DPR setuju tambah anggaran Kementerian Transmigrasi hingga Rp1,7 triliun – Mengapa transmigrasi digencarkan?

Avatar photo

- Penulis Berita

Kamis, 17 Juli 2025 - 05:15 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui penambahan anggaran lebih dari Rp1,7 triliun untuk Kementerian Transmigrasi—mengubah secara signifikan perolehan dana yang diterima lembaga ini pada 2025 menjadi Rp1,89 triliun. Angka yang tidak sedikit itu sekaligus menggambarkan ambisi pemerintah dalam menjalankan kebijakan transmigrasi. Mengapa transmigrasi masih digencarkan walau mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat?

Penambahan anggaran tersebut, ungkap Menteri Transmigrasi, Ifititah Sulaiman, akan digunakan untuk mendukung lima program unggulan kementeriannya. Sisanya dipakai dalam rangka dukungan manajemen.

“Komposisi atas ABT [Anggaran Belanja Tambahan] dialokasikan untuk program transmigrasi sebesar 80,34% dan untuk dukungan manajemen sebesar 19,66%,” jelasnya, Senin (7/7) lalu.

Program prioritas Kementerian Transmigrasi antara lain percepatan sertifikasi lahan, pembangunan infrastruktur dasar, sampai pemberdayaan ekonomi masyarakat. Semuanya ditempuh di kawasan transmigrasi.

Tidak lama setelah informasi penambahan anggaran ini dipublikasikan, perdebatan muncul di media sosial, menanggapi isu Kalimantan yang akan dijadikan salah satu target transmigrasi.

Beberapa media lokal di Kalimantan menampung suara keberatan dari warganet yang menganggap pemerintah tidak fokus pada isu paling mendasar: pembukaan lapangan kerja.

BBC News Indonesia telah berupaya meminta konfirmasi ke Kementerian Transmigrasi perihal nama Kalimantan yang santer diwacanakan menjadi area utama transmigrasi.

Sementara Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalimantan Tengah, Farid Wajdi, menyatakan bahwa tiga kabupaten di daerahnya—Kapuas, Sukamara, dan Kotawaringin Barat—sudah ditunjuk pemerintah sebagai wilayah transmigran.

“Ketiga kabupaten tersebut telah memiliki kawasan transmigrasi yang ditetapkan oleh menteri,” ujar Farid, Rabu (9/7).

Ketiga daerah itu, rencananya, akan menerima transmigran dari Jawa dan Bali. Jumlahnya, secara pasti, belum diketahui.

Warga lokal di Kalimantan berpendapat kebijakan transmigrasi harus direncanakan dengan baik agar tidak memicu konflik antarmasyarakat.

Tiga akademisi dan peneliti yang BBC News Indonesia hubungi menyatakan program transmigrasi perlu dilakukan dengan hati-hati. Selain agar “tidak memindahkan kemiskinan” ke wilayah lain, transmigrasi juga harus memberikan pengakuan kepada penduduk lokal, di samping komunikasi publik yang jelas dan transparan.

“Saya kira, mungkin, Kementerian Transmigrasi yang sekarang ini, dengan program-program yang baru ini, mungkin, bisa belajar dari ketidakberhasilan yang dulu-dulu, kegagalan yang dulu,” tandas peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Penolakan transmigrasi dari Kalimantan ke Papua

Wacana pengiriman transmigran ke Kalimantan menuai penolakan di kalangan masyarakat.

Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Kalimantan, dalam pernyataan resminya, tidak sepakat dengan keinginan pemerintah untuk menjadikan Kalimantan sebagai lahan transmigrasi.

“Tanah Borneo bukan ruang kosong untuk diisi sesuka hati,” tulis mereka.

“Transmigrasi yang tidak berpihak dan tanpa keadilan sosial hanya akan menciptakan luka baru di tanah yang sudah lama terpinggirkan.”

Aliansi mahasiswa, pada dasarnya, “tidak antiperubahan,” sebut mereka. Tapi, mereka meneruskan, “menuntut keadilan dan keterlibatan masyarakat adat dan lokal dalam setiap rencana pembangunan.”

Serupa, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Sambas, Kalimantan Barat, mengutarakan kegelisahannya ihwal transmigrasi.

Mereka menuturkan program transmigrasi di Kalimantan “berpotensi menimbulkan ketimpangan sosial.”

Pasalnya, “para transmigran difasilitasi secara khusus sementara masyarakat lokal justru bisa kehilangan akses terhadap sumber daya yang selama ini mereka kelola,” begitu pernyataan PMKRI Sambas.

Pemuda Dayak Kalimantan Barat “meminta pemerintah berlaku adil terhadap masyarakat lokal” karena “transmigrasi selama ini disertai fasilitas rumah, tanah, dan pekerjaan.”

“Namun, mirisnya, masyarakat lokal tempat transmigran ditempatkan ada yang tidak mempunyai tanah, pekerjaan, bahkan masih ada rumah mereka yang tidak layak huni,” kata mereka.

Ini kali kedua program transmigrasi ditanggapi dengan penolakan dari masyarakat. Pada November 2024 lalu, aksi serupa terjadi di Papua.

Kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa di Jayapura melangsungkan demonstrasi menentang program transmigrasi yang dianggap tidak memihak ke masyarakat lokal.

Bermacam poster bertuliskan “Papua Bukan Tanah Kosong,” “Tolak Transmigrasi Papua,” hingga “Transmigrasi Bentuk Nyata Kolonialisme” mengiringi demonstrasi itu.

Pemerintah berencana mengirim transmigran ke Papua untuk, satu di antaranya, mendukung program lumbung pangan (food estate).

Kementerian Transmigrasi meluruskan bahwa kebijakan ini tidak memindahkan penduduk dari pulau lain, melainkan fokus di wilayah Papua.

Rojali Ahmad lahir dan besar di Desa Rasau Jaya Umum, Kalimantan Barat. Dia melihat bagaimana perubahan area di sekitar tempat tinggalnya yang dulu banyak dipenuhi hutan dan semak belukar kini menjadi permukiman penduduk, tidak terkecuali untuk transmigran.

Lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai petani itu mengakui hubungan masyarakat lokal di Rasau Jaya Umum dengan transmigran dari Jawa harmonis.

Kedua belah pihak sama-sama mencari nafkah dan merawat daerah tempat tinggal mereka.

Tapi, Rojali tidak menampik bahwa dalam beberapa kesempatan terdapat masalah.

“Secara umum tidak. Ada beberapa kasus dilakukan beberapa pihak [transmigran],” ucapnya kepada BBC News Indonesia, Kamis (10/7).

Masalah yang hadir ialah perihal kewilayahan. Transmigran dari Jawa diduga, menurut keterangan Rojali, yang pernah menjabat Kepala Desa Rasau Jaya Umum, “mengambil wilayah di luar pemetaan kawasan transmigrasi.”

“Yang mana, sampai hari ini juga, masih menimbulkan konflik keperdataan, kepemilikan,” sambungnya.

Rojali menilai masalah kewilayahan ini pelik dan dampaknya merugikan untuk masyarakat lokal di Pulau Kalimantan.

“Yang jelas itu wilayah masyarakat lokal, [masyarakat] desa setempat. Tapi, oleh beberapa transmigran itu, dianggap masuk wilayah transmigrasi,” sebut Rojali.

Kebijakan transmigrasi, dalam benak Rojali, dapat memberikan efek positif kepada komunitas yang ada, baik dari sisi masyarakat lokal maupun transmigran itu sendiri.

Namun, pemerintah tidak boleh membiarkan perkara pertanahan menghambat jalannya program.

Rojali berharap pemerintah, sejak awal, melakukan penataan yang jelas antara satu desa dengan desa lainnya; mana yang memang menjadi wilayah administratif masyarakat lokal, mana yang ditujukan untuk transmigran.

“Supaya tidak meningkatkan risiko konflik kewilayahan atau pertanahan di hari-hari mendatang,” tegasnya.

Di Desa Sungai Durian, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Rebo, lelaki asal Blitar, Jawa Timur, pertama kali datang ke Kalimantan pada 1955, mengikuti perjalanan kedua orang tuanya.

Orang tua Rebo hendak mencari penghidupan yang lebih layak, dan pemerintahan Sukarno menyediakan peluang itu melalui transmigrasi.

“Memang berangkat dari keinginan orang tua. Di sana [Jawa] tidak punya aset. Yang penting, bagi mereka, bagaimana caranya menyejahterakan anak-anaknya,” cerita Rebo kepada BBC News Indonesia, Kamis (10/7).

Usaha orang tua Rebo tidak mulus.

Tatkala tiba di Kalimantan, lahan yang dijanjikan pemerintah ternyata belum siap. Orang tua Rebo dan transmigran lainnya lalu mengurusnya sendiri.

“Orang tua kami ini, transmigrasi di sini, seperti ditelantarkan,” aku Rebo.

“Ada semacam perbedaan perlakuan kepada transmigran yang datang pada 1955 dan yang tiba 1970-an. Yang 1970-an itu seperti lebih diperhatikan,” imbuhnya.

Status transmigran di Kubu Raya, Rebo berkisah, sempat menjadi polemik dengan pemerintah di Kalimantan Barat pada 1980-an. Pemerintah tidak mengakui bahwa pendatang dari Jawa adalah kelompok transmigran.

Aksi demo lantas ditempuh Rebo.

“Kami dibilang bukan transmigran karena tidak punya bukti. Itu yang membuat saya marah. Kami ini warga Indonesia, bukan Belanda,” dia mengenang momen saat itu.

“Kalau mau minta bukti, tanyanya ke pemerintah, bukan masyarakatnya.”

Masalah berangsur terselesaikan setelah warga beraudiensi dengan Gubernur Kalimantan Barat periode 1977-1988, Soedjiman.

“Aku tanya ke Gubernur Soedjiman, ada tidak [bukti kami itu transmigrasi]? Dia bilang ada,” tambah Rebo.

Rebo memandang terdapat perbedaan cukup signifikan antara transmigrasi dulu dan sekarang, terlebih dari aspek pemenuhan infrastruktur, yang kini dirasakan anak dan cucunya.

Dari segi hubungan dengan masyarakat lokal pun Rebo menilai tidak ada masalah, bahkan relasi yang terbangun “sudah seperti saudara,” ujarnya.

Tapi, tutur Rebo, “gesekan sosial muncul di Sambas dan Sanggau Ledo.”

Estimasi Rebo menyebut pendatang di area Kubu Raya jumlahnya mencapai sekitar 10.000 orang.

Klaim pemerintah: ‘Kini arah transmigrasi jelas’

Pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, terdapat 52 Kawasan Transmigrasi Prioritas Nasional sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.

Pemerintah mengaku bahwa seluruh kawasan tersebut “merupakan kawasan yang sudah ada sebelumnya dan diagendakan untuk direvitalisasi dan dapat bertumbuh secara multidimensi.”

Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian, “kawasan transmigrasi” didefinisikan sebagai satu wilayah terpadu yang berisikan permukiman serta tempat usaha masyarakat transmigran, yang dipindahkan dari satu daerah ke daerah lain secara permanen—menetap.

Angka kawasan transmigrasi yang masuk prioritas mengalami perubahan bertepatan dengan pergantian rezim. Saat pemerintahan Prabowo Subianto berjalan, sekitar 45 kawasan ditetapkan prioritas, dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

Sampai hari ini, Kementerian Transmigrasi menyatakan terdapat 419 kawasan transmigrasi yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan 153 di antaranya dinilai perlu memperoleh perhatian khusus. Dari 153 itu, mayoritas berada di Kalimantan, Sulawesi, serta Sumatra.

Pemerintahan Prabowo sendiri menyusun lima program prioritas untuk transmigrasi.

Ada penyelesaian legalitas lahan dan sertifikasi tanah yang belum clean and clear (diberi nama ‘Trans Tuntas’).

Lalu kebijakan transmigrasi tidak cuma berfokus dengan perpindahan penduduk antarpulau, melainkan bisa ditempuh di pulau yang sama (‘Transmigrasi Lokal’).

Empat lokasi sudah ditunjuk pemerintah untuk menjadi pilot project program tersebut.

Di Indonesia bagian barat, pilihannya adalah Kepulauan Natuna, Kepulauan Anambas, serta Kawasan Barelang—mencakup Pulau Batam, Pulau Rempang, dan Pulau Galang.

Pemerintah menuturkan ketiga daerah itu merupakan “poros maritim yang nantinya menjelma satu kesatuan yang utuh.”

Sementara di wilayah timur, daerah Salor, di Merauke, Papua Selatan, diputuskan sebagai pilot project. Untuk Indonesia bagian tengah, kemungkinan opsinya mengerucut di dua tempat: Maloy (Kalimantan Timur) dan Polewali Mandar (Sulawesi Barat).

Penciptaan lapangan kerja di kawasan transmigrasi turut didorong dalam ‘Transmigrasi Karya Nusantara,’ kata pemerintah.

Selain itu, pemerintah membuka kesempatan untuk partisipasi pihak lainnya, terutama swasta, dalam kaitan pembiayaan demi terciptanya kawasan mandiri serta berdaya saing (‘Transmigrasi Gotong Royong’).

“Karena kita tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Kita targetkan investor dapat melihat secara langsung kawasan transmigrasi percontohan yang ideal dan baik, sebelum akhirnya berinvestasi ke kawasan transmigrasi lain,” papar Menteri Transmigrasi, M. Ifititah Sulaiman, November 2024.

Dan terakhir, lewat ‘Transmigrasi Patriot,’ pemerintah hendak membentuk kaderisasi dan pelatihan SDM (Sumber Daya Manusia) untuk nantinya dipersiapkan guna membangun kawasan transmigrasi secara berkelanjutan. Sasarannya adalah mahasiswa.

Pemerintah membuat klaim program ini “diserbu para pendaftar,” melebihi kapasitas yang disediakan.

Tidak hanya itu, Kementerian Transmigrasi mengungkapkan kesanggupannya untuk membantu Kementerian Pertanian dengan “menyiapkan” 100.000 transmigran dalam kurun waktu lima tahun. Tujuannya: mempercepat swasembada pangan.

“Karena nanti ada lahan-lahan pertanian yang tersedia untuk mencapai swasembada pangan, Kementerian Transmigrasi akan menyediakan tenaga kerjanya, berikut dengan perumahannya,” sebut Iftitah.

Pemerintah menuturkan paradigma transmigrasi, kiwari, tidak disusun dari atas ke bawah (top-down), melainkan juga dari bawah ke atas (bottom-up). Pendeknya, pemerintah daerah bisa mengusulkan pelaksanaan program transmigrasi.

“Sekarang keinginan adanya transmigrasi bisa diusulkan oleh pemerintah daerah,” terang Wakil Menteri Transmigrasi (Wamentrans), Viva Yoga Mauladi, Februari silam.

Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan transmigrasi di Indonesia “tentunya mengalami perubahan dan adaptasi terhadap perkembangan zaman.”

“Kini, Indonesia di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, memiliki arah [transmigrasi] yang jelas,” tegas AHY, Juni lalu.

Jalan panjang transmigrasi, dipenuhi masalah dan masalah

Peneliti demografi, Riwanto Tirtosudarmo, menerangkan transmigrasi—memindahkan penduduk dari satu area ke area lainnya—punya jejak histori yang panjang, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

“Kebijakan ini bisa dibilang peninggalan [pemerintah] kolonial [Belanda],” ucapnya ketika diwawancarai BBC News Indonesia, Rabu (9/10).

Transmigrasi, Riwanto melanjutkan, pertama kali diadakan pada 1905. Kala itu, pemerintah kolonial Belanda mengirim sekitar 155 Kepala Keluarga (KK) dari Pulau Jawa ke Lampung.

Kebijakan ini dikenal dengan kolonisatieproof—atau ‘kolonisasi’ apabila digubah ke Bahasa Indonesia.

Program transmigrasi dibiayai sepenuhnya oleh Belanda. Para transmigran dibekali bahan makanan—untuk satu tahun—dan berbagai peralatan rumah tangga seperti mangkuk, meja, kursi, hingga perkakas pertanian.

Mereka, mengutip makalah berjudul Migration in Three Periods: Colonization, Kokuminggakari, and Transmigration in Lampung Province (1905-1979) yang ditulis M. Halwi Dahlan (2014), ditempatkan di area Gedongtataan.

Permukiman penduduk lantas dibangun dan diberi nama Desa Begalen.

Ide transmigrasi pemerintah kolonial Belanda berangkat dari keberadaan brosur yang tersebar di publik, memaparkan kondisi di Jawa yang pertumbuhan penduduknya begitu cepat.

Pada saat yang sama, lajunya tidak sebanding dengan luas lahan pertanian maupun perkebunan.

Sebuah badan, bernama Komisi Pusat Emigran dan Kolonisasi Pribumi (Central Commisie Voor Emigratie en Kolonisatie Van Imheemsen), dibentuk dan diberi wewenang untuk mengatur kepadatan penduduk di Jawa sekaligus memastikan distribusi tenaga kerja di luar Jawa terpenuhi.

Transmigrasi pun diambil sebagai jalan keluar. Dengan ini, kepadatan penduduk di Jawa diyakini mampu ditekan dan lahan-lahan pertanian maupun perkebunan baru—terutama karet—bisa digarap orang-orang dari Jawa.

Residen Sukabumi bernama H. G. Heyting diminta melakukan penelitian penunjang. Laporan yang dia bikin mengemukakan bahwa program transmigrasi—atau kolonisatieproof—sangat memungkinkan direalisasikan dalam sepuluh tahun.

Pulau Sumatra—meliputi Sumatra Barat, Bengkulu, Palembang, hingga Lampung—dipandang layak dan berpeluang menampung penduduk pindahan dari Jawa.

Sepanjang 1905 sampai 1941, atau sebelum Jepang masuk ke Indonesia, program pemerintah kolonial ini sudah mengirim hampir 190 ribu orang dari Jawa. Rata-rata, dalam satu tahun, sekitar 5 ribu orang ikut berpartisipasi, dengan angka tertinggi diperoleh pada 1941: 60 ribu orang.

Kebijakan transmigrasi tetap mengiringi dekade-dekade setelahnya, pascakemerdekaan, dan menemukan momentum besarnya tatkala Soeharto naik ke tampuk kekuasaan.

Peneliti senior demografi, Riwanto Tirtosudarmo, menuturkan pemberlakuan transmigrasi mengikuti paradigma pembangunan Orde Baru yang sangat sentralistik—berpegangan pada keputusan Jakarta.

“Orientasi ekonomi menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan ketika bicara kebijakan transmigrasi di masa Orde Baru. Narasi ini yang dipertahankan dan dianggap sebagai motif utama saat kita bicara mengenai perpindahan penduduk,” beber Riwanto.

Pertumbuhan ekonomi, dipercaya para teknokrat seperti Widjojo Nitisastro, yang juga menjabat sebagai Kepala Bappenas saat Orde Baru berdiri, sulit dicapai selama kecepatan pertambahan penduduk tidak dikontrol.

Banyaknya penduduk, lebih-lebih terpusat di wilayah tertentu, hanya akan menambah tekanan yang mengurangi produktivitas.

Pada 1969, kebijakan transmigrasi dimulai Orde Baru, dan kemudian menjadi komponen penting dalam rencana pembangunan pemerintah yang terpacak melalui Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).

Pelaksanaan transmigrasi tidak semudah membalik telapak tangan, merujuk riset yang disusun Mariël Otten berjudul Transmigrasi: Indonesian Resettlement Policy, 1965-1985 (1986).

Salah satu hambatan yang muncul ialah kondisi geografis di luar Jawa yang tidak menunjang pembangunan permukiman maupun persawahan lantaran masih banyak mewujud dalam hutan belantara.

Menteri Transmigrasi (1983-1988), Martono, mengakui bahwa “sebagian lokasi transmigrasi tidak dipilih secara layak.”

Transmigrasi, sebut Martono, bukan bagian dari kisah keberhasilan pemerintah Indonesia.

Senada dengan Martono, laporan Bank Dunia menjelaskan penetapan lokasi transmigrasi bukan pekerjaan ringan.

Realita di lapangan sering kali memperlihatkan, misalnya, tanah yang akan digarap memiliki “risiko sosial atau lingkungan yang tinggi”—dan oleh sebab itu harus dicoret dari daftar.

Risiko sosial dikategorikan sebagai keadaan yang berpotensi melahirkan konflik antarwarga pendatang dan lokal, berwujud klaim kepemilikan lahan.

Sedangkan risiko lingkungan tergambarkan melalui lahan potensial untuk transmigrasi yang diseleksi tidak jarang kurang subur atau malah berbentuk rawa.

Meski begitu, Soeharto tetap optimis, mengumumkan secara terbuka ke masyarakat bahwa program transmigrasi “akan memiliki dampak yang kuat terhadap kemajuan pembangunan Indonesia di masa depan, terutama dalam upaya membangun fondasi masyarakat Pancasila yang telah diidamkan oleh bangsa ini.”

Bank Dunia sendiri pada akhirnya berkesimpulan terlepas kendala teknis, pemerintah telah menunjukkan “komitmen yang sangat kuat” dalam program ini. Para transmigran, kata Bank Dunia, juga merasakan perbaikan dan perubahan hidup setelah menjalani transmigrasi.

Ambisi Orde Baru dalam mengupayakan transmigrasi terlihat lewat anggaran yang dialokasikan.

Tren penyediaan dana untuk transmigrasi, sejak 1969 sampai setidaknya 1978, terus mengalami peningkatan.

Peserta transmigrasi, pada saat bersamaan, mencapai ribuan KK setiap tahunnya.

Wilayah yang disasar tidak berhenti di Sumatra seperti halnya pada era kolonial, melainkan juga Kalimantan, Sulawesi, Papua hingga Timor Timur—sekarang Timor Leste.

Pemerintah tidak mengerjakan transmigrasi sendirian. Mereka menjalin kemitraan bersama Bank Dunia.

Keterlibatan Bank Dunia dimulai pada 1974 dengan menyediakan, salah satunya, sejumlah studi pendukung soal transmigrasi kepada pemerintah. Studi itu dilakukan di Sumatra, Kalimantan, serta Papua Barat.

Anggaran yang dikucurkan untuk pemerintah Indonesia sendiri sehubungan transmigrasi menyentuh lebih dari US$500 juta—menutup setengah dari total biaya yang mesti dikeluarkan pemerintah.

Bicara hubungan Indonesia dan Bank Dunia, dalam konteks transmigrasi, mengutip makalah Disaggregating the State, Discerning Class Formation (2018) yang disusun Perdana Putri Roswaldy, bisa dikata sangat solid, sekalipun terdapat bercak sepanjang keduanya berjalan bersama.

Bank Dunia pernah menuding pemerintah Indonesia memanipulasi data transmigrasi untuk laporan publik pada 1988. Tuduhan itu tidak memengaruhi pendanaan yang diberikan kepada pemerintah.

Memasuki 1980-an, berbarengan dengan penurunan harga minyak global, alokasi dana untuk transmigrasi dipangkas sebesar 44% dan 65% pada periode 1986-1988, menurut On the Politics of Migration: Indonesia and Beyond (2015), sebuah studi komprehensif mengenai transmigrasi selama tiga dekade yang ditulis Riwanto Tirtosudarmo.

Walaupun Soeharto terkesan tidak kehilangan kepercayaan kepada transmigrasi, situasi di lapangan menggambarkan sebaliknya. Pemangkasan anggaran, jelas Riwanto, cuma menambah daftar masalah yang mengikat program transmigrasi.

Di luar anggaran yang kena potong, program transmigrasi perlahan mulai kehilangan daya tarik lantaran sebagian masyarakat Indonesia mengalihkan pandangan matanya ke arah kesempatan bekerja di luar negeri—Malaysia, contohnya.

Kepercayaan publik terhadap program ini ikut tergerus imbas serangkaian kegagalan tata kelola dalam periode-periode sebelumnya.

Kala Repelita III dilaksanakan, lebih dari 2.000 keluarga dikabarkan meninggalkan permukiman transmigrasi, dipicu ketidaksesuaian atas janji pemerintah menyediakan fasilitas untuk penghuni.

Pada pertengahan 1970-an, pemerintah memindahkan belasan ribu KK dari Wonogiri, Jawa Tengah, ke Bengkulu dan Jambi. Keputusan ini diambil untuk mengantisipasi bencana banjir akibat luapan air Sungai Bengawan Solo.

Namun, penghidupan para transmigran di perantauan tidak seketika membaik. Mereka menghadapi persoalan turunnya pendapatan.

Terlepas dari suara dari publik, satu hal yang identik dengan transmigrasi Orde Baru yakni bagaimana pemerintah menggunakan strategi “kirim orang” untuk menciptakan stabilitas politik.

“Di Timor Timur itu, misalnya, orang-orang dari Jawa dikirim buat ‘melawan’ kelompok prokemerdekaan. Di Papua juga begitu,” ucap Riwanto.

“Artinya apa? Kebijakan transmigrasi adalah salah satu langkah mempertahankan Indonesia. Melawan aspirasi-aspirasi politik yang dinilai bertentangan dengan militer.”

Dengan bungkus transmigrasi, Riwanto meneruskan, pemerintah Orde Baru meleburkan kelompok-kelompok etnis yang berbeda di bawah naungan sistem sosial yang homogen dan tidak terpisah dari Indonesia.

Di Bali, sebagai contoh, pemerintah menempatkan penduduk lokal dan transmigran Jawa dalam satu lokasi. Bank Dunia mendukung keputusan ini, memujinya dengan “pengaturan yang ideal dari sudut pandang integralistik.”

Cara pandang pemerintah dalam melangsungkan transmigrasi turut pula ditegakkan dengan persepsi bahwa tanah di luar Jawa kosong dan tidak berpenghuni, menganggapnya menjadi “aset negara” yang sayang kalau tidak dimanfaatkan secara maksimal.

“Padahal di situ ada tanah adat, hutan ulayat, yang sebelum Indonesia ada itu mereka sudah ada yang punya, masyarakat adat,” jelas Riwanto.

Di sinilah konflik selanjutnya bermunculan.

Dari konflik agraria, pengusiran masyarakat adat, dan ladang korupsi

Program transmigrasi terus berlangsung dengan alasan pemerataan ekonomi dan pembangunan yang tidak terpusat hanya di Jawa, yang notabene dinilai sudah padat dan sesak.

Per 2025, menurut data Kementerian Transmigrasi, sudah ada 2,2 juta KK dengan 9,2 juta jiwa tinggal di kawasan transmigrasi. Ribuan desa baru juga lahir, menambah yang sudah hadir di wilayah-wilayah yang dimaksud.

Tapi, jalan panjang transmigrasi disertai letupan konflik yang kompleks, seperti sengketa tanah yang melibatkan masyarakat lokal, kelompok pendatang, korporasi, dan negara.

Kasus-kasus semacam ini terekam di Mesuji (Lampung), Kalimantan Barat, hingga Konawe (Sulawesi Tenggara).

Transmigrasi dikritik sebab dia tak ubahnya pintu yang mempersilakan bermacam masalah untuk masuk, yang antara satu dan lainnya saling berkelindan.

Sejak awal, konsep penguasaan tanah untuk transmigrasi memang bermasalah.

Peneliti dan pengajar antropologi di Universitas Indonesia, Geger Riyanto, menjelaskan konflik yang bersinggungan dengan kebijakan transmigrasi didorong paradigma negara yang mengeklaim lahan-lahan untuk transmigrasi adalah milik mereka.

“Yang pasti tanah transmigrasi itu mirip seperti hutan. Jadi, dari awal sudah dinyatakan bahwa ini tanah negara,” ucap Geger kepada BBC News Indonesia, Rabu (9/7).

“Masalahnya, negara itu biasanya tidak pernah tahu tanah itu pada dasarnya dipergunakan seperti apa. Dan dari dulu, sebetulnya, sudah ada yang menggunakannya oleh komunitas [masyarakat] tapi tidak dipedulikan.”

Transmigrasi, Geger melanjutkan, lalu dipakai untuk “mengeksekusi” tanah-tanah tersebut dengan pemerintah mendirikan permukiman para transmigran yang didatangkan dari pulau lain.

Masalah tidak berhenti di situ, Geger menambahkan.

Keberadaan kampung dan permukiman transmigran membuka peluang industri ekstraktif, seperti sawit dan kayu, untuk tumbuh sebab penyediaan tenaga kerja dapat dicukupi.

Perusahaan-perusahaan kayu maupun sawit, jelas Geger, harus memenuhi setidaknya empat syarat agar beroperasi di “daerah pelosok”: konsesi, modal, infrastruktur jalan, serta tenaga kerja.

“Tapi, mereka [perusahaan] itu kemudian baru bisa jalan ketika ada akses jalan dan pekerjanya di sana. Dengan adanya para transmigran, secara tidak langsung, perusahaan-perusahaan ini dapat terbantu karena mereka punya tenaga kerja,” papar Geger.

Perusahaan, alih-alih memberdayakan penduduk lokal, justru merekrut transmigran yang dipandang “lebih cocok.” Di sini, masyarakat lokal mulai tersingkir.

“Pada saat yang sama memang kemudian ada kecemburuan, begitu, karena yang lebih diprioritaskan, lebih di-develop, oleh pemerintah adalah mereka,” imbuh Geger.

“Dan pada akhirnya masyarakat adat juga akan diambil alih lahannya [oleh negara dan korporasi].”

Hal itu tergambar jelas di kasus masyarakat adat Dayak Bakati, Kalimantan Barat, yang tanah adatnya diduga tergusur oleh permukiman transmigrasi sekaligus konsesi perkebunan sawit.

Pengakuan atas kepemilikan lahan adat, menurut satu laporan, tidak dijalankan pemerintah.

Geger berpendapat pelaksanaan transmigrasi dapat berdampingan dengan agenda-agenda pembangunan besar yang dicetuskan pemerintah.

Dia mencontohkan kondisi di Indonesia bagian timur ketika pemerintah tengah membangun kawasan lumbung pangan dan energi.

“Dengan [tujuan] percepatan pembangunan [di] Indonesia Timur, dan pada saat yang sama itu juga menjadi area-area transmigrasi,” tutur Geger.

Kebijakan pembangunan yang didampingi dengan transmigrasi, Geger mengingatkan, mampu menciptakan eksklusi yang dalam bagi, terutama, masyarakat lokal di Papua.

Pasalnya, masyarakat Papua tidak dilibatkan dan pemerintah memiliki kecenderungan untuk menarik tenaga kerja—atau penduduk—dari luar Papua.

“Ini berpotensi memperluas eksklusi, apalagi kalau melihat masyarakat Papua sendiri masih punya trauma yang sangat besar [oleh Indonesia],” jawabnya.

Konsekuensi lain yaitu degradasi lingkungan.

Pada Repelita III (1979-1984), sekitar 30% lahan yang dibuka untuk permukiman transmigran adalah hutan primer, walaupun penggunaan hutan yang dikonversi kurang dari 10%, tulis Anthony J. Whitten dalam Indonesia’s Transmigration Program and Its Role in the Loss of Tropical Rain Forests (1987).

Meski demikian, jenis hutan tertentu, terutama yang berada di lahan gambut yang dangkal, mengalami kerusakan lebih parah daripada jenis hutan lainnya.

Riset Whitten memperkirakan total lahan yang digarap untuk program transmigrasi—mungkin—membengkak lima kali lipat dari yang semula direncanakan.

Masalah korupsi dan nepotisme juga menjadi elemen yang mencolok saat membahas kebijakan transmigrasi.

Pada masa Orde Baru, Soeharto menunjuk menteri transmigrasi yang terafiliasi ke militer dan politikus Golkar, disinyalir demi mengamankan kepentingan tentara di industri perkebunan.

Usai Soeharto turun takhta, kasus-kasus dugaan korupsi dalam proyek transmigrasi bergantian terungkap ke permukaan.

Pada 2008, proyek penyiapan prasarana dan sarana permukiman bagi 100 KK transmigran di Beutong Ateuh, Aceh, dikorupsi sebesar Rp1,5 miliar.

Dua tahun setelahnya, giliran pejabat di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sumatra Barat yang melakukan korupsi dalam proyek Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi (P4) di Dusun Tengah, Kabupaten Solok Selatan. Dia divonis hukuman dua tahun penjara.

Tidak berhenti di situ, Kejaksaan Agung (Kejagung), pada 2015, menahan Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Minahasa Selatan terkait dugaan korupsi pembangunan kawasan transmigrasi Liandok tahun anggaran 2013-2015.

Dana itu, seharusnya, dipakai untuk pembangunan rumah transmigrasi, fasilitas umum, hingga pembukaan lahan.

Pada 2020, pembangunan rumah transmigrasi dengan pagu anggaran Rp3,7 miliar di Nagari Galugua, Sumatra Barat, dikorupsi. Negara rugi hingga Rp900 juta.

Kemudian pada 2024, di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, proyek pengembangan fasilitas sarana air bersih di kawasan transmigrasi Kahingai dikorupsi. Dua pejabat di dinas setempat diringkus aparat penegak hukum.

Peneliti demografi, Riwanto Tirtosudarmo, menjelaskan tindak pidana korupsi di program transmigrasi begitu leluasa dilakukan karena melibatkan perputaran uang yang tidak sedikit sehingga melahirkan kesepakatan jahat antara pejabat dan pelaksana di lapangan.

“Dari dulu, kebijakan transmigrasi selalu ditemani dengan korupsi. Sifat kebijakan yang yang terus ada dari waktu ke waktu juga berpengaruh,” responsnya.

“Ditambah lagi, pengawasan yang sering longgar. Akhirnya, jadi itu korupsi.”

Korupsi yang timbul di program transmigrasi membuat Riwanto menilai bahwa kebijakan ini sudah semestinya dievaluasi secara menyeluruh, kalau perlu ditiadakan.

Saat pemerintahan dipegang oleh Abdurrahman Wahid (1999-2001), alias Gus Dur, Riwanto pernah melempar wacana mengganti transmigrasi dengan peningkatan pembangunan daerah di luar Jawa dan Bali.

Pembangunan daerah, Riwanto percaya, akan “membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.”

“Dengan pusat pertumbuhan ekonomi baru, di luar Jakarta atau kota-kota besar lainnya, maka akan menarik dengan sendirinya para tenaga kerja,” paparnya.

“Ide ini sendiri belum ditindaklanjuti mengingat Gus Dur dimakzulkan pada 2001.”

Peneliti di Pusat Riset Kependudukan BRIN, Bayu Setiawan, menerangkan bahwa sukses atau tidaknya transmigrasi bergantung pada bagaimana pemerintah menuntaskan fondasinya: hubungan dengan penduduk lokal.

Pemerintah, Bayu menggarisbawahi, sudah semestinya menginformasikan secara baik kalau ada program transmigrasi yang akan dilangsungkan, dengan teknis sedemikian rupa.

“Sebenarnya tujuannya [transmigrasi] untuk membangun wilayahnya [penduduk lokal]. Makanya melibatkan mereka itu yang utama,” kata Bayu kepada BBC News Indonesia, Rabu (9/7).

“Ini bisa mengantisipasi gejolak yang nantinya berpeluang muncul. Bagaimanapun, masyarakat lokal harus diutamakan terlebih dahulu.”

Tak kalah penting, lanjut Bayu, pemerintah juga harus memastikan sumber daya pendukung, seperti tanah, punya status hukum yang jelas.

Bayu mengingatkan pemerintah agar tidak menerabas tanah adat maupun hutan lindung untuk penempatan transmigrasi.

Dari jarak pandang dekat, gapura itu berdiri dengan begitu kokoh. Tidak besar, tapi sudah cukup untuk menjadi penanda pintu masuk ke permukiman penduduk.

Bentuk gapura dipenuhi ornamen tradisional, dengan tulisan yang dipasang di bagian atas: Kampung Jawa.

Kampung Jawa ini tidak berada di daerah di Jawa. Dia muncul di Bontang, Kalimantan Timur.

Kehadiran Kampung Jawa memberi gambaran bagaimana migrasi penduduk antarpulau terjadi secara intens. Dorongan untuk mencari kesempatan yang lebih baik kerap disandarkan sebagai pegangan.

Mulanya penduduk yang tiba sedikit, dan seiring waktu menjelma menjadi satu kawasan.

Bontang merupakan kawasan yang ditopang setidaknya tiga kegiatan industri utama: pupuk, gas, dan batu bara. Kehadiran industri membuat Bontang tak ubahnya magnet bagi para pekerja di banyak daerah.

Masyudin, warga kelahiran Bontang, tidak pernah mempermasalahkan kedatangan penduduk dari luar Kalimantan. Dia menyadari perkembangan zaman dan tuntutan pekerjaan, atau menyambung hidup, membuka kemungkinan bagi setiap warga untuk pergi merantau.

Meski begitu, Masyudin berharap pemerintah memprioritaskan masyarakat setempat terlebih dahulu, dari kacamata yang luas, tidak sekadar transmigrasi.

“Kalau dampak yang dirasakan itu kompetisi di bidang untuk mendapatkan kesempatan pekerjaan,” tuturnya.

Masyudin mengamati perusahaan-perusahaan industri di Bontang cenderung membawa pekerja dari luar Kalimantan untuk menempati pos-pos ketenagakerjaan.

Di sinilah Masyudin merasa pemerintah semestinya mengatur komposisi tenaga kerja, dengan tujuan masyarakat Bontang—dan Kalimantan secara umum—tidak kalah saing dan makin tertinggal.

Tak jauh berbeda dari Masyudin, Supriyono, pria 43 tahun kelahiran Bontang, tidak mempersoalkan pendatang.

Dia justru menyoroti dugaan praktik “orang dalam” yang tidak jarang ditempuh perusahaan dalam merekrut pekerja.

“Mereka itu lebih banyak dibawa dari informasi keluarga ke keluarga. Sehingga begitu mereka hadir di Bontang, mereka sudah punya posisi kerja, mereka langsung kerja,” tandasnya.

Nah, itu yang menutup akses kami sebagai orang lokal yang kemudian mau berkembang itu agaknya sulit.”

Pemerintah senantiasa mengampanyekan bahwa pembangunan harus dijalankan dengan melihat pada prinsip keadilan; dampaknya dirasakan oleh banyak pihak tanpa terkecuali.

Apakah hal itu benar-benar terwujud jika bicara mengenai kondisi di Kalimantan?

Kartika Handayani di Bontang dan Aseanty Pahlevi di Pontianak berkontribusi dalam laporan ini.

  • Gibran ditunjuk untuk selesaikan masalah di Papua – Apa yang Gibran perlu lakukan?
  • ‘Lihat langsung hutan, hak dan kehidupan kami direbut paksa’ – Masyarakat adat Merauke minta pelapor khusus PBB datang ke Papua
  • Perusahaan terbatas pertama milik masyarakat adat didirikan di Papua – ‘Kami harus mandiri dengan aset dan potensi kami’
  • Masyarakat lokal ‘merasa terusir’ dari tanah mereka saat IKN digadang jadi ‘magnet ekonomi baru’ – ‘Kami tidak akan melihat kota itu’
  • ‘Anak-anak saya mau tinggal di mana’, suku asli yang merasa dilewatkan saat Presiden Joko Widodo berkemah di IKN
  • Dari Istana Garuda ke rumah warga: Hidup di tengah pembangunan Ibu Kota Nusantara
  • Pemerintah Belanda minta maaf atas perbudakan era kolonial, namun hampir separuh orang Belanda ‘tidak mendukungnya’
  • Mengapa Indonesia tidak disebut dalam permintaan maaf Belanda atas perbudakan di masa kolonial?
  • Kereta api dan jejak penjajahan Belanda di Priangan: dari tanam paksa hingga plesiran
  • Mafia Berkeley, Ali Moertopo, hingga Opsus – Tiga hal yang perlu diketahui tentang Orde Baru dan sepak terjangnya
  • Tentara duduki kampus, mahasiswa dikirim ke Nusakambangan, hingga larangan baca buku Pramoedya – Tujuh hal yang perlu diketahui tentang NKK/BKK pada era Orde Baru
  • Pasang surut gerakan mahasiswa dan kebijakan depolitisasi kampus pada masa Orde Baru
  • Warga asli Papua pesimistis pilkada bisa cegah potensi buruk food estate di Merauke – ‘Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah’
  • Militer dilibatkan dalam proyek Food Estate di Merauke, masyarakat adat ‘ketakutan’ – ‘Kehadiran tentara begitu besar seperti zona perang’
  • Masa darurat kelaparan di Kabupaten Puncak, Papua Tengah ‘diperpanjang’ – Pemerintah janji bangun lumbung pangan
  • Angka kemiskinan ekstrem Jakarta meningkat, warga Kampung Apung Jakarta Utara mengaku ‘sudah bertahun-tahun tidak menerima bantuan sosial’
  • ‘Jurang si kaya dan si miskin bakal makin lebar akibat ketimpangan pendidikan saat pandemi’
  • Harta empat orang di Indonesia setara gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin

Berita Terkait

Suriah Tarik Pasukan dari Wilayah Kaum Druze Usai Serangan Israel
Kontroversi pelibatan TNI-Polri dalam MPLS di Jabar – ‘Tujuannya biar anak nyaman di sekolah, kok malah undang polisi dan tentara?’
Komisi III: RUU KUHAP Berpotensi Gagal Disahkan
Israel Bombardir Suriah, Istana Presiden hingga Markas Militer Jadi Target
Menlu AS Sebut Sudah Ada Kesepakatan Akhiri Pertempuran di Suriah
Sekjen PBB Kecam Serangan Israel ke Suriah
Impor Pertanian AS: Trump Klaim RI Setuju, Pengamat Wanti-Wanti!
Prabowo Telepon Trump Bahas Tarif Impor: Sinyal Era Baru Ekonomi?

Berita Terkait

Kamis, 17 Juli 2025 - 11:04 WIB

Suriah Tarik Pasukan dari Wilayah Kaum Druze Usai Serangan Israel

Kamis, 17 Juli 2025 - 10:16 WIB

Kontroversi pelibatan TNI-Polri dalam MPLS di Jabar – ‘Tujuannya biar anak nyaman di sekolah, kok malah undang polisi dan tentara?’

Kamis, 17 Juli 2025 - 08:31 WIB

Komisi III: RUU KUHAP Berpotensi Gagal Disahkan

Kamis, 17 Juli 2025 - 07:42 WIB

Israel Bombardir Suriah, Istana Presiden hingga Markas Militer Jadi Target

Kamis, 17 Juli 2025 - 06:11 WIB

Menlu AS Sebut Sudah Ada Kesepakatan Akhiri Pertempuran di Suriah

Berita Terbaru

War And Conflicts

Israel Serang Suriah: Yang Sejauh Ini Diketahui

Kamis, 17 Jul 2025 - 11:53 WIB

Autos

Toyota Bakal Memperkenalkan ‘Land Cruiser’ Versi MPV?

Kamis, 17 Jul 2025 - 11:46 WIB

Public Safety And Emergencies

Kapolri: Polda Metro Jaya Segera Mengungkap Penyebab Kematian Diplomat Kemlu

Kamis, 17 Jul 2025 - 11:40 WIB

Entertainment

Penampakan Luna Maya dan Christine Hakim di Cermin Misterius

Kamis, 17 Jul 2025 - 11:26 WIB