Aliansi Perempuan Indonesia mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menyebut pemerkosaan massal tahun 1998 sebagai “rumor”. Pernyataan kontroversial ini disampaikan Fadli Zon dalam wawancara dengan jurnalis senior Uni Zulfiani Lubis di kanal YouTube IDN Times pada 11 Juni 2025, dan dikutip oleh Tempo. Aliansi tersebut menuntut permintaan maaf terbuka dari Fadli Zon atas pernyataannya yang dinilai menghina korban dan keluarga korban kekerasan seksual tersebut, serta menolak upaya penulisan ulang sejarah yang mengabaikan fakta-fakta kekerasan seksual terhadap perempuan.
Tuba Fallopi dari Forum Aktivis Perempuan Muda (Famm) Indonesia, yang juga penyintas kekerasan seksual, memimpin kecaman ini. Tuba menegaskan bahwa pernyataan Fadli Zon merupakan penghinaan terhadap penderitaan para korban, terlebih mengingat pemerintah B.J. Habibie telah mengakui peristiwa tersebut sebagai fakta sejarah, dan temuan-temuan peneliti pun telah memperkuat hal itu. Ia menekankan bahwa kekerasan seksual tahun 1998 bukanlah insiden acak, melainkan bagian dari pola kekerasan sistemik yang berakar sejak 1965, di mana tubuh perempuan dijadikan alat politik untuk mengokohkan kekuasaan. Tuba melihat pernyataan Fadli Zon sebagai kelanjutan dari pola tersebut. Lebih lanjut, ia menyoroti kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan kasus ini dan memberikan pemulihan bagi korban sebagai pemupuk kemarahan yang memuncak saat ini.
Sentimen serupa diungkapkan Nur Suci Amalia dari Perempuan Mahardhika, yang juga tergabung dalam aliansi tersebut. Suci menilai pernyataan Fadli Zon mencerminkan sikap pemerintah Presiden Prabowo Subianto yang enggan menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia, dan menyebutnya sebagai upaya merawat impunitas dengan sengaja menghilangkan dan tidak mengakui pemerkosaan Mei 1998. Ia menekankan pentingnya penyelidikan lebih lanjut atas kasus pemerkosaan 1998 dan menolak upaya pemerintah untuk menghapus peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk pemerkosaan massal, dari catatan sejarah.
Dalam wawancara tersebut, Fadli Zon berargumen bahwa penulisan ulang sejarah bertujuan untuk mengklarifikasi rumor yang selama ini dianggap sebagai fakta sejarah. Ia menggunakan kasus pemerkosaan massal sebagai contoh, menantang adanya bukti-bukti yang mendukungnya. Meskipun mengakui pengakuan peristiwa tersebut oleh tim pencari fakta, Fadli Zon mengklaim bahwa para sejarawan tak mampu membuktikannya. Aliansi perempuan pun dengan tegas menolak klaim ini dan mendesak Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya dan mengakui kesalahannya. Pernyataan ini menimbulkan gelombang protes dari berbagai asosiasi pegiat anti-kekerasan terhadap perempuan yang tergabung dalam aliansi tersebut. Mereka bersatu dalam tuntutan keadilan dan pengakuan atas penderitaan para korban pemerkosaan massal 1998.