Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kecaman luas setelah menyebut perkosaan massal selama Kerusuhan Mei 1998 sebagai “rumor” tanpa bukti tertulis dalam sejarah. Pernyataan kontroversial ini disampaikan dalam wawancara di YouTube IDN Times pada 11 Juni 2025, dan dibenarkan oleh pemimpin redaksi IDN Times kepada Tempo. Fadli Zon berdalih pemerintah tengah berupaya mengklarifikasi rumor yang dianggap sebagai fakta sejarah, termasuk tragedi perkosaan massal tersebut. “Pemerkosaan massal kata siapa? Enggak pernah ada buktinya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan,” tegasnya.
Reaksi keras pun berdatangan dari berbagai pihak. Komnas HAM, melalui Ketua Anis Hidayah, menyatakan pernyataan Fadli Zon keliru dan menyanggah klaim tidak adanya bukti. Komnas HAM menunjuk pada hasil penyelidikan Tim Ad Hoc pada tahun 2003 yang menetapkan Kerusuhan Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM berat, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan kekerasan seksual lainnya. Laporan ini diserahkan kepada Jaksa Agung pada September 2003, dan pengakuan resmi pemerintah atas pelanggaran HAM berat ini tertuang dalam Keppres Nomor 17 Tahun 2022 dan Inpres Nomor 2 Tahun 2023, serta kompensasi bagi korban yang diberikan pada Desember 2023.
Aktivis perempuan Ita Fatia Nadia, pendamping korban perkosaan massal, menganggap pernyataan Fadli Zon sebagai penyangkalan sejarah dan kebohongan publik yang melukai para penyintas. Ia menunjuk pada bukti tertulis dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6 halaman 609 dan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pasca reformasi yang mendokumentasikan perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa di beberapa kota besar. Ia juga mengingatkan penerimaan laporan korban oleh Presiden B.J. Habibie pada Oktober 1998 dan Keputusan Presiden Habibie Nomor 181 Tahun 1998, yang secara implisit mengakui peristiwa tersebut. Lebih lanjut, Ita menekankan pengakuan resmi negara dalam laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) tahun 2023.
Amnesty International Indonesia melihat pernyataan Fadli Zon sebagai upaya pemerintah untuk menghindari pertanggungjawaban atas masa lalu. Direktur Amnesty International Usman Hamid menilai pemerintah berupaya menghilangkan jejak hitam masa lalu, termasuk dengan merevisi sejarah secara sepihak. Ia menegaskan kebenaran peristiwa perkosaan massal telah diverifikasi oleh berbagai otoritas resmi, termasuk TGPF dan Komnas HAM, yang memasukkannya dalam daftar 12 pelanggaran HAM berat. Usman juga membantah argumen Fadli Zon terkait kurangnya bukti pengadilan, dengan menekankan fakta bahwa pemerintah belum pernah menggelar pengadilan untuk kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Kritik serupa datang dari Dewan Pengurus Pusat Perempuan Bangsa (PKB). Ketua Umum Nihayatul Wafiroh menilai penyangkalan tersebut tidak hanya menyakiti korban dan keluarga, tetapi juga menunjukkan ketidaktahuan dan sikap abai pemerintah terhadap sejarah. Ia menekankan luasnya pengakuan internasional atas tragedi ini, dan menyerukan penegakan hukum, bukan pengingkaran fakta.
Terakhir, Gabungan Masyarakat dan Mahasiswa Indonesia di Belanda untuk Keadilan Sejarah juga turut mengecam pernyataan Fadli Zon dan mendesak permintaan maaf publik. Mereka prihatin atas upaya penulisan ulang sejarah yang dianggap sepihak dan bertujuan melegitimasi kekuasaan, serta meminta pemerintah membuka ruang dialog dengan korban, termasuk para eksil korban pelanggaran HAM masa lalu. Amira Nada Fauziyyah, Eka Yudha Saputra, Dede Leni Mardianti, Andi Adam Faturahman, dan Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini.