Harga Emas Melambung Tinggi: Konflik Timur Tengah dan Inflasi AS Picu Permintaan ‘Safe Haven’
Harga emas melambung tajam pada Jumat (13/6), menempatkannya di ambang rekor tertinggi baru. Lonjakan ini dipicu oleh dua pendorong utama: peningkatan permintaan aset *safe haven* di tengah eskalasi konflik antara Israel dan Iran, serta data inflasi Amerika Serikat yang lebih lemah dari perkiraan. Kedua faktor ini secara kolektif memicu kekhawatiran investor terhadap potensi perang kawasan di Timur Tengah sekaligus mengubah ekspektasi kebijakan moneter global.
Di tengah sorotan global, eskalasi ketegangan antara Israel dan Iran menjadi katalis utama lonjakan harga emas. Serangan Israel yang menghantam sasaran strategis di Iran pada Jumat, menargetkan fasilitas nuklir dan pabrik rudal serta menewaskan sejumlah komandan militer, menimbulkan kekhawatiran geopolitik yang mendalam di pasar. Israel menyatakan operasi ini bisa menjadi kampanye berkelanjutan untuk mencegah Iran membangun senjata nuklir, sementara Presiden AS Donald Trump menuding Iran memicu serangan karena menolak ultimatum dalam perundingan nuklir terbaru dengan Washington. “Serangan Israel yang menghantam sasaran strategis Iran menimbulkan kekhawatiran geopolitik di pasar. Harga kemungkinan tetap tinggi menjelang respons Iran,” ujar Daniel Pavilonis, analis senior di RJO Futures, menyoroti sentimen pasar.
Akibatnya, harga emas spot melonjak 1,3% menjadi US$3.428,10 per troi ons pada pukul 13.49 waktu setempat (17.49 GMT), hanya selangkah lagi dari rekor tertinggi historisnya sebesar US$3.500,05 yang tercetak pada April lalu. Secara mingguan, logam mulia ini telah menguat impresif sekitar 4%. Sejalan dengan itu, emas berjangka AS juga ditutup naik 1,5% ke level US$3.452,80 per troi ons, merefleksikan optimisme pasar terhadap prospek emas.
Tidak hanya gejolak geopolitik, laporan ekonomi dari Amerika Serikat juga turut menjadi penopang kuat bagi kilau emas. Data inflasi AS yang lebih lemah dari proyeksi pasar semakin memperkuat keyakinan bahwa Federal Reserve (The Fed) berpotensi memangkas suku bunga acuannya dalam beberapa bulan mendatang. Lingkungan suku bunga yang lebih rendah ini sangat kondusif bagi emas, karena menurunkan *opportunity cost* kepemilikan logam mulia yang tidak memberikan imbal hasil.
Emas secara historis memang dikenal sebagai instrumen lindung nilai ampuh di tengah ketidakpastian ekonomi dan gejolak global. Kombinasi antara prospek suku bunga yang lebih rendah dan ketegangan geopolitik yang membara menjadikan masa depan logam kuning ini semakin cerah. Para analis dari institusi finansial terkemuka pun optimistis. Goldman Sachs kembali menegaskan proyeksinya bahwa harga emas akan mencapai US$3.700 per troi ons pada akhir tahun 2025 dan bahkan menembus US$4.000 pada pertengahan tahun 2026, ditopang oleh pembelian masif oleh bank sentral global. Bank of America bahkan melihat potensi harga emas menyentuh angka US$4.000 dalam 12 bulan ke depan.
Namun, di balik kenaikan spektakuler di pasar global, permintaan fisik emas di beberapa negara Asia justru menunjukkan kelesuan. Harga yang melonjak tajam menekan aktivitas pembelian. Di India, misalnya, harga emas domestik telah melampaui level psikologis 100.000 rupee per 10 gram, menyebabkan penurunan signifikan dalam permintaan konsumen.
Sementara itu, pergerakan logam mulia lainnya menunjukkan pola yang bervariasi. Perak spot terkoreksi tipis 0,3% ke US$36,27 per ons troi, meskipun masih mampu mencatat kenaikan 0,9% secara mingguan. Platinum merosot tajam 5,9% ke US$1.219,03 per ons troi, namun tetap berhasil menguat 4,8% dalam sepekan. Di sisi lain, paladium turun 1,3% ke US$1.041,51 per ons troi dan mencatat pelemahan mingguan sebesar 1,1%.