virtual Poison Center* yang dapat diunduh di perangkat digital. Aplikasi ini menyediakan petunjuk penanganan kasus keracunan bisa ular, hewan, dan tumbuhan, serta informasi kontak ahli dan fasilitas kegawatdaruratan terdekat. “Harapannya bisa segera terintegrasi dengan aplikasi Satu Sehat. Akan memudahkan bila ada bantuan virtual yang bisa diakses banyak orang,” imbuh Maharani.
*Wartawan Petrus Riski di Jawa Timur turut berkontribusi dalam artikel ini.*
Baca juga:
* Antivenom ‘luar biasa’ dibuat berkat pria AS yang digigit ular lebih dari 200 kali
* Mengapa begitu banyak orang yang meninggal karena gigitan ular?
* Bagaimana ular bisa bertahan hidup mengalahkan dinosaurus?