Tragedi Mei 1998: Bantahan Fadli Zon atas Perkosaan Massal Picu Kontroversi
Pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang membantah adanya pemerkosaan massal selama tragedi Mei 1998, memicu gelombang kontroversi. Dalam acara “Real Talk with Uni Lubis” (8/6/2025), ia menegaskan ketidakadaan bukti dan menyebutnya sebagai rumor belaka. “Enggak ada perkosaan massal. Kata siapa itu? Enggak pernah ada *proof*-nya (bukti),” tegasnya, seperti dikutip RAGAMHARIAN.COM (14/6/2025). Namun, klaim ini langsung dibantah berbagai pihak yang menyodorkan bukti-bukti kuat mengenai kejahatan seksual sistematis tersebut.
Berbagai bukti sejarah dan kesaksian personal membantah klaim Fadli Zon. Pernyataan maaf resmi Presiden B.J. Habibie pada 15 Juli 1998 kepada koalisi Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang kemudian diumumkan dalam konferensi pers, merupakan salah satu bukti kuat. Habibie mengakui terjadinya pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa dan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 23 Juli 1998, serta Komnas Perempuan pada 9 Oktober 1998, sebagai respon atas tragedi tersebut. (Sumber: RAGAMHARIAN.COM, 13/5/2021)
Sejarawan dan aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia, yang terlibat langsung dalam Tim Relawan Kemanusiaan di bawah Gus Dur saat peristiwa tersebut, menegaskan telah menangani banyak kasus pemerkosaan. Ia menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai “dusta” dan mendesak permintaan maaf kepada korban yang masih menderita trauma hingga kini. Ita menekankan bahwa peran menteri seharusnya turut menyembuhkan luka masa lalu, bukan mengingkarinya. (Konferensi pers daring, 13/6/2025)
Laporan TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 memperkuat bukti-bukti ini. Laporan tersebut mencatat setidaknya 52 korban pemerkosaan di Jakarta, Surabaya, dan Medan, serta berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya, termasuk pemerkosaan dengan penganiayaan (14 korban), penyerangan/penganiayaan seksual (10 korban), dan pelecehan seksual (9 korban). Laporan tersebut juga mencatat adanya kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan sesudah kerusuhan Mei 1998, yang menimbulkan penderitaan dan trauma mendalam bagi para korban.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai “kekeliruan fatal”. Ia menjelaskan bahwa peristiwa ini bukan sekadar rumor, karena telah diakui oleh otoritas tinggi, termasuk Menteri Pertahanan, Keamanan, Luar Negeri, Kehakiman, Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. Komnas HAM juga telah menyimpulkan pemerkosaan massal sebagai pelanggaran HAM berat. (Sumber: RAGAMHARIAN.COM, 13/6/2025)
Kesimpulannya, pernyataan Fadli Zon menuai kecaman luas. Bukti sejarah, kesaksian korban, dan laporan resmi lembaga kredibel menunjukkan adanya pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Pernyataan yang mengingkari fakta ini dinilai melukai korban dan mengabaikan tanggung jawab moral untuk mengungkap kebenaran serta mendorong proses penyembuhan trauma kolektif bangsa.