Putusan MK Terbaru: Mengubah Lanskap Pemilu di Indonesia, Golkar Siap Kaji Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
Babak baru sistem kepemiluan di Indonesia resmi dimulai setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terbarunya yang fundamental. DPP Partai Golkar, melalui Sekretaris Jenderal Muhammad Sarmuji, menyatakan kesiapannya untuk mengkaji putusan final dan mengikat ini, yang kini secara tegas memisahkan gelaran pemilu nasional dan daerah.
Dalam putusan nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa Pemilihan Legislatif (Pileg) DPR, DPD, serta Pemilihan Presiden (Pilpres) akan tetap digelar secara serentak. Namun, terdapat perubahan signifikan: Pileg DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota kini akan digabung dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Gelaran Pilkada dan Pileg DPRD ini dijadwalkan berlangsung dua tahun setelah anggota DPR, DPD, atau Presiden dan Wakil Presiden dilantik. Sebelumnya, Pileg DPRD digelar bersamaan dengan Pileg DPR, DPD, dan Pilpres, sementara Pilkada dilaksanakan secara terpisah.
Menanggapi hal tersebut, Sarmuji menegaskan, “Keputusan MK itu final dan mengikat, ya, sifatnya, meskipun banyak orang masih bertanya-tanya kenapa MK memutuskan hal seperti itu.” Ia menyampaikan pernyataan ini kepada awak media di DPP Golkar, Jakarta, pada Sabtu (28/6). Kendati demikian, Golkar berkomitmen untuk mengkaji amar putusan MK ini secara mendalam, guna menyelaraskannya dengan agenda revisi Undang-Undang Politik yang tengah digulirkan.
Sarmuji juga menjelaskan bahwa putusan MK ini tidak menghalangi DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang untuk melakukan penyesuaian atau membuat aturan baru, asalkan tidak berbenturan dengan objek gugatan yang telah diputus MK. “Yang final dan mengikat atas keputusan MK itu adalah objek dari gugatan tersebut,” ujarnya, mengindikasikan bahwa ruang bagi DPR untuk berkreasi legislasi masih terbuka lebar di luar batasan gugatan yang spesifik.
Lebih lanjut, Sarmuji mengisyaratkan bahwa pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah ini memerlukan detail lebih lanjut. Ia membuka kemungkinan DPR akan menyusun undang-undang yang berbeda dari skema pemilu saat ini, bahkan jika hal tersebut berpotensi memicu *judicial review* (JR) baru. “Semua kemungkinan masih terbuka, dan DPR siap untuk membahasnya secara komprehensif,” imbuhnya, menekankan dinamika legislasi yang akan datang.
Di balik putusan ini, terdapat uji materiil terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015. Gugatan ini dilayangkan oleh Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang diwakili oleh Ketua Pengurus Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Irmalidarti.
Wakil Ketua MK Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan dalam sidang gugatan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6) lalu, menjelaskan alasan di balik putusan ini. Pengaturan masa transisi atau peralihan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota pasca-pemilu memiliki berbagai dampak kompleks. Oleh karena itu, Saldi menuturkan, “penentuan dan perumusan masa transisi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur dengan melakukan rekayasa konstitusional.”
Dengan demikian, MK menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD akan terpisah dari waktu penyelenggaraan pemilu gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota. Pemisahan ini efektif dimulai sejak Pemilu 2029 untuk pemilihan anggota DPR, anggota DPD, dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Sementara itu, pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pemilu kepala daerah akan dilaksanakan sesuai jangka waktu yang diatur dalam amar putusan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, MK menilai Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 UU 7 tahun 2017, serta Pasal 3 ayat 1 UU 8 tahun 2015, yang mengatur model keserentakan penyelenggaraan pemilu, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.