Harga Batu Bara Melandai, Proyek Gasifikasi Kembali Jadi Sorotan Utama di Sektor Tambang
Jakarta – Di tengah tren penurunan harga batu bara global, isu gasifikasi batu bara kembali mencuat di kalangan para pengusaha sektor tambang. Mereka kini mendesak pemerintah untuk segera mempercepat implementasi proyek gasifikasi batu bara, khususnya yang berfokus pada produksi Dimetil Eter (DME). Dorongan ini muncul sebagai respons strategis saat tekanan pada harga komoditas utama ini semakin terasa.
Wacana hilirisasi batu bara sejatinya bukanlah hal baru dalam agenda pembangunan energi nasional. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan telah mengusulkan inisiatif ini sejak tahun 2009. Namun, realisasinya kerap *timbul-tenggelam*, jarang terdengar gaungnya, hingga kini kembali mengemuka seiring dengan pergeseran dinamika pasar batu bara global yang mengalami tekanan.
Melihat ke kancah global, sejumlah negara telah berhasil mengembangkan teknologi gasifikasi batu bara dalam skala besar. Fokusnya pun beragam, mulai dari pembangkitan listrik, pemanfaatan dalam industri kimia, hingga produksi bahan bakar alternatif. Pengalaman mereka menjadi cermin bagi Indonesia, baik dalam hal kesuksesan maupun tantangan yang dihadapi.
Cina
Cina menjadi salah satu pionir dalam adopsi gasifikasi batu bara secara komersial. Melansir laman Titan Mining Energy, negara ini telah aktif mengembangkan teknologi tersebut sejak tahun 2002. Perusahaan asal Jepang, Toyo Engineering Corporation (TOYO), berperan besar dengan membangun pabrik DME pertamanya di Cina pada tahun tersebut. Pabrik ini didirikan atas permintaan Lutianhua Group Inc., sebuah produsen pupuk besar di Provinsi Sichuan, yang menariknya, beralih dari gas alam ke gas dari batu bara sebagai bahan baku utama. Tidak mengherankan, Fortune Business Insight menempatkan Cina sebagai produsen DME terbesar di dunia.
Afrika Selatan
Kisah sukses lainnya datang dari Afrika Selatan, yang diwakili oleh South African Coal Oil and Gas Corporation, atau lebih dikenal sebagai Sasol. Pada tahun 2016, Sasol mencatat produksi gas sintetik sebesar 55 juta Nm3 per hari dengan menggunakan penggas Lurgi, serta menghasilkan minyak sintetik hingga 150 ribu barel per hari melalui sintesis Fischer-Tropsch. Kontribusi Sasol terhadap perekonomian Afrika Selatan sangat signifikan, mencapai 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, atau sekitar US$ 7 miliar. Selain itu, Sasol mampu memasok 40 persen kebutuhan BBM domestik, dengan 28 persen di antaranya berasal dari batu bara.
India
Tak kalah strategis, India juga telah menyiapkan misi gasifikasi batu bara nasional. Dilansir dari laman *forestdigest*, negara ini merancang langkah-langkah strategis, termasuk pembangunan pabrik percontohan di negara bagian Odisha, sebagai tonggak awal implementasinya. Langkah ini menunjukkan komitmen India untuk memanfaatkan cadangan batu bara dalam negeri guna mendukung kebutuhan energinya.
Amerika Serikat, Belanda, dan Australia
Namun, tidak semua upaya pengembangan gasifikasi batu bara berakhir manis. Tiga negara besar, yaitu Amerika Serikat, Belanda, dan Australia, yang pernah mengembangkan teknologi ini, justru mengalami kemunduran. Menurut *forestdigest*, biaya produksi yang sangat tinggi, terutama untuk menghasilkan metanol dan bahan kimia lainnya dari batu bara, menjadi kendala utama. Faktor ekonomi yang kurang kompetitif, ditambah dengan tekanan regulasi lingkungan yang ketat, membuat proyek gasifikasi di ketiga negara tersebut sulit untuk berlanjut dan berkembang. Pengalaman ini memberikan pelajaran berharga mengenai kompleksitas dan tantangan dalam mengembangkan industri hilirisasi batu bara.
Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Mengapa Pengurusan Izin Tenaga Kerja Asing Rawan Korupsi